Selasa, 26 September 2017

Toko Kue Nyonya Gunpanti

Dimuat di Majalah Bobo

Toko Kue Nyonya Gunpanti

Oleh : Liza Erfiana

Di meja kasir, Nyonya Gunpanti berkali-kali menghitung keuntungan yang bakal dia peroleh, kalau mengerjakan pesanan kue dari Nyonya Sesilia. Dengan dinaikan dua kali lipat, Nyonya Sesilia tetap tidak keberatan. Berarti keuntungan yang akan didapatkan Nyonya Gunpanti semakin besar.
“Waw! Aku harus terima itu!” ucapnya berbinar.
Keesokan hari, Nyonya Sesilia kembali datang untuk membicarakan pesanannya kemarin. Dengan senang hati, Nyonya Gupanti menerima tawaran itu. Apalagi uang muka yang diberikan Nyonya Sesilia lebih dari separuh biaya kue seluruhnya.
Nyonya Sesilia memesan dua ratus loyang kue setiap hari, selama tiga hari berturut-turut. Sebagai bangsawan di Kota Pelangi, seperti ada keharusan baginya untuk merayakan Hari Kue dengan meriah. Nyonya Sesilia mengundang anak-anak dan orang kurang mampu untuk berpesta bersama.
Suasana toko mulai ramai, pengunjung telah berdatangan untuk membeli kue-kuenya yang lezat.
 “Selamat siang Nyonya Gunpati! Aku memesan dua loyang kue apel, untuk Hari Kue besok,” kata Nek Greci, ceria. Nyonya Gunpati menolaknya, karena harus mengerjakan pesanan Nyonya Sesilia.
Timi, yang biasa suka memesan kue nanas juga ditolak oleh Nyonya Gunpanti. Kakek Sam yang sangat menyukai kue lapis madu buatan Nyonya Gunpanti mengalami nasib yang sama. Hari itu semua pelanggan yang ingin memesan kue ditolak karena alasan yang sama.
Di kota Pelangi, toko Kue Nyonya Gunpanti sangat terkenal. Kuenya enak dan lezat, tempatnya bersih dan pelayanannya cepat, karena Nyonya Gunpati memiliki dua orang karyawan yang cekatan. Ditambah lagi, toko itu adalah yang paling besar, paling lama berdiri, karena merupakan warisan Nenek Asela, ibunya. Banyak toko lain yang tidak bertahan lama dan bangkrut, tetapi toko itu tetap berdiri megah. Setiap hari banyak pengunjung yang datang.
Toko Kue Nyonya Gunpanti tutup selama tiga hari, karena sedang mengerjakan kue-kue pesanan Nyonya Sesilia. Pelanggan yang sudah terlanjur datang, jadi kecewa. Akhirnya, mereka pulang dengan membuat kue sendiri atau mencari kue di toko lain.
Hari keempat, pesanan kue selesai sudah. Nyonya Gunpati benar-benar senang. Keuntungan yang didapatnya sungguh besar. Untuk menikmati kebahagian itu, Nyonya Gunpati tidak membuka tokonya di hari keempat. Dia sengaja ingin bersenang-senang dulu dan meliburkan karyawannya.
Hari kelima rencananya mereka akan buka kembali, tetapi gandum dan gula sangat langka di pasar. Akhirnya mereka libur kembali.
Hari keenam Nyonya Gunpanti membuka tokonya dengan ceria. Wangi kue dan roti menguar kemana-mana. Yang mencium aroma kue itu dijamin langsung menelan ludah.
Siang telah datang, biasanya pengunjung sudah ramai. Sekarang belum ada satu pun yang datang. Nyonya Gunpanti dan dua karyawannya terkantuk-kantuk di meja. Sore hari, datang satu pengunjung, Pak Jones namanya. Dia hanya membeli dua potong roti. Akibatnya, hari itu Nyonya Gunpati merugi, kue yang sudah dibuatnya tidak bisa dijual lagi esok pagi.
Hari kedua membuka toko, Nyonya Gunpanti sangat semangat. Namun, sama seperti kemarin, pengunjung masih sepi. Biasanya, mereka terus berdiri melayani pembeli, sekarang hanya duduk manis di meja masing-masing.
Hari ketiga dan keempat hujan turun sangat deras. Penduduk malas keluar rumah. Akhirnya, kue-kue di toko kue Nyonya Gunpanti masih terpajang manis.
Cuaca cerah di hari kelima. Nyonya Gunpati tidak patah semangat. Dia membuka kembali tokonya. Pengunjung yang datang masih sedikit.
“Ah...hampir seminggu aku merugi!” keluh Nyonya Gunpanti sembari mengurut kepalanya yang terasa dihimpit.
Sore hari, Nenek Grece, yang dulu pernah ditolaknya datang. Seperti biasa dua loyang kue apel dipesannya. Wajah Nyonya Gunpati kembali cerah. Pelanggan setianya telah datang.
“Pengunjung kecewa dengan keputusanmu. Seharusnya, kamu layani juga permintaan mereka. Jangan hanya ingin mendapatkan keuntungan besar kamu mengabaikan kami!” sindir Nenek Grece.
Deg....Nyonya Gunpanti tersadar. Kata-kata yang keluar dari mulut Nenek Grace seperti bola yang mengenai wajahnya. Dia telah mengabaikan pelanggannya demi keuntungan besar.
“Semoga saja kesalahanmu, akan terhapuskan oleh lezatnya kuemu!” ujar Nenek Grece berlalu pergi.
“Aamiin!” jawab Nyonya Gunpati tertunduk.
Ucapan Nenek Grece memang benar. Dia menyesal, seharusnya dia tetap melayani pelanggannya. Sebenarnya, Nyonya Gunpati bisa mengerjakan tiga ratus loyang perhari. Dengan dua ratus pesanan Nyonya Sesilia, dia masih ada waktu untuk mengerjakan pesanan pelanggannya.
 “Aku benar-benar ceroboh!” sesalnya.
Kini, Nyonya Gunpati harus berjuang untuk mendapatkan hati pelanggannya kembali. Dia berjanji tidak akan mengecewakan mereka lagi, karena pembeli adalah raja.







Rabu, 20 September 2017

Kisah si Pongo

Dimuat di halaman Kompas Anak harian Kompas Minggu, 24 januari 2016 

Kisah si Pongo
Oleh : Vina Maria. A

Pongo adalah anak Orangutan Sumatera, usianya baru lima tahun. Setahun lagi Pongo sudah  bisa mandiri. Sekarang Pongo masih tinggal bersama induknya.
Hoa-hem,” Pongo menguap sambil meregangkan tangannya. Enak sekali rasanya bangun tidur setelah lelah bermain. Lho, Ibu belum pulang dari mencari makanan? Seharusnya tadi aku ikut dengan Ibu untuk belajar mencari makan. Gara-gara terlalu asyik bermain, aku malah tidur.
Tak beberapa lama, Ibu Pongo datang. “Halo, Pongo. Ini Ibu membawa pisang. Pongo pasti sudah lapar.”
Pongo mengangguk. Tapi kenapa Ibu lama mencari makanannya?” tanya Pongo sambil mulutnya penuh dengan  pisang.
“Oh, karena Ibu harus berjalan agak jauh dari biasanya,” jawab Ibu Pongo.


**
Keesokan paginya, sayup-sayup Pongo mendengar suara menderu. Suara apakah itu? Pongo tidak pernah mendengar suara seperti itu sebelumnya di hutan. Tiba-tiba badannya diguncang-guncangkan oleh Ibu.
“Pongo, Bangun! Kita harus segera pergi dari sini!” teriak Ibu.
Pongo mengikuti saja perintah Ibu. Mereka pun keluar dari sarang dan mulai bergelayutan dari pohon yang satu ke pohon yang lain. Beberapa Orangutan juga ikut berpindah tempat. Kini suara menderu yang Pongo dengar sebelumnya berhenti. Pongo menoleh ke belakang. Sebuah pohon besar di ujung sana, perlahan-lahan tumbang.
Bum…Suaranya sangat keras ketika menghantam tanah. Pongo terlonjak kaget, kenapa pohon besar itu bisa tumbang?
“Ayo, Pongo! Cepat!” teriak Ibu.
Beberapa lama kemudian Pongo dan Ibunya sudah sampai di hutan yang lebat.  “Sepertinya di sini aman.” Kata Ibu.
Ibu Pongo lalu membuat sarang dari ranting-ranting pohon untuk mereka berdua.
 “Ibu, kenapa kita harus cepat-cepat pindah? Lalu kenapa pohon-pohon besar bisa tumbang?” tanya Pongo kemudian.
Ibu menghela napas panjang, “Itu karena ulah manusia. Jika kita tidak segera pindah, pohon yang kita tinggali juga akan tumbang. Lalu Ibu dan Pongo  akan ditangkap oleh manusia.”
“Kenapa mereka menebang pohon, Bu? Pohon kan bisa menghasilkan buah, menampung air, buat udara sejuk, juga tempat Pongo bermain,” Pongo bingung.
Ibu tidak menjawab dan hanya menggeleng pelan.
Pongo masih penasaran, “Lalu kenapa kita ditangkap manusia, Bu?”
“Entahlah, yang Ibu tahu, mereka juga menangkap Harimau dan Macan Tutul. Oleh karena itu, kita jarang melihat mereka sekarang.” kata Ibu sedih.
Hm, berarti manusia itu sangat kuat, Harimau saja bisa mereka tangkap. Tapi, apakah semua manusia itu jahat?” Pongo bertanya-tanya. Pongo akhirnya pergi tidur. Dalam tidurnya, Pongo bermimpi makan beraneka macam buah segar.
**
Sudah beberapa hari ini Pongo  hanya makan dedaunan dan sedikit serangga. Karena banyak pohon ditebang, mencari buah-buahan jadi semakin sulit. Mau tidak mau Pongo harus makan apa yang ada.
“Ibu, kapan Pongo bisa makan buah-buahan lagi?” tanya Pongo.
“Ibu juga belum tahu. Yuk, ikuti Ibu,” ajak Ibu.
Pongo pun mengikuti Ibu yang memanjat sampai ke puncak pohon.
“Itu, lihat di sana. Itu hutan tempat tinggal kita yang dulu!” Ibu menunjuk ke hamparan lahan di kejauhan. Hutan tempat tinggal Pongo dulu kini sudah menjadi hamparan tanah yang luas.  Lalu Pongo menengok ke sisi lain. Di sana ada banyak pohon buah-buahan.
“Itu, Bu, di sana! Kita bisa mengambil buah-buahan!” Pongo berteriak kegirangan.
 Ibu terdiam sejenak, “Tapi, itu kebun buah milik manusia, Pongo.”
“Ayo kita ke sana, Bu. Pongo sudah lama tidak makan buah-buahan,” bujuk Pongo.
Pongo senang, Ibu berhasil dibujuk untuk mengambil buah-buahan dii kebun manusia. Hanya saja Pongo tidak boleh ikut. Pongo harus menunggu di sarang karena mengambil buah di kebun manusia sangat berbahaya.
**
Sudah lama Pongo menunggu, tetapi Ibu belum juga pulang dari mencari makanan. Padahal hari mulai gelap. Pongo panik, jangan-jangan terjadi apa-apa sama Ibu. Hari semakin larut, Pongo pun tertidur.
Besoknya, Ibu masih belum pulang. Pongo nekat  menyusul Ibu ke perkebunan. Sampai disana, Ibu tidak juga ditemukan. Pongo malah melihat sosok manusia yang membawa benda panjang. Apa itu? Tiba-tiba…“Dooor!”
Pongo kaget. Ia lari ketakutan. Tetapi, lengan bagian atas Pongo mulai terasa sakit. Dengan lengannya yang sakit Pongo tidak kuat lagi memanjat pohon. Akhirnya Pongo tak sadarkan diri.
**
Saat membuka mata, Pongo berada di tempat yang asing. membuka matanya.
“Aku ada di mana?” kata Pongo.
Dilihatnya luka di lengannya sudah dibalut kain putih. Tak lama datanglah seorang manusia. Pongo ketakutan, tapi manusia itu tersenyum ramah pada Pongo. Manusia itu menggendong Pongo dengan sayang lalu membawa Pongo keluar.
Di luar,  Pongo melihat banyak pohon dan banyak Orangutan sedang bergelayutan dengan gembira. Rupanya saat ini, Pongo berada di tempat perlindungan Orangutan, tepatnya di Taman Nasional Gunung Leuser, Sumatera Utara.
Pongo mencari-cari induk Orangutan. Adakah ibu Pongo di sana?  (Vin)
**
Naskah ini pernah dimuat di harian Kompas Minggu, 24 januari 2016, pada halaman Kompas Anak.











Kamis, 14 September 2017

Si Hitam di Tengah Malam

Dimuat di Majalah Bobo


Si Hitam di Tengah Malam
Oleh : Bonita Irfanti

Malam tiba. Angin dingin berembus. Di dalam sarangnya, Geri si Burung Gereja merapatkan tubuh kecilnya pada sang ibu. Di sampingnya, ada Gepi, saudaranya yang sudah tertidur lelap.
“Hoaahem,” Geri menguap. “Bu, aku tidur dulu, ya?”
“Tidur yang nyenyak, Nak.” Ibu mengecup kepala Geri. Tak lama, terdengar suara dengkuran Geri. Ibu Geri juga menyusul tidur setelah membetulkan selimut Geri dan Gepi.
Kresekk! Kresekk! Weerrrr!
Geri terbangun mendengar suara gemerisik daun-daun dan kepakan sayap. Ia melongok keluar. Gelap. Hanya ada temaram lampu rumah Pak Pendi di kejauhan. Jaraknya sekitar tiga ratus meter dari rumah kosong tempat sarang Geri berada.
“Bu, aku mendengar suara kepakan. Suara hewan apa, ya, Bu,” Geri mengguncang tubuh ibunya pelan. Ia sedikit takut. Namun ibunya bergeming. Sepertinya Ibunya tidur sangat pulas malam itu.
Krresekk! Kresssek! Weerrr!
Suara itu terdengar lagi dan lagi. Sambil menggigil ketakutan, Geri memutuskan untuk kembali tidur. Tapi suara-suara itu membuatnya terus terjaga. Akhirnya Geri tertidur saat hari menjelang pagi.
***
“Geri, bangun, Nak!Sudah pagi. Saatnya mencari makan.” Ibu membangunkan Geri keesokan paginya.
Sebetulnya Geri ingin membuka mata. Tapi rasanya berat sekali.
“Ibu dan Gepi pergi duluan saja. Nanti aku menyusul,” gumam Geri dengan mata setengah mengantuk.
“Ya sudah,” kata Ibu.
Geri baru terbangun ketika matahari mulai tinggi. Sinarnya yang hangat membuat matanya jadi silau.
“Hari yang cerah untuk mencari makan.” Geri meregangkan otot-otot sayapnya, lalu bersiap-siap untuk terbang. Namun tiba-tiba, Geri mendengar suara seseorang dari arah bawah sarangnya.
Setelah melompat-lompat menuju tepian atap genteng, Geri melihat Pak Pendi tampak mengomel di bawah pohon kelengkeng.
“Kelengkeng-kelengkeng ini harus cepat dipanen. Kalau tidak, aku bisa rugi!” Pak Pendi memungut beberapa buah kelengkeng yang berserakandi tanah. “Benar-benar pencuri yang menyebalkan!” sungutnya sembari berjalan pergi.
Geri jadi ingat kejadian semalam. Sepertinya suara yang ia dengar adalah suara pencuri. Namun Geri heran, kenapa si pencuri beraksi saat malam? Saat siang pun, belum tentu Pak Pendi melihatnya. Rumah Pak Pendi cukup jauh dari pohon kelengkeng ini.
Krucuk, krucuk!
“Ya ampun, aku kan belum makan. Pantas perutku bunyi.” Geri segera terbang mencari serangga lezat di sawah.
“Kamu ke mana saja. Kenapa baru terlihat?” Ibu Geri hinggap di pohon kapuk tempat Geri bertengger kekenyangan.
“Tadi aku lihat Pak Pendi mengomel, jadi aku penasaran ingin tahu ada apa.”
“Memangnya ada apa?” Gepi yang baru bergabung ikut penasaran. Dengan singkat, Geri menceritakan apa yang dilihatnya. Taklupa ia  menceritakan kejadian tadi malam.
Mendengar cerita Geri, Ibu terbahak. “Pak Pendi, Pak Pendi. Kenapa marah-marah? Harusnya ia berterima kasih.”
Geri dan Gepi berpandangan bingung. “Kok berterima kasih sama pencuri?” tanya Geri.
Belum juga Ibu menjawab, terlihat beberapa anak kecil membawa ketapel.
“Sebaiknya kita pulang sebelum anak-anak itu melihat kita,” ajak Ibu sedikit panik. Geri dan Gepi menurut. Mereka kembali ke sarang.
***
Kressekk! Kressek! Weerrr!
Geri kembali terbangun. Suara-suara itu lagi!
“Bu, Bu, ada suara-suara itu lagi!” Geri mengguncang tubuh ibunya agak keras agar terbangun. Tubuh Gepi sampai ikut terguncang.
Ibu mengucek matanya. Gepi juga. “Ada apa?” tanya Ibu agak lesu.
“Ssstt, dengerin, deh,” kata Geri.
Kressek! Weerrr! Kressek! Weeerrr!
“Oh, itu suara-suara codot, si kelelawar buah,” kata Ibu. “Kalian tahu, codot itu hebat. Penciumannya sangat tajam. Ia bisa tahu, di mana ada buah yang sudah masak. Makanya tadi siang Ibu bilang, seharusnya Pak Pendi berterima kasih pada codot-codot itu. Secara tidak langsung, ia memberitahu Pak Pendi kalau buah kelengkengnya sudah ranum.”
Geri dan Gepi mengangguk mengerti.
“Codot juga membantu penyebaran biji-biji kelengkeng. lho. Soalnya, codot memakan daging buah-buah itu di tempat lain.” Ibu mengakhiri penjelasan panjangnya.
Geri menyimak kata-kata Ibu dengan seksama. Ia benar-benar tertarik dengan hewan yang diceritakan Ibu itu.
Weerrr! Dug!
“Aduh!” Terdengar suara mengaduh. Geri dan Gepi segera melompat keluar sarang. Sesosok makhluk hitam kecil tampak bergerak-gerak di atas genteng.
“Halo.” Geri mencoba menyapa. Sosok itu menengok. Geri dan Gepi terkejut bersamaan, saat melihat dua mata besar yang berkilat. Untung Ibu sudah memberitahunya soal mata itu.
“Halo juga.” Sosok itu menatap Geri dan Gepi dengan heran.
“Apa kamu yang bernama Codot?” tanya Gepi.
Dan aku Geri.”
“Ya, namaku Codi Codot. Aku mengganggu tidurkalian, ya? Maaf, ya. Aku sedang agak pusing, jadi menabrak genteng, deh.”
“Kenapa kamu tidak cari makan saat siang?” tanya Geri lagi.
Codi tertawa. “Kami ini hewan malam. Jadi siang hari kami gunakan untuk tidur.”
Oh, begitu rupanya. Ibu pasti lupa memberitahunya soal ini,” Gepi melirik Geri
Tiba-tiba Geri menguap. Gepi ikut menguap. Sudah waktunya mereka tidur.
“Codi, kami sudah mengantuk. Kami tidur dulu, ya? Selamat malam dan selamat makan, kata Geri. Ia lalu mengajak Gepikembali ke sarangnya.
“Selamat tidur, Geri dan Gepi. Semoga mimpi indah.”

***

Minggu, 10 September 2017

Teman Baru Peri Elody




Teman Baru Peri Elody
Oleh : Afrilla Dwitasari
            Peri Elody sangat periang dan lucu. Semua peri senang berada di dekatnya. Jika sedang bertugas memberi warna dan bau harum pada bunga, Peri Elody suka bercerita lucu kepada teman-temannya. Mereka selalu tergelak mendengarnya.
            Suatu hari, Ratu Peri memanggil Peri Elody. Ratu memintanya untuk menyambut penghuni baru.
            "Elody, ini Peri Ricca yang akan menjadi teman baru kalian. Ia akan tinggal di hutan kita untuk beberapa waktu, menggantikan Peri Alba yang sakit, " ujar Ratu Peri.
            "Waah.. Selamat datang, Ricca!" sambut Peri Elody ramah.
            Peri Ricca tersenyum malu-malu. 

         

           Peri Elody mengajak Peri Ricca berkeliling hutan mereka yang indah. Tugas Peri Ricca adalah menuntun lebah untuk menemukan bunga dan menyebarkan serbuk sari bunga ke tempat yang dilaluinya. Peri Elody pun memperkenalkan bunga-bunga di hutan kepada Peri Ricca.
             Peri Ricca lebih banyak diam sepanjang perjalanan. Ia membalas dengan senyuman cerita-cerita Peri Elody. Ketika waktunya pulang ke rumah, Peri Elody mengajak Peri Ricca untuk bermain kembali esok harinya. Peri Ricca pun menggangguk senang.
            Esoknya, setelah selesai dengan tugas masing-masing, Peri Elody dan Peri Ricca kembali bermain. Begitu pula hari-hari berikutnya.
           Peri Elody tidak pernah lagi bermain bersama teman-temannya, yaitu Peri Elby, Peri Elfi, Peri Alona, dan Peri Albena. Mereka merasa rindu dengan Peri Elody. Biasanya, setiap selesai bekerja, mereka bermain bersama. Namun, sejak kehadiran Peri Ricca, Peri Elody bermain dengannya seharian.
            Peri Elby pun mendatangi Peri Elody di rumah pohonnya atas permintaan teman-teman yang lain.
            "Hai Elody! Kita main, yuk!"
            "Hai Elby! Waah, tapi aku sudah janji main sama Ricca, bagaimana, ya?" sahut Peri Elody.
            "Ajak saja Ricca main bersama kita!" seru Peri Elby.
            "Tapi.... Ricca pemalu.... Ia masih belum bisa bertemu dengan banyak peri."
            Peri Elby pulang. Peri Elody tidak menyadari Peri Elby yang kecewa.
            Begitulah, sekarang Peri Elody sudah tidak bermain dengan teman-teman lamanya. Tidak ada lagi senda gurau dan gelak tawa Peri Elody bersama mereka.
            Suatu siang, Peri Elfi meminta bantuan Peri Elody.
            "Elody, maukah kamu membantuku membawakan baju-baju lamaku ke rumah Peri Alona?"
            "Wah, aku tidak bisa. Aku harus mengunjungi Ricca di rumahnya!" jawab Peri Elody.
            Lagi-lagi Peri Elody tidak menyadari Peri Elfi sedih karena penolakannya. Bukan hanya sekali itu saja. Peri Elody juga pernah mengecewakan Peri Albena.
            "Elody, tolong bantu aku mewarnai bunga lili yang besar ini, aku tak bisa mewarnainya sendirian."
            "Aku tidak bisa, Albena. Aku harus menemani Ricca menuntun lebah!"
            Teman-temannya saling berpandangan lalu mendesah.
            Di suatu senja, Peri Elody dikejutkan oleh berita yang tidak menyenangkan. Peri Ricca harus pindah ke tempat asalnya, karena Peri Alba sudah sembuh dari sakitnya. Peri Elody sedih sekali. Ia kehilangan Peri Ricca. Namun, ia teringat akan teman-teman lamanya. Ah, aku masih punya mereka, gumamnya.
            Peri Elody mendatangi Peri Elby.
            "Hai Elby! Maukah kamu menemaniku mencari buah beri?" ujar Peri Elody riang.
            Sayang, Peri Elby menolaknya.
            "Aku tidak bisa. Aku sudah ada janji." Peri Elby terbang dan melambaikan tangannya.
            Peri Elody tercenung. Hmm, aku menemui Peri Elfi saja kalau begitu, gumamnya.
            "Hai Elfi! Maukah kamu menemaniku menca..."
            Peri Elfi segera menjawab, "Aku tidak bisa, Elody. Ada pekerjaan yang harus aku lakukan!" Peri Elfi terbang menjauh.
            Olala... Peri Elody terdiam. Ia sedih sekali. Tak terasa air mata tergenang di pelupuk matanya.
            "Oh, ini pasti karena kesalahanku.. Dulu aku meninggalkan teman-temanku dan tidak mau menolong mereka, " ucapnya pelan.
            Peri Elody merasa kesepian. Berhari-hari ia termenung di sebuah bunga. Ia tidak punya teman bermain.
            Ketika sedang mewarnai bunga mawar, Peri Elody mengerang kesakitan. Bajunya tersangkut duri mawar dan kulitnya berdarah.
            "Aduh, sakit sekali!"
            Peri Elody tidak menyadari bahwa teman-temannya sedang memmerhatikannya dari kejauhan.
            "Hai Elody, " sapa Peri Elby tiba-tiba.
            Peri Elody terkejut. Matanya yang mungil membelalak saat melihat Peri Elby, Peri Elfi, Peri Alona, dan Peri Albena.
            "Ayo, sini, kami bantu membalut lukamu!" kata peri Elfi.
            "Setelah itu kita bisa bermain bersama, " ujar Peri Elby sambil tersenyum.
            "Kalian masih mau menerimaku jadi teman? Meskipun aku sudah lama tidak bermain bersama kalian, karena aku bermain bersama Ricca?" tanya Peri Elody takut-takut.
            "Elody, kami rindu denganmu.Walaupun sudah lama tidak bermain, kami kan tetap temanmu!" kata Peri Elfi.
            Peri Alona menggangguk-angguk.
            "Kemarin kami sengaja menjauhi kamu, karena kami cuma ingin kamu ingat pada kami. Kami tahu kamu tidak sengaja melupakan kami. Kalau kami senang main denganmu, itu berarti kami juga mau memaafkan kesalahanmu, " ujar Peri Elby.
            "Jangan sedih lagi, Elody!" seru Peri Albena.
            "Maafkan aku, teman-teman!" Peri Elody menitikkan air mata.
            Teman-temannya kemudian memeluknya. Mereka kembali bergandengan tangan.
            Peri Elody terharu. Teman-temannya sayang padanya. Ya, kalau teman-temannya menyukai kelebihannya, mereka juga pasti mau menerima kekurangannya. Peri Elody juga berjanji, kalau nanti ada teman baru lagi, ia harus tetap ingat teman-teman lamanya!

                                                                        ***




Jumat, 08 September 2017

Sup Jamur Pedas Kurcaci Pepito

Dimuat di Majalah Bobo (dok. Jojo P)


Sup Jamur Pedas Kurcaci Pepito
Jojo Prameisti

Di Desa Titania, para kurcaci dan peri sedang menyiapkan diri untuk Malam Pertunjukkan Bakat yang akan diadakan dua minggu lagi. Pepito kurcaci bingung, dia tidak tahu harus menampilkan bakat apa. Pepito lalu pergi ke rumah teman-temannya yang sibuk latihan untuk acara itu. Pepito pergi ke rumah Lilian peri yang pintar menari.
“Tangan dan kakimu harus gemulai. Badanmu juga harus tegak. Menarilah mengikuti alunan musik,” Lilian mengajari Pepito dengan sabar. “Kau juga harus pakai baju yang menarik waktu menari, jadi penonton akan suka saat melihatmu menari,” Lilian menambahkan.
“Aaahh, susah sekali. Aku nggak bisa menari. Banyak aturan dan gerakan yang harus dihapal,“ keluh Pepito. Pepito menyerah lalu pergi ke rumah Toro kurcaci.


Rumah Toro kurcaci berantakan. Penuh dengan cat, kuas lukis, dan kanvas.
“Aku sedang melukis rumah jamur, kau mau ikut?” tanya Toro. Pepito mencoba melukis. Dia mencampur semua warna dan menggambar sesukanya.
“Jangan seperti itu,” kata Toro saat melihat lukisan Pepito yang tak beraturan. “Kau harus bisa memadukan warna. Ikuti imajinasimu,” nasihat Toro. Toro lalu memberikan contoh lukisan-lukisannya yang indah kepada Pepito. Baru sebentar melukis, Pepito sudah mulai bosan. Pepito lalu pergi ke rumah Nancy peri yang pintar menyanyi.
“Lalala… trilili…,“ Nancy peri menyanyi dengan semangat. Suara Nancy merdu sekali. Nancy mencoba menghapal lirik lagu yang akan dia nyanyikan di acara Malam Pertunjukkan Bakat. Pepito mendekat lalu ikut bernyanyi.
“Duh, suaramu sumbang sekali,” keluh Nancy saat mendengar Pepito menyanyi. “Kamu seharusnya sering-sering latihan dengan Charis peri, pasti nanti suaramu sebagus aku,” kata Nancy bangga. Pepito kesal mendengar kata-kata Nancy. Dia lalu pergi dengan perasaan sedih.
“Aduh,” suara Melvi peri mengagetkan Pepito.
“Maaf. Aku nggak sengaja menabrakmu.” Pepito langsung mengambil tas Melvi yang jatuh.
“Tadi kamu jalan sambil melamun ya?” tanya Melvi.
“Ehm, iya.” Pepito menunduk sedih.
“Kamu kenapa? Kamu sakit? Atau ada masalah? Ayo, cerita aja.” desak Melvi. Pepito lalu bercerita tentang teman-temannya yang sibuk berlatih untuk Malam Pertunjukkan Bakat. Dia sedih karena tidak bisa menari, melukis, atau pun menyanyi seperti teman-temannya.
“Setiap peri dan kurcaci itu diberi satu kemampuan atau bakat. Kamu pasti punya. Kamu saja yang belum menyadarinya. Coba diingat-ingat, bakat apa yang kamu punya.”
Pepito pulang ke rumah dan terus memikirkan kata-kata Melvi.
Keesokan harinya, Pepito buru-buru ke Pondok Makan Jamur.
“Pepito! Sup Jamur Pedas 2 porsi untuk meja 7. Brokoli keju untuk meja 2. Sup Jamur Pedas dan Keripik Jamur untuk meja 5 ya!” teriak Lilo kurcaci yang menjaga di meja kasir.
Hari sabtu adalah hari tersibuk di Pondok Makan Jamur. Banyak pelanggan datang untuk memesan Sup Jamur Pedas buatan Pepito. Pepito bekerja sebagai koki di Pondok Makan Jamur milik Ayahnya itu.
“Pepito! Aku suka sup jamurmu. Rasanya beda seperti yang dijual di rumah-rumah makan. Aku rasa ini sup jamur paling enak di Desa Titania. Kamu harus ajari aku cara membuatnya,” kata Benito kurcaci, teman Pepito yang menjadi pelanggan setia Pondok Makan Jamur.
“Hahaha… Enak ya? Syukurlah kalau kamu suka,” kata Pepito.
“Pepito! Ada pesanan lagi. Sup Jamur Pedas untuk meja 4. Sate jamur untuk meja 8, dan Sup Jamur Pedas 2 porsi untuk dibawa pulang ya!” kata Lilo.
Pepito kembali sibuk di dapur dan memasak Sup Jamur Pedas untuk pelanggan-pelanggannya.
Pukulsepuluh malam, Pondok Makan Jamur tutup. Akhirnya Pepito bisa beristirahat setelah seharian masak di dapur. Saat menaruh barang-barangnya di meja, dia melihat brosur Malam Pertunjukkan Bakat . “Aduh, dua hari lagi acaranya, dan aku belum tahu bakatku apa.”
Pepito pergi ke rumah Melvi untuk mengantarkan Sup Jamur Pedas pesanan Ibunya.
“Melvi, ini sup jamur pesanan ibumu.”
Melvi langsung mengambilnya dan menuangkannya ke mangkuk.
“Kamu tahu, ibuku suka sekali sup jamur pedas buatanmu. Katanya sup jamurmu enak sekali. Kamu memang pintar memasak!” kata Melvi memuji.
“Ehm, tapi itu bukan bakat,” kata Pepito sedih.
“Kata siapa itu bukan bakat. Semua orang mungkin bisa memasak, tapi nggak semua pintar memasak sepertimu. Contohnya aku. Aku bisa masak sup jamur, tapi nggak selezat buatanmu. Kamu berbakat, Pepito!”
“Jadi, bakatku memasak?” tanya Pepito.
“Nah, akhirnya kamu menyadarinya, kan.”
Pepito tersenyum senang. Mungkin dia tidak pintar menari seperti Lilian peri, tidak pintar melukis seperti Toro kurcaci, atau pintar menyanyi seperti Nancy, tapi dia bisa memasak Sup Jamur Pedas terenak di Desa Titania.




Rabu, 06 September 2017

Misteri Bau Daun Pandan

Dimuat di Majalah Bobo


Misteri Bau Daun Pandan
Sri Mulyani

Pulang sekolah Yogi melihat rumah Nek Gimo ramai sekali. Mama juga berada di sana. Rumah Nek Gimo berseberangan dengan rumah Yogi. Orang-orang yang datang ke rumah Nek Gimo mengenakan peci dan selendang.
“Ada apa, Ma?” Yogi berusaha mendekati Mama, menerobos kerumunan orang-orang.
“Nek Gimo sudah meninggal, Nak, baru saja.” Yogi melihat mata Mama kemerahan, habis menangis.
Kemarin memang Nek Gimo mengeluh demam. Yogi diminta Mama mengantarkan bubur untuk Nek Gimo. Selama ini Nek Gimo tinggal sendiri. Anak-anaknya tinggal di kota. Nek Gimo menolak tinggal di kota, tidak betah katanya, sewaktu ditanya Mama. Tetangga menyayangi Nek Gimo. Selalu ada yang datang ke rumahnya untuk menghantarkan makanan atau menemaninya ngobrol.



Nek Gimo orangnya rajin, rumahnya bersih, halamannya ditanami banyak pohon. Anak-anak suka bermain ke sana. Nek Gimo juga baik, anak-anak selalu diberi buah hasil panennya.
Yogi duduk diam-diam di sebelah Mama yang sedang meronce daun pandan dan bunga-bunga. Kalau ada orang meninggal, kegiatan ini selalu dilakukan oleh warga. Yogi suka bau daun pandan, mengingatkannya ketika Mama masak kolak pisang kesukaannya.
“Terimakasih banyak, Bu, Dik Yogi, selama ini sudah memperhatikan Ibu kami.” Salah seorang anak  Nek Gimo mengucapkan terimakasih pada Mama dan Yogi, sebelum keduanya pamit pulang, sesudah pemakaman nenek.
***
Yogi tiba-tiba terbangun dari tidur, di atap rumah terdengar berisik. Yogi mempertajam pendengarannya. Tak lama suara itu menghilang.
Ah, paling juga angin yang memainkan daun-daun, batin Yogi. Kembali dia merapatkan selimutnya, karena udara bertambah dingin. Malam ini hujannya tidak begitu deras, tapi disertai angin yang lumayan kencang.
Suara itu muncul lagi, kali ini seperti suara langkah kaki. Yogi terbangun dan langsung duduk di sisi tempat tidurnya. Suara langkah kaki itu menjauh, lalu muncul lagi, tepat di atap kamar yang Yogi tempati.
“Bau daun pandan?” tubuh Yogi merinding.
             Yogi teringat daun pandan yang sangat banyak tadi siang, yang dironce oleh mamanya, di rumah nek Gimo. Yogi takut, selimutnya ditarik menutupi sekujur tubuhnya, telinganya ditimpa bantal. Tak lama, Yogi kembali tertidur pulas.
***
“Tadi malam, di atap kamarku ada suara orang jalan, lho, Raf.” di kelas Yogi bercerita pada Rafi, teman semejanya, yang juga tetangganya. Rumah Rafi bersebelahan dengan rumah Nek Gimo.
“Ah, serius kamu?” Rafi penasaran.
“Serius. Lalu tidak lama tercium bau pandan. Kamu ingat, sewaktu Nek Gimo meninggal, kan daun pandan banyak dipakai?” Yogi berbisik di telingan Rafi. Rafi jadi ketakutan.
“Berarti Nek Gimo datang ke rumahmu, Yog?” Rafi hampir berteriak. Yogi mengangguk, menutup mulut Rafi agar tidak didengar teman yang lain.
Yogi tidak konsentrasi mengikuti pelajaran hari ini. Dia gelisah memikirkan apa yang akan terjadi nanti malam.
***
“Pa..Pa..Mama..”  Yogi mengetuk pintu sekeras-kerasnya. Tubuhnya menggigil ketakutan. Suara itu datang lagi, bau pandan membuat Yogi berkeringat dingin. Mama keluar, langsung memeluk tubuh Yogi, Papa segera memeriksa keadaan kamar Yogi.
“Apa yang terjadi, Nak? Tidak ada apa-apa di kamar Yogi, kok?” Papa juga ikutan khawatir, memegang bahu Yogi.
“Tadi..tadi..ada suara langkah kaki di atap rumah. Tidak lama tercium bau pandan, Maa...” wajah Yogi pucat sekali. “Kemarin kaaann...” Yogi  tidak meneruskan kalimatnya, menghambur ke pelukan papanya. Seperti tahu jawaban masalah Yogi, Mama tersenyum, lalu berjalan menuju dapur.
“Biar Papa saja, Ma!” Papa melepaskan pelukan Yogi, kemudian mengaduk isi laci lemari dapur, mencari senter.
“Papa mau ke mana, jangan keluar!!” teriak Yogi tiba-tiba.
             Papa merapatkan jari telunjuk ke bibirnya, meminta Yogi untuk tidak berbicara. Mama merangkul bahu Yogi, mengajaknya mengikuti Papa yang berjalan merunduk-runduk.
Papa membuka pintu belakang pelan-pelan. Yogi terus memegangi tangan mamanya. Tiba-tiba melompat seekor hewan dari atap menuju tembok belakang rumah.
“Binatang apa itu, Pa? Bukan kucing kan? Ekornya panjang sekali!!” Yogi berteriak tertahan.
            Papa menyorotkan lampu senter ke arah binatang itu, matanya berkilat-kilat tertimpa cahaya. Binatang itu melompat ke atap milik tetangga belakang rumah, dan berlari menghilang di kegelapan malam.
“Itu namanya musang pandan.” Papa memain-mainkan cahaya lampu senter ke segala arah, menghilangkan ketegangan Yogi.
“Musang pandan? Jadi binatang itu yang menyebabkan bau pandan, Pa?”
            Papa mengangguk, tertawa pelan. Yogi terheran-heran. Mama meminta Yogi meneruskan pertanyaannya besok pagi. Meskipun masih penasaran, Yogi masuk kamar, melanjutkan tidurnya.
***
“Di buku cerita, musang itu berburu ayam, Pa. Sedang di rumah kita tidak ada ayam kan?” Yogi duduk di samping Papa, sudah berpakaian rapi, siap untuk sarapan. Nasi goreng sosis buatan Mama aromanya sudah menggoda sejak tadi. Sambil menyendok nasi, Yogi melanjutkan pertanyaan tadi malam.
“Mungkin tetangga kita ada yang memelihara ayam, atau sedang berburu tikus.” terang Papa. Sambil sarapan, mereka bercerita tentang hewan yang bernama musang. Ada banyak pengetahuan tentang musang yang diterangkan Papa dan Mama pada Yogi pagi ini.
Yogi sedih, saat menatap rumah Nek Gimo. Yogi membaca doa dalam hati. Kata Papa dan Mama, bila kita mengingat orang yang sudah meninggal, bacakanlah doa untuknya.
Selamat jalan, Nek!









Senin, 04 September 2017

Peri Veli dan Raksasa

                         
Dimuat di Majalah Bobo
              
     

Peri Veli  dan Raksasa
oleh Muhammad Fauzi

Seharusnya, semua Peri di Istana Goldy berambut emas. Itu karena mereka terlahir dari keturunan terpilih. Akan tetapi, Peri Veli berambut hitam. Padahal Ibunya berambut emas. Akibatnya, Peri Veli menjadi pembicaraan dan diasingkan.
“Sungguh aneh,” gumam Peri Sean. “Seharusnya Peri Veli tidak tinggal di Istana Goldy,” lanjutnya sambil mengibaskan rambut emasnya.
“Ya, seharusnya begitu,” timpal Peri Abel. “Itulah sebabnya aku tidak mau berteman dengan Veli. Aku takut ikut terkutuk seperti dia.”


Hampir semua Peri berpendapat jika Peri Veli terkena kutukan. Karena rambutnya hitam dan panjang. Saking panjangnya, banyak Peri jengkel karena sayapnya tersangkut di rambut Peri Veli.
“Ini membosankan!” Peri Abel membuka ceritanya. “Hampir setiap aku mengayunkan tongkatku, selalu menyangkut di rambutnya.”
“Aku juga pernah mengalaminya,” Peri Sean mengiyakan.
Peri Clara yang baru datang ke Menara Istana, ikut berbicara. “Bagaimana kalau Veli kita pindahkan ke Istana Pelangi?” usulnya.
“Aku setuju!” ucap Peri Sean bersemangat.
Mereka menyusun rencana. Para Peri langsung menemui Ratu Peri. Tapi ternyata Ratu Peri tidak setuju jika Peri Veli dipindahkan ke Istana Pelangi.
Malamnya, Peri Veli menemui Ibunya. Dia mendengar kabar akan dipindahkan ke Istana Pelangi. Peri Veli sedih dan takut. Jika dia dipindahkan, itu artinya ia akan berpisah dengan Ibunya. Dan Peri Veli tidak mau itu terjadi.
“Puteriku, jangan bersedih. Yakinlah, dalam waktu dekat mereka semua akan sadar. Dan rambut hitammu akan berubah menjadi emas,” hibur Ibu Peri Veli.
“Benarkah, Bu?” mata Peri Veli berbinar-binar. “Lalu, apa yang Ibu rahasiakan dariku?”
Ibu Peri Veli memejamkan matanya. Lalu mengambil ramuan dan buku mantra di lemari. “Ambillah, Puteriku!”
Peri Veli menerimanya. Kemudian mendengarkan cerita Ibunya.
Tengah malam nanti, akan ada Raksasa pembuat kain emas. Raksasa itu akan mengambil seluruh rambut Peri yang berwarna emas. Dan jika rambut emas para Peri hilang, maka kekuatannya juga akan lenyap.
“Usapkan ramuan itu ke rambutmu sekarang. Dan, jika nanti Raksasa itu datang, bacalah mantranya,” perintah Ibu Peri Veli.
Peri Veli menurut. Ramuan itu diusapkan ke rambutnya. Dalam beberapa detik, rambut hitamnya bertambah panjang. Peri Veli kebingungan.
Tiba-tiba Istana Goldy menjadi ramai. Semua Peri terbang mencari perlindungan. Teriakan minta tolong bersahutan. Mereka ketakutan karena Raksasa telah datang. Raksasa ganas itu bersiap-siap memangkas rambut emas para Peri.
Peri Veli semakin bingung. “Apa yang harus kulakukan?”
“Semua Peri kemarilah! Kita bersembunyi di balik rambut Puteriku, Peri Veli,” teriak Ibu Peri Veli.
Tanpa berpikir lama, semua Peri bersembunyi. Rambut hitam Peri Veli mampu mengelabuhi mata Raksasa.
“Di mana kalian bersembunyi? Keluarlah! Atau aku akan menghancurkan Istana Goldy!” ancam Raksasa.
Semua Peri ketakutan.
Ibu Peri Veli yang berada di belakang Peri Veli berbisik. “Puteriku, cepat baca mantranya!”
Lantrae mantraoge doom tralala pralayoma,” teriak Peri Veli.
Oh, tidak! Raksasa itu tidak musnah. Malah ia semakin ganas. Tangan besarnya bersiap mencengkeram Peri Veli.
Peri Veli sangat ketakutan. Apa yang salah dengan mantranya? batin Peri Veli.
“Ibu, mantranya tidak manjur. Aku harus bagaimana, Bu?” Peri Veli panik.
“Baca lagi mantranya tiga kali,” jawab Ibu Peri Veli.
Lantrae mantraoge doom tralala pralayoma. Lantrae mantraoge doom tralala pralayoma. Lantrae mantraoge doom tralala pralayoma,” teriak Peri Veli dengan mata terpejam.
Semua Peri ikut memejamkan mata. Mereka pasrah dengan apa yang akan terjadi. Termasuk siap kehilangan rambut dan kekuatannya. Dug, dug, dug, jantung mereka berdegup kencang. Tiba-tiba..
“Akh… panas!” teriak Raksasa sambil memegang kepalanya.
Dalam sekejap, tubuh Raksasa menjadi hitam. Kemudian mengecil, mengecil… dan melebur.
Semua Peri membuka matanya. Mereka terperangah. Sekarang mereka lega, karena Raksasa jahat itu tidak akan datang lagi. Mereka mengucapkan terima kasih kepada Peri Veli.
“Veli, maafkan kami, karena telah menuduh kamu yang bukan-bukan,” kata Peri Sean penuh sesal.
“Maafkan kami semua Veli,” Peri Abel mengulurkan tangannya. Peri Veli menyambut uluran tangan Peri Abel. Mereka berpelukan.
Seluruh Peri bergembira. Mereka terbang sambil bernyanyi dan menari. Peri Veli telah menyelamatkan mereka. Tiba-tiba rambut hitam Peri Veli berubah warna menjadi emas. Semua Peri takjub melihatnya. Peri Veli semakin cantik dan memesona.
“Ini hadiah untuk kesabaran dan keberanianmu, Puteriku,” Ibu Peri Veli mengelus rambut Puterinya.
Peri Veli mengangguk. “Iya, Ibu. Semua akan indah pada waktunya,” jawab Peri Veli sambil tersenyum.