Kamis, 08 Desember 2016

Kejutan Tengah Malam

Dimuat di Kompas Anak


Kejutan Tengah Malam
Tyas Widjati

Grusak!
Aku segera mencari sumber suara tadi. Dari balik semak-semak, kulihat sosok tambun berbulu yang sangat mencurigakan. Tanpa suara, kusergap dia dengan tiba-tiba.
“PETOK!!” si tambun berteriak kaget. Ia berusaha terbang, tetapi tidak berhasil. Ketika kukejar, ia lari tunggang-langgang meninggalkan halaman rumah.
“Fido!” kudengar sebuah teriakan dari belakangku.
Aku menoleh dan mendapati Ello sedang berdiri sambil berkacak pinggang.
“Kenapa kamu kejar ayam Pak Seno? Dia kan hanya cari makan,” omelnya.
Aku berusaha menjelaskan bahwa si tambun tadi adalah mata-mata, tapi Ello malah menghardikku.
“Masuk ke rumah!”
Dengan sebal kuturuti perintahnya. Sebenarnya aku lebih suka berlarian di luar, meski lidahku akan berkeringat setelahnya.

Sudah hampir seminggu aku tinggal bersama Ello, tetapi anak itu belum juga mempercayaiku. Berkali-kali kukatakan bahwa aku hanya ingin melindunginya, seperti pesan Pak Toni.
Pak Toni adalah seorang polisi yang bertugas melatihku sejak bayi. Dengan bantuannya, aku bisa mengenali situasi bahaya dan gerak-gerik mencurigakan. Aku sangat sayang dan hormat padanya.
Suatu hari, Pak Toni mengajakku ke rumah ini.
“Fido, mulai sekarang kamu akan tinggal bersama Ello, keponakanku,” kata Pak Toni.
Dengan sedih, aku mengiyakan.
“Jaga dia baik-baik, ya. Kamu harus selalu menuruti apa yang dia katakan. Ayo, kenalan dulu.”
Pak Toni menarik rantaiku mendekat. Aku berdiri sambil mengulurkan tangan, tapi anak itu malah mundur selangkah.
“Tidak apa-apa, Ell. Fido tidak akan menggigitmu. Dia adalah anjing yang terlatih.”
Ah anak ini pemalu sekali,’ pikirku. ‘Mungkin aku harus berkenalan dengan cara lain.’
Kudekati kakinya lalu kujilat. Saat itu juga aromanya terekam dalam memoriku.
“Hiii…” dia lari menjauh dengan ekspresi jijik dan takut. Pak Toni hanya tertawa.

Tadi pagi aku ikut mengantar Ello ke sekolah yang letaknya tidak jauh dari rumah kami. Dia berjalan bersama seorang anak perempuan dan seorang anak laki-laki.
“Ini anjingmu, Ell?” si anak perempuan bertanya sambil menatapku baik-baik.
“Iya. Namanya Fido. Menurut Omku, merawat anjing adalah salah satu terapi untuk penderita cynophobia sepertiku,” Ello menjelaskan sambil memegang rantaiku erat.
“Kamu masih trauma gara-gara dulu pernah digigit anjing tetanggamu?” tanya anak laki-laki satunya sambil sesekali menoleh ke arahku dengan waswas.
Ello hanya mengangguk.
Wah, aku baru tahu tentang cerita ini. Pantas saja, selama ini Ello selalu menjaga jarak denganku.
“Tampang anjingmu seram sekali, ya,” kata si anak perempuan.
“Iya juga sih. Apalagi bulunya hitam legam dan badannya tinggi besar. Tetapi menurut Om Toni yang sudah bertahun-tahun melatih rottweiler, mereka sebenarnya adalah anjing yang baik hati dan setia. Tetapi insting pemburunya kadang sedikit merepotkan. Jadi pemiliknya harus tegas.”
Jalanku makin tegap dan dadaku makin membusung mendengar pernyataan Ello.
“Wah, kalau punya bodyguard seperti Fido, pasti tidak ada yang berani menggangumu, Ell,” sahut si anak laki-laki.
Sesampainya di depan sebuah gedung bercat hijau, Ello menyuruhku pulang.
“Jangan mampir kemana-mana ya,” pesannya. Aku menjilat tangannya sambil berpamitan. Sekarang dia tidak keberatan bila aku melakukan itu.
“…Dan ingat! Jangan kejar ayam Pak Seno lagi.”

Malam ini, seperti biasa aku tidur di dekat tempat tidur Ello. Anak itu sudah terlelap dari tadi. Sekitar tengah malam, aku mendengar suara aneh dari luar. Telingaku langsung berdiri tegak.
‘Mungkin si tambun itu iseng lagi,’pikirku.
Semenit kemudian, kudengar suara Hi…..Hu… tepat dari luar jendela. Sekarang aku yakin ini bukan ulah si tambun. Selain aromanya berbeda, bayangan dari balik tirai jendela menunjukkan kalau si penyusup berbadan besar. Aku cepat-cepat menarik selimut Ello.
“Aduh, Fido! Ada apa sih malam-malam…” kalimat Ello berhenti ketika dia melihat apa yang tadi kulihat.
“H..h..hantu!” ia berteriak lalu menutupi wajahnya.
Wah, ini situasi bahaya! Aku segera berlari dan menerjang jendela, tapi benda itu bergeming. Aku mencoba mendorongnya sekali lagi dengan kedua kaki depanku, sambil menyalak keras-keras.
“Tolong! Tolong!” si penyusup berteriak.
Saat itulah Ello melompat dari tempat tidur, memegang kalungku erat dan berkata, “Fido, stop!”
Aku menahan langkah meski masih menggeram.
Ello buru-buru membuka jendela kamar. Ketika aku melongok keluar, kulihat dua anak yang tadi pagi berjalan bersama Ello.
“Ilham? Ferina? Ngapain kalian disitu?” Ello segera menolong keduanya, lalu mengajak mereka masuk ke kamar.
“Kami berniat memberi kejutan ulang tahun untukmu dengan menyamar menjadi hantu,” Ilham menjelaskan sambil mengelap wajahnya yang belepotan krim kue.
“Mana kami tahu kalau anjingmu tidur disini. Ketika hendak lari, kami malah terbelit selimut dan menjatuhkan kue tar untukmu. Rusak deh kejutannya,” rutuk Ferina.
Ello tertawa terbahak-bahak dan aku makin bingung. Pak Toni belum pernah mengajariku kasus seperti ini.
“Terimakasih atas kejutannya, teman-teman. Fido hanya bermaksud melindungiku,kok,” jawab Ello.
Lalu ia melakukan sesuatu yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya. Ia memelukku!
“Terimakasih, sobat,” bisiknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar