Dimuat di Majalah Bobo |
Misteri Bau Daun Pandan
Sri Mulyani
Pulang sekolah Yogi melihat rumah Nek Gimo ramai sekali. Mama juga berada di sana. Rumah Nek Gimo berseberangan dengan rumah Yogi. Orang-orang yang datang ke rumah Nek Gimo mengenakan peci dan selendang.
“Ada apa, Ma?” Yogi berusaha mendekati Mama, menerobos kerumunan orang-orang.
“Nek Gimo sudah meninggal, Nak, baru saja.” Yogi melihat mata Mama kemerahan, habis menangis.
Kemarin memang Nek Gimo mengeluh demam. Yogi diminta Mama mengantarkan bubur untuk Nek Gimo. Selama ini Nek Gimo tinggal sendiri. Anak-anaknya tinggal di kota. Nek Gimo menolak tinggal di kota, tidak betah katanya, sewaktu ditanya Mama. Tetangga menyayangi Nek Gimo. Selalu ada yang datang ke rumahnya untuk menghantarkan makanan atau menemaninya ngobrol.
Nek Gimo orangnya rajin, rumahnya bersih, halamannya ditanami banyak pohon. Anak-anak suka bermain ke sana. Nek Gimo juga baik, anak-anak selalu diberi buah hasil panennya.
Yogi duduk diam-diam di sebelah Mama yang sedang meronce daun pandan dan bunga-bunga. Kalau ada orang meninggal, kegiatan ini selalu dilakukan oleh warga. Yogi suka bau daun pandan, mengingatkannya ketika Mama masak kolak pisang kesukaannya.
“Terimakasih banyak, Bu, Dik Yogi, selama ini sudah memperhatikan Ibu kami.” Salah seorang anak Nek Gimo mengucapkan terimakasih pada Mama dan Yogi, sebelum keduanya pamit pulang, sesudah pemakaman nenek.
***
Yogi tiba-tiba terbangun dari tidur, di atap rumah terdengar berisik. Yogi mempertajam pendengarannya. Tak lama suara itu menghilang.
Ah, paling juga angin yang memainkan daun-daun, batin Yogi. Kembali dia merapatkan selimutnya, karena udara bertambah dingin. Malam ini hujannya tidak begitu deras, tapi disertai angin yang lumayan kencang.
Suara itu muncul lagi, kali ini seperti suara langkah kaki. Yogi terbangun dan langsung duduk di sisi tempat tidurnya. Suara langkah kaki itu menjauh, lalu muncul lagi, tepat di atap kamar yang Yogi tempati.
“Bau daun pandan?” tubuh Yogi merinding.
Yogi teringat daun pandan yang sangat banyak tadi siang, yang dironce oleh mamanya, di rumah nek Gimo. Yogi takut, selimutnya ditarik menutupi sekujur tubuhnya, telinganya ditimpa bantal. Tak lama, Yogi kembali tertidur pulas.
***
“Tadi malam, di atap kamarku ada suara orang jalan, lho, Raf.” di kelas Yogi bercerita pada Rafi, teman semejanya, yang juga tetangganya. Rumah Rafi bersebelahan dengan rumah Nek Gimo.
“Ah, serius kamu?” Rafi penasaran.
“Serius. Lalu tidak lama tercium bau pandan. Kamu ingat, sewaktu Nek Gimo meninggal, kan daun pandan banyak dipakai?” Yogi berbisik di telingan Rafi. Rafi jadi ketakutan.
“Berarti Nek Gimo datang ke rumahmu, Yog?” Rafi hampir berteriak. Yogi mengangguk, menutup mulut Rafi agar tidak didengar teman yang lain.
Yogi tidak konsentrasi mengikuti pelajaran hari ini. Dia gelisah memikirkan apa yang akan terjadi nanti malam.
***
“Pa..Pa..Mama..” Yogi mengetuk pintu sekeras-kerasnya. Tubuhnya menggigil ketakutan. Suara itu datang lagi, bau pandan membuat Yogi berkeringat dingin. Mama keluar, langsung memeluk tubuh Yogi, Papa segera memeriksa keadaan kamar Yogi.
“Apa yang terjadi, Nak? Tidak ada apa-apa di kamar Yogi, kok?” Papa juga ikutan khawatir, memegang bahu Yogi.
“Tadi..tadi..ada suara langkah kaki di atap rumah. Tidak lama tercium bau pandan, Maa...” wajah Yogi pucat sekali. “Kemarin kaaann...” Yogi tidak meneruskan kalimatnya, menghambur ke pelukan papanya. Seperti tahu jawaban masalah Yogi, Mama tersenyum, lalu berjalan menuju dapur.
“Biar Papa saja, Ma!” Papa melepaskan pelukan Yogi, kemudian mengaduk isi laci lemari dapur, mencari senter.
“Papa mau ke mana, jangan keluar!!” teriak Yogi tiba-tiba.
Papa merapatkan jari telunjuk ke bibirnya, meminta Yogi untuk tidak berbicara. Mama merangkul bahu Yogi, mengajaknya mengikuti Papa yang berjalan merunduk-runduk.
Papa membuka pintu belakang pelan-pelan. Yogi terus memegangi tangan mamanya. Tiba-tiba melompat seekor hewan dari atap menuju tembok belakang rumah.
“Binatang apa itu, Pa? Bukan kucing kan? Ekornya panjang sekali!!” Yogi berteriak tertahan.
Papa menyorotkan lampu senter ke arah binatang itu, matanya berkilat-kilat tertimpa cahaya. Binatang itu melompat ke atap milik tetangga belakang rumah, dan berlari menghilang di kegelapan malam.
“Itu namanya musang pandan.” Papa memain-mainkan cahaya lampu senter ke segala arah, menghilangkan ketegangan Yogi.
“Musang pandan? Jadi binatang itu yang menyebabkan bau pandan, Pa?”
Papa mengangguk, tertawa pelan. Yogi terheran-heran. Mama meminta Yogi meneruskan pertanyaannya besok pagi. Meskipun masih penasaran, Yogi masuk kamar, melanjutkan tidurnya.
***
“Di buku cerita, musang itu berburu ayam, Pa. Sedang di rumah kita tidak ada ayam kan?” Yogi duduk di samping Papa, sudah berpakaian rapi, siap untuk sarapan. Nasi goreng sosis buatan Mama aromanya sudah menggoda sejak tadi. Sambil menyendok nasi, Yogi melanjutkan pertanyaan tadi malam.
“Mungkin tetangga kita ada yang memelihara ayam, atau sedang berburu tikus.” terang Papa. Sambil sarapan, mereka bercerita tentang hewan yang bernama musang. Ada banyak pengetahuan tentang musang yang diterangkan Papa dan Mama pada Yogi pagi ini.
Yogi sedih, saat menatap rumah Nek Gimo. Yogi membaca doa dalam hati. Kata Papa dan Mama, bila kita mengingat orang yang sudah meninggal, bacakanlah doa untuknya.
Selamat jalan, Nek!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar