Senyum Zerpima
Oleh : Liza Efriana
“Hah! dua jam lagi mereka sampai,” tak sengaja aku mendengar percakapan mama dan mak Ijah di dapur. ”Sebal, sebal!” gerutuku sendiri. Om Fadli dan keluarganya akan datang ke rumah. Alin dan Elen sepupu kembarku itu pasti bikin kacau lagi.
“Zerpima!” mama memanggilku dari ruang tengah.
“Alin dan Elen, sebentar lagi sampai mereka akan berkunjung ke sini,” mama begitu senang mengabarkan berita itu.
Terus aku harus bilang wow, ucapku dalam hati. Menirukan gaya iklan di televisi. Pokoknya aku tak suka dengan kehadiran sepupuku. Mereka selalu membuat keributan, mengambil mainanku. Ujung-ujungnya mama selalu membela mereka alasannya karena umurku lebih tua setahun dari mereka.
“Ya, Ma, sudah tahu,” jawabku pelan. Pipiku yang gembul tambah membulat karena cemberut, memainkan ujung baju juga menjadi kebiasaan burukku jika sedang tak menyukai sesuatu. Mama tersenyum. Mungkin mama tahu kalau aku sedang kesal.
Enam bulan yang lalu mereka juga pernah main ke rumah. Boneka beruangku kotor karena ulah mereka. Ipadku juga rusak, mereka rebutan kemudian terbanting ke lantai. Belum lagi keduanya usil sering memanggilku dengan panggilan Im. Panggil aku Zerpima jangan disingkat.
Boneka, congklak, ular tangga, bola bekel, semua permainan yang kupunya kusimpan di dalam kardus. Dengan susah payah kuletakkan ke gudang belakang. Mereka tak akan bisa mengambilnya.
Teng..tongg..teng..tong, bel berbunyi. Mak Ijah tergopoh-gopoh membuka pintu. Aduh mereka telah datang. Alin, Elen sudah melihatku. Tak ada waktu untuk bersembunyi, mereka segera menghambur ke arahku. ”Huh.. mereka mulai beraksi!” omelku sendiri.
“Kak Zerpima, kami datang,” ujar mereka hampir berbarengan. Mereka sangat gembira bertemu denganku. Dua kembar itu membawakan makanan kesukaanku. Pempek ciri khas makanan dari kota mereka. Aku tak salah dengar mereka memanggilku Zerpima bukan Im.
“Main yuk!”ajak mereka.
“Gak ah, aku tak punya mainan, tuh lihat! gak ada kan?” jawabku membohongi mereka.
“Tenang kak! Kami bawa mainan yang banyak. Ada satu kardus di dalam mobil papa,” jawab Alin semangat.
“Ya, Kak. Biar kita bisa puas bermain, dan tak akan rebutan lagi,” Elen yang agak pendiam menimpali.
Aku terdiam, enam bulan tak bertemu sepupuku ini cepat sekali berubah. Mereka tak seperti yang aku duga. Maafkan aku yang telah berburuk sangka pada kalian, aku hanya bisa berkata dalam hati.
”Alin, Elen,” panggilku tak bisa menutupi kegembiraan. Aku memeluk mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar