Senin, 21 Agustus 2017

Magenta

Dimuat di Majalah Bobo

Magenta
Oleh : Riska Aryati

Desa Willow akan mengadakan perlombaan bakat tahunan minggu depan. Setiap penyihir sangat bersemangat mengikutinya, termasuk Magenta. Hanya saja, ia tidak tahu harus menampilkan apa.
Magenta membawa keranjang dan sapu terbangnya. Ia berniat mengajak Rosa dan Viola, sahabat-sahabatnya, untuk pergi ke hutan mencari tanaman obat.
Ia mengetuk pintu rumah Rosa, "Rosa, mau ke hutan bersamaku?"
Rosa menggeleng. "Tidak ah. Aku mau melatih suaraku lagi."
Magenta mengangguk setuju, "Tentu saja, suaramu sangat indah, Rosa. Tapi jangan berlebihan, nanti suaramu bisa serak saat perlombaan minggu depan."
Rosa tersenyum pada Magenta. “Baiklah, Magenta. Terima kasih sudah mengingatkan aku, ya.”
Magenta tersenyum. “Sama-sama, Rosa. Aku pergi dulu, ya!”
Magenta menaiki sapu terbangnya. Ia terbang menuju rumah Viola di tepi hutan. "Viola, mau menemaniku mencari tanaman obat di hutan?"
Viola keluar rumah membawa sapu terbangnya, namun ternyata Viola menggeleng. "Tidak, Magenta. Aku mau melatih putaranku di udara."
Magenta mengangguk paham. Ia bertambah kecewa, karena harus sendirian ke hutan. Viola memang akan menunjukkan bakat minggu depan. "Kamu sangat hebat dengan sapu terbangmu, Viola. Hati-hati saat berlatih, ya.
“Baik, Magenta! Aku akan berhati-hati.”
Magenta memasuki hutan dan memenuhi keranjangnya dengan dedaunan dan kulit kayu. Setelah itu, Magenta bersiap kembali pulang ke rumahnya.
“Aduuuh...!” tiba-tiba Magenta mendengar suara mengaduh. Ia segera mencari darimana asal suara itu.
"Ya ampun, Nenek Prilla, ada apa?" Magenta menghampiri Nenek Prilla yang tampak sangat kesakitan.
"Perutku sakit sekali.."
Magenta mengamati beberapa buah beri yang tergeletak di tanah. "Nenek makan buah beri ini?"
Nenek Prilla mengangguk.
Magenta mengambil alat tumbuknya dan botol kecil dari keranjang. "Ini beri beracun, Nek. Sebentar Magenta buatkan penawarnya." Magenta mengambil beberapa daun obat dan menumbuknya. Ia lalu memberikan cairan hasil tumbukan kepada Nenek Prilla.
"Diminum sekarang, Nek. Nanti Magenta buatkan lagi untuk diminum di rumah."
Nenek Prilla tersenyum, "Terimakasih Magenta, kamu baik sekali.
“Sama-sama, Nek! Mari, aku bantu Nenek sampai ke rumah!”
***
Saat hari perlombaan, Magenta menghampiri rumah Rosa untuk mengajaknya pergi bersama. Namun rumah Rosa sepi sekali. Magenta memanggil sahabatnya. "Rosa, mau pergi bersamaku ke perlombaan?"
Kriet
Pintu rumah terbuka, Rosa terlihat sangat sedih sekali. "Aku tidak ikut, Magenta. Tenggorokanku sakit.." ujarnya dengan suara parau.
"Oh, ya ampun. Sebentar kubuatkan ramuan untukmu, ya." Magenta mengeluarkan isi keranjangnya dan mulai meramu obat untuk Rosa.
Rosa meminum ramuan tersebut sekali teguk. "Terimakasih, Magenta. Tenggorokanku terasa lebih baik. Seharusnya aku mendengarkan saranmu."
"Sudahlah, Rosa. Ayo kita jemput Viola."
Mereka mengetuk pintu rumah Viola. Terdengar seruan Viola dari dalam rumah. "Masuk saja, tidak dikunci!"
Magenta dan Rosa masuk, mereka terkejut melihat Viola yang sedang duduk di sofa. Wajahnya pucat, "Kaki dan tanganku terkilir saat melatih putaran sapu terbangku." Sesal Viola.
"Sebentar kubuatkan ramuan untuk bengkak di tangan dan kakimu." Magenta mengeluarkan kulit kayu dan beberapa dedaunan. Ia lantas menumbuk bahan-bahan dengan cepat. Segera saja ramuan obat untuk Viola selesai. Magenta mengoleskan ramuan tersebut lantas mebebat tangan dan kaki Viola.
"Sudah. Bagaimana jika kita pergi ke perlombaan?" usul Magenta.
Rosa dan Viola saling berpandangan, mereka menggeleng bersamaan.
"Tidak ah, Magenta. Percuma saja kami datang."
"Ayolah, meski kita tidak ikut perlombaannya, tapi kita bisa menonton. Pasti seru." Bujuk Magenta.
Rosa.dan Viola akhirnya setuju.
Magenta, Rosa, dan Viola menaiki sapu mereka dan terbang perlahan. Mereka tiba di tempat perlombaan lebih lambat, dan mereka sangat terkejut.
Para penyihir di tempat tersebut sebagian besar merintih kesakitan. Rupanya sihir salah satu peserta merusak sarang-sarang tawon dan membuat tawon-tawon menyerang para peserta.
Magenta bergegas memeriksa para penyihir. Ia lalu membuat ramuan penawar sengatan tawon.
"Rosa, Viola, tolong berikan ramuan ini kepada penyihir yang terkena sengatan, ya." ujar Magenta.
Rosa dan Viola mengangguk dan membantu Magenta.
Tak lama seluruh penyihir telah merasa baikan.
Nenek Prilla nampak berbicara dengan beberapa penyihir lainnya. Ternyata Nenek Prilla adalah salah satu juri perlombaan, dan para juri sepakat menjadikan Magenta sebagai pemenang lomba.
"Magenta, bakatmu sungguh berguna. Kami sepakat menjadikanmu pemenang perlombaan dan mengangkatmu menjadi tabib di desa Willow." ujar Nenek Prilla dan juri lainnya.
Magenta sangat senang, ternyata ia memiliki bakat spesial yang menjadikannya berguna bagi banyak orang. Magenta berjanji, akan melaksanakan tugasnya sebaik-baiknya.
***




Sabtu, 19 Agustus 2017

Mengenal Rumah Baca ABIH

Salam, Sahabat Kurcaci Pos
Kali ini, Kurcaci Pos akan bercerita tentang rumah baca Aku Bisa Hebat atau ABIH, rumah baca yang didirikan oleh Kak Siti Rumlayati. Nama itu diberikan Kak Nurhayati Pujiastuti (Penulis cerita anak juga). Dengan harapan anak-anak yang datang ke rumah baca berkeyakinan, bahwa mereka akan menjadi anak-anak yang hebat dengan membaca buku yang ada di sana. Kak Siti Rumlayati bercerita, Rumah Baca ABIH  resmi berdiri tanggal 29 Agustus 2015. Alamatnya, di Jalan Raya Ngembul, Rt 10/ Rw 03 Kecamatan Kalipare, Malang. Tapi sebelum itu, sudah aktivitas pinjam buku atas nama pribadi.


Awal berdiri Rumah Baca Aku bisa Hebat ini,  karena Kak Siti Rumlayati merasa prihatin sekali dengan keadaan di desanya yang susah sekali mencari buku bacaan. Tida ada perpustakaan. Kalau mau beli koran saja harus ke kota terdekat. Tukang koran kadanga da, kadang tidak ada, karena jarang ada pelanggan.
Begitu juga kalau mau membeli buku, harus ke Malang kota. Kalau pinjam buku gratis juga harus ke perpustakaaan kabupaten atau perpustakaan  kota. Padahal jaraknya sangat jauh dari tempat Kak Siti. Kalau naik kendaraan umum bisa sampai 3 jam. Wah.. kalau PP, bisa membutuhkan waktu 6 jam.



Lalu Kak Siti mulai mengumpulkan buku dengan dana pribadi. Kebetulan juga banyak sekali teman-teman yang mendukung. Terutama saat itu dari Kak Nurhayati Pujiastuti. Awalnya buku koleksi Rumah Baca ABIH masih sekitar 50 eksemplar. Tapi kemudian terus bertambah meski dibilang masih terbatas.

 Sebenarnya, Kak Siti sempat ragu mendirikan rumah baca ini. Soalnya bukunya masih terbatas dengan terbatasnya. Tapi Kak Nurhayati terus mendukung Kak Siti. Kata Kak Nur,  tambahan buku bisa dicari sambil jalan.
Ternyata benar. Setelah rumah baca resmi berdiri, banyak teman-teman khususnya dari kalangan penulis cerita anak mendukung. Mereka mau mendonasikan buku sebagian koleksi bukunya untuk rumah baca,” ujar Sirly antusias.

Tapi sayangnya, walau rumah baca ABIH sudah mempunya banyak koleksi buku, tapi pengunjungnya tetap sepi. Kak Siti harus ‘menjemput bola’, dengan cara mendatangi beberapa rumah dan mengenalkan tentang Rumah Baca Aku Bisa Hebat.  Selain di sekitar tempat tinggal, Kak Siti juga mendatangi dusun-dusun lain. Padahal jaraknya cukup jauh. Sekitar 2-3 km. Tidak lupa juga, Kak Siti menjelaskan kegiatan apa saja yang akan diadakan di rumah baca ABIH.Anggota pertama dari kalangan tetangga. Jumlahnya pun cuma sekitar 10 anak. Lalu bertambah lagi dari tempat yang lebih jauh termasuk lain dusun.


Kak Siti sempat mengerutkan kening, ketika bertemu dengan ibu-ibu dan nenek-nenek. Mereka menanyakan tentang biaya untuk menjadi anggota rumah baca ABIH. Rupanya masih banyak sekali masyarakat di desa Kak Siti yang belum paham, bahwa rumah baca Aku Bisa Hebat adalah organisasi nirlaba. Jadi murni berbagi alias gratis.

Teman guru dari desa tetangga yang kebetulan kadang ke rumah juga tertarik meminjam buku. Tapi sekali lagi, Kak Siti harus mengerutkan kening, ketika ditanya berapa sewa pinjam bukunya. Mungkin karena rumah baca Kak Siti adalah rumah baca pertama di Kalipare. Tapi setelah Kak Siti jelaskan, akhirnya Kak Siti tidak lagi mendapat pertanyaan serupa. Alhamdulillah.
 Rumah baca Sirly belum mempunyai bangunan sendiri, dan masih menyatu dengan rumah Kak Siti. Ruang tamu Kak Siti pindah ke ruang tengah. Sedangkan ruang tamu Kak Siti gunakan untuk rumah baca.

Sampai sekarang, jumlah buku yang ada sekarang sekitar 600 eksemplar. Anggota dari masyarakat sekitar dan dari desa lain. Juga anak-anak dari pesantren yang ada dekat rumah Kak Siti. Keseluruhan dari anak-anak sampai emak-emak dan bapak-bapak juga kakak-kakak dari pesantren ada sekitar 127 orang.
Aktivitas pinjam buku setiap hari. Tapi untuk kegiatan yang didampingi relawan hanya seminggu sekali karena kegiatan anak-anak sudah padat di TPQ pesantren dekat rumah Kak Siti. Untuk pinjam buku kalau untuk remaja boleh pinjam sampai 5. Tapi kalau untuk anak-anak hanya 2 buku. Waktu tidak kami batasi. Anak-anak atau siapa pun peminjam harus menulis buku yang dipinjamnya sendiri di buku peminjaman.Waktu megembalikan mereka juga harus menulis sendiri tanggal pengembaliannya.Semua pakai sistem kejujuran.



Rumah baca ABIH juga mempunyai beberapa relawan yang berasal dari kalangan keluarga Kak Siti sendiri. Kak Siti dibantu oleh suami, keponakan, dan saudara lainnya.Mereka rela menyempatkan waktunya untuk menemani anak-anak-anak. Keren, ya.

Kegiatan wajib anak-anak adalah membaca bersama.Tapi sebelumnya akan dibuka dengan mendengarkan cerita yang dibacakan oleh relawan, agar mereka semakin penasaran dengan buku-buku koleksi kami. Buku yang biasa dibacakan adalah buku baru atau buku koleksi yang kadang tak tersentuh oleh anak-anak. Mungkin karena mereka tidak tahu kalau isi buku itu menarik.

Untuk memotivasi mereka membaca Kak Siti dan relawan lainnya menyuruh mereka membuat pohon baca. Judul buku yang telah mereka baca harus ditulis di pohon baca tersebut. yang paling banyak membacanya akan mendapat hadiah.
Jika ada buku baru yang terdapat hadiah di dalamnya, biasanya kan anak-anak sangat tertarik. Nah itu juga Kak Siti jadikan alat untuk memotivasi mereka agar mau membaca dan menulis. Siapa yang bisa menceritakan kembali buku yang diceritakannya maka akan dapat hadiah dalam buku itu.


Selain kegiatan itu ada juga kegiatan bulanan. Biasanya Kak Siti akan mengajak anak-anak refresing keluar. Jalan-jalan ke tanah lapang. Tapi tetap kegiatan wajib pertama adalah membaca. Jadi acara membaca buku dulu, baru setelah itu acara hore. Anak-anak boleh bermain bebas. Selain bermain bebas kadang dijadwalkan untuk mengenalkan permainan tradisional. Kak Siti  juga sudah berencana menambah kegiatan. Misalnya kegiatan sanggar.
Kebetuan baru akan dimulai minggu depan. Sirly bekerja sama dengan Sanggar Dusun milik Pak Darman D Hoeri.



Harapan Kak Siti dengan hadirnya rumah baca ABIH ini, semoga anak-anak di desanya tidak kesulitan lagi mencari sumber bacaan gratis, dan mereka bisa maju seperti anak-anak lain yang tinggal di kota. Mereka bisa jadi anak yang hebat dalam ilmu dan akhlaq. Aamiin. Kurcaci Pos pun doakan, semga rumah baca ABIH terus berkembang.
Nah, buat Sahabat Kurcacies yang ingin mendonasikan bukunya ke rumah baca ABIH ni, bisa lho. Sahabat Kurcaci Pos bisa langsung kontak (klik nama) Kak Siti Rumlayati atau Rumah Baca ABIH , ya!


Selasa, 15 Agustus 2017

Kado Istimewa untuk Silvi

Dimuat di majalah Bobo (dok.Novia Erwida)

KADO ISTIMEWA UNTUK SILVI
Oleh : Novia Erwida
Silvi menatap iri pada Salma. Lagi-lagi, Salma memakai baju baru. Kali ini Salma memakai terusan ungu dengan hiasan payet di sekeliling leher. Juga ada bunga-bunga besar yang menjuntai di sisi bawah gaun. Cantik sekali.
Salma pamer baju baru terus di setiap acara ulang tahun, batin Silvi
“Waaah…! Putri kerajaan sudah datang.” Goda Merry yang sedang berulang tahun.
Salma menyunggingkan senyum, menyalami Merry dan menyerahkan kadonya. “Selamat ulang tahun…”
“Terima kasih, Tuan Putri.” Jawab Merry sambil membungkukkan badan.
Teman-teman tertawa. Hanya Silvi yang diam saja. Bagi Silvi, Salma adalah anak yang suka pamer. Salma tidak menghargai teman-teman yang tidak bisa membeli baju baru seperti Silvi. Silvi memandang baju hijaunya. Ada sedikit robek di lengannya, tapi ibu sudah menisiknya.
Silvi pernah minta dibelikan baju yang baru. Ibu bilang belum punya uang. Jadi, di setiap acara ulang tahun, Silvi selalu memakai gaun hijaunya.
Silvi menghidari berdekatan dengan Salma. Dia tak mau bajunya tenggelam oleh gemerlap gaun Salma.
“Ini buatmu.” Salma mengambilkan sepotong cake cokelat buat Silvi.
“Terima kasih.” Jawab Silvi jawab Silvi tanpa senyum. Salma hanya heran melihat Silvi yang tidak ramah.
***
Ada undangan ulang tahun dari Mia. Silvi membolak-balik undangan itu. Dia ragu untuk datang. Ibu masih belum membelikan gaun baru. Baju yang ada di lemari, cuma kaos dan celana jeans. Tidak pantas dipakai untuk acara ulang tahun.
“Bu, kalau Mia tanya, bilang Silvi sakit ya.” Kata Silvi pada Ibunya.
“Lho? Kok Silvi menyuruh Ibu bohong?” sela Ibu.
Silvi menggigit bibir. Dia tak sanggup melihat Salma memakai gaun baru lagi. Silvi akan semakin benci dengan gaun hijaunya.
“Silvi, kan, enggak punya baju.” Jawabnya pelan.
“Yang hijau, kan, bagus? Kasihan Mia kalau kamu tidak datang.” Bujuk Ibu.
Sepertinya Silvi tetap harus berangkat ke acara itu. Ibu tak mau berbohong.
Silvi masuk ke kamarnya, lalu membuka lemari. Ada gaun ungu kak Sarah, masih bagus tapi kebesaran buat Silvi. Silvi mencobanya dan mematut-matut diri di depan cermin.
Bahu gaun itu jatuh sampai ke lengan. Bagian badannya kedodoran. Bagian bawah gaun, panjang sampai menyapu lantai. Tampak sekali kalau Silvi memakai gaun pinjaman. Mungkin beberapa tahun lagi, barulah gaun itu pas dipakai Silvi.
Silvi meneteskan air mata. Tak ada pilihan lain. Sekarang dia harus berangkat. Disambarnya gaun hijau dan berdandan sekedarnya. Tak lupa memakai bando berwarna emas. Pemberian Ibu sebulan yang lalu.
Silvi belajar menerima keadaan. Ia tak mau mengeluh. Kalau Ibu punya uang, pasti ia dibelikan baju baru. Sejak Ayah meninggal, Ibu menerima pesanan kue. Hasil penjualan kue Ibu tidak seberapa. Sejah subuh, Ibu selalu menyusun kue-kue dalam baki plastik untuk diantar ke warung-warung. Kadang Silvi dan Kak Sarah ikut membantu mengantarkan kue.
Silvi memasuki rumah Mia, matanya mencari-cari sosok Salma. Benar tebakan Silvi. Kali ini Salma memakai gaun pink yang lembut. Roknya mekar seperti putri raja. Gaun yang cantik, tidak seperti… Ah, Silvi kembali menyesali gaun hijaunya.
Ulang tahun Mia meriah. Ada games meletuskan balon dengan perintah lucu bagi yang terkena hukuman. Silvi menikmati permainan, sampai lupa soal gaunnya.
Tiba-tiba Mia bersorak. “Minggu depan kita pesta di rumah Silvi!”
“Asiiiik…” teman-teman yang lain bertepuk tangan meriah. Silvi tersenyum kecut. Minggu depan memang ulang tahunnya, tapi Silvi tak mungkin mengadakan pesta. Ibu tak punya uang untuk itu.
Salma mendekati Silvi. Silvi menjauh. Salma heran.
“Kenapa, Sil?”
“Bajumu bagus sekali. Aku malu di dekatmu.” Kata Silvi berbisik.
Salma tersenyum. “Ibuku tukang jahit, Sil. Baju ini dibuat dari kain sisa yang masih bisa dipakai. Pelanggan Ibu biasanya memberikan kain sisa baju mereka.” Jawab Salma.
Kening Silvi berkerut.
“Coba lihat, bagian atas dan bawah kainnya berbeda kan?”
Silvi memperhatikan. Benar. Hanya warnanya saja yang senada. Pasti Ibu Salma bekerja keras menjahit gaun itu sampai cantik begitu.
“Ibumu hebat.” Kata Silvi jujur.
Salma tersenyum. “Ibumu juga hebat. Aku suka kue buatan ibumu.” Jawab Salma.
Silvi tercenung mendengarnya.
Seminggu kemudian, Salma datang ke rumah Silvi membawa kado. Silvi kaget sekaligus senang.
“Aku tidak mengadakan pesta.” Kata Silvi.
“Aku tahu. Tapi bukalah kado ini.” Jawab Salma.
Jemari Silvi bergerak cepat karena penasaran. Setelah kado terbuka, Silvi terbelalak. Ada gaun baru berwarna biru.
“Terima kasih…” Silvi memeluk Salma. Silvi tahu ini berasal dari kain sisa. Tapi tak ada yang tahu selain Silvi, Salma dan Ibu Salma.
Silvi langsung memakai gaun itu. Pas dan tidak longgar seperti gaun Kak Sarah. Silvi berputar-putar. Hatinya sangat senang. Salma juga senang, dia sudah memberi kado yang dibutuhkan Silvi.
Silvi menarik tangan Salma ke meja makan. “Ibumu pintar menjahit, Ibuku pintar bikin kue. Ayo coba.” Kata Silvi sambil menyerahkan sepiring black forest pada Salma. Hanya kue itu sebagai simbol perayaan ulang tahun Silvi.
Salma mencolek krim, dan mengoleskan ke hidung Silvi. Silvi membalas. Hidung Salma berlepotan krim. Mereka tertawa bersama.

Rabu, 09 Agustus 2017

Rahasia Kukuh

Dimuat di Majalah Bobo


RAHASIA KUKUH
Oleh: Ruri Ummu Zayyan

Fandi terengah-engah menyelesaikan putaran terakhir larinya. Sementara Kukuh sudah melampaui jauh di depannya.
“Kalau begini pasti Kukuh yang menang,” Fandi sedikit kesal.
Sia-sia rasanya beberapa hari ini ia memaksa Ayah menemani jogging setiap pagi. Semuanya demi seleksi lomba lari hari ini. Tetapi tampaknya Kukuh yang akan terpilih mewakili sekolah mereka.
Benar saja.
“Semuanya, mari kita dukung Kukuh supaya menang. Bagi yang belum terpilih, jangan kecewa, ya! Masih banyak ajang lainnya yang bisa kalian ikuti sesuai bakat masing-masing,” kata Pak Arman.
Fandi membalikkan badan dengan gontai setelah Pak Arman menutup kegiatan seleksi hari itu.
Saat teman-teman berkerumun di kantin, Kukuh mendekati Fandi. Mereka sahabat dekat meski selalu bersaing dalam hal olahraga.
“Kamu mau menonton aku lomba lari kan, Fan?” tanya Kukuh. Ia tahu Fandi agak kecewa.
“Iya dong, aku pasti nonton. Nanti aku minta diantar Ayah,” jawab Fandi sambil tersenyum.
“Ssstt.., mau kuberi tahu sebuah rahasia?” bisik Kukuh.
“Rahasia apa?”
“Sebut saja rahasia suksesku jadi pelari. Hehehe..,” Kukuh menunjukkan barisan giginya yang putih.
“Hahaha, kamu ada-ada saja. Aku memang heran sih, dulu kan kalau balapan selalu aku yang menang. Kok sekarang larimu cepat banget. Tenagamu juga kuat, nggak gampang ngos-ngosan,” kata Fandi.
Ia mengamati Kukuh dari ujung kepala sampai ujung kaki. Badan Kukuh terlihat semakin tegap, betisnya berotot. Ia juga cepat tumbuh tinggi. Meski kulitnya semakin gelap.
“Nanti pulang sekolah main ke rumahku, ya!” ajak Kukuh.
“Oke!” jawab Fandi mantap.
Begitu bel pulang sekolah berbunyi, Fandi meminta tolong kepada Bu Ira, wali kelasnya untuk mengabari Ibu kalau ia langsung main ke rumah Kukuh. Siswa SD Mutiara Hati memang tidak diperbolehkan membawa ponsel. Kalau ada sesuatu yang harus disampaikan, biasanya lewat telepon sekolah atau ponsel wali kelas.
“Bagaimana?” Kukuh sudah menunggu di gerbang sekolah.
“Beres!” Fandi mengacungkan jempolnya. Mereka berjalan beriringan dengan gembira.
“Lho, kok lewat sini?” Fandi heran. Terakhir ia main ke rumah Kukuh, arahnya ke barat, bukan ke timur. Waktu itu naik angkot, bukan berjalan kaki seperti sekarang.
“Aku memang belum cerita kalau aku sudah pindah. Kira-kira tiga bulan yang lalu,” jawab Kukuh.
“Oh,” ujar Fandi pendek. Mereka terus berjalan sambil mengobrol ini itu.
“Jauh juga ya? Kenapa nggak naik angkot saja?” Fandi bertanya lagi.
“Kalau naik angkot nggak ada jurusan yang langsung ke rumahku, Fan. Harus ganti tiga kali. Dari rumahku naik mikrobus, turun di pasar. Terus naik angkot B5, turun di Rumah Sakit, terus baru naik C1 sampai sekolah kita. Jalannya juga memutar. Mending aku jalan kaki. Bisa ambil jalan memotong lewat gang. Lebih cepat sampai juga,” jelas Kukuh panjang lebar. Sementara itu Fandi mulai ngos-ngosan.
“Kamu capek?” tanya Kukuh.
“Ya iyalah. Tadi habis seleksi aku sudah capek. Sekarang tambah jalan kaki segini jauhnya, panas lagi.” Fandi mengusap peluh di dahinya.
“Kita istirahat dulu di situ?” Kukuh menunjuk pohon besar yang rindang di tepi jalan.
“Nih, minumku masih ada,” Kukuh menyodorkan botol minuman kepada Fandi setelah mereka duduk di bawah pohon.
“Ngomong-ngomong, kenapa rumahmu pindah, Kuh?” Fandi penasaran.
“Oh, itu karena kontrakan rumahku yang dulu habis. Kata Ibu, kalau mau mengontrak di situ lagi, harganya terlalu mahal. Ayah kan sudah meninggal. Ibu cuma jualan kue. Jadi kami pindah ke kontrakan yang lebih kecil dekat pasar kota. Jualan Ibu juga lebih ramai di sana,” kata Kukuh.
“Oh,” Fandi mengerti. Sekitar enam bulan yang lalu ayah Kukuh meninggal. Ia ingat suasana sekolah waktu itu jadi sedih. Kasihan Kukuh.
“Sudah belum? Kita jalan lagi, yuk!” ajak Kukuh. Fandi masih menikmati semilir angin.
“Tunggu, tunggu! Tadi kamu bilang mau kasih tahu rahasia suksesmu?” Fandi menahan Kukuh yang akan beranjak bangun.
“Nanti kamu juga tahu sendiri,” Kukuh menarik tangan Fandi untuk bangun dari duduknya.
“Jangan khawatir, nanti aku siapkan kue-kue yang enak buatan ibuku. Minumnya, mau es campur, jus buah juga ada. Lengkap. Ibuku kan jualan. Buat kamu gratis deh,” janji Kukuh. Fandi tertawa.
Mereka berjalan lagi. Akhirnya sampai juga di rumah kontrakan Kukuh. Fandi terduduk di teras. Napasnya terengah-engah.
“Kita jalan berapa kilometer tadi? Ada sepuluh ya?” tanya Fandi.
“Hahaha, kamu lebay. Tiga kilometer saja kok. Tapi coba kamu bayangkan, tiap hari aku berjalan sejauh itu. Kalau sudah agak terlambat karena membantu Ibu, aku lari. Itu rahasia kenapa lariku cepat,” kata Kukuh.
“Huh, dasar! Bilang kek dari tadi, kan kakiku nggak usah pegal-pegal begini,” gerutu Fandi. Tapi, ia jadi mengerti sekarang.

****






Minggu, 06 Agustus 2017

Juara Sesungguhnya

Dimuat di majalah Bobo

Juara Sesungguhnya
Oleh: Agnes Dessyana

            “Nek, ajarkan kami memasak,” pinta Fluffy kelinci dengan mata bulat berbinar-binar. Floppy, saudaranya, mengangguk di sebelahnya.
            Nenek Fifi menghampiri kedua cucunya dan bertanya lembut. “Apa yang ingin kalian masak?”
            “Kue Wortel!” Kedua anak kelinci berseru dengan semangat.
            “Kue wortel nenek adalah yang paling enak," ucap Fluffy sambil melompat gembira.
            “Kami yakin kue itu akan jadi pemenang lomba.” Floppy menambahkan dengan tidak kalah semangatnya.
            Nenek Fifi mengangguk mengerti. “Ah, lomba masak Pekan Raya Rimba."
            Kedua anak kelinci itu mengangguk sambil melompat kegirangan. Nenek Fifi tertawa melihat semangat keduanya.
            “Baiklah, Nenek akan mengajarkan kalian memasak, tapi dengan satu syarat.”
            “Syarat?” Fluffy berhenti melompat.
            Floppy ikut berhenti. “Syarat apa?”
            Nenek Fifi tersenyum. “Kalian harus tetap semangat untuk belajar.”
            Fluffy dan Floppy tertunduk. Mereka terkenal dengan sebutan ‘si kembar pemalas’. Mereka tidak pernah selesai melakukan sesuatu dan selalu berhenti di tengah jalan. Maka, Nenek Fifi mengajukan syarat tersebut. Ingin tahu seberapa besar semangat kedua cucunya untuk memenangkan lomba.
            “Oke,” sahut Fluffy. “Aku setuju.”
            “Aku juga,” timpal Floppy. “Seberapa susah sih membuat kue? Kami pasti bisa.”
            "Nenek akan ajarkan kalian untuk membuat kue wortel."
            “Hore!” seru keduanya dan memeluk Nenek Fifi.
            Sejak itu, Fluffy dan Floppy selalu datang ke rumah nenek. Mereka belajar memilih wortel terbaik, mengolah tepung, memecahkan telur, menakar gula, dan memanggang kue.
“Argh, kuenya gosong,” ucap Fluffy sedih sambil meratapi kuenya yang berwarna hitam.
“Tidak apa, kita bisa ulang lagi dari awal.”
Keesokan harinya, giliran Floppy yang mengalami kegagalan.
“Nek, kuenya tidak mengembang.”
Sekali lagi, Nenek Fifi hanya tersenyum dan menghibur cucunya.
Begitu seterusnya, selama seminggu mereka belajar masak bersama Nenek Fifi. Selalu saja ada kegagalan, seperti kurang manis, gosong, ataupun keras. Ada saat dimana kedua kelinci itu lelah dan hilang semangat tapi janji mereka pada nenek membuat mereka berusaha untuk tetap memasak.
            Berhari-hari mereka belajar untuk menyempurnakan kue wortel tersebut. Hingga akhirnya, mereka pun berhasil membuat kue wortel yang rasa dan bentuknya sama persis dengan buatan nenek.
            “Enak sekali,” sorak kedua anak kelinci itu dengan riang ketika mencicipi kue wortel buatan mereka.
            Nenek Fifi tersenyum. “Kalian siap ikut lomba?”
            “Tentu saja.” Fluffy menjawab dengan yakin.
            Floppy menambahkan sambil menjilati sendok yang dipegangnya. “Besok kami pasti menang. Kue wortel ini enak sekali.”
            Nenek Fifi kemudian memberikan resep kue wortel pada kedua cucunya. Mereka pun menerimanya dan kemudian pulang sambil membawa kue wortel buatan mereka.
            Keesokan harinya, kedua kelinci itu bangun pagi. Mereka membawa gula, wortel terbesar dan terbaik, tepung, telur, dan tidak lupa memasukkan resepnya ke dalam keranjang. Fluffy dan Floppy membawa semua bahan itu dengan hati-hati.
            Dalam perjalanan menuju Pekan Raya Rimba, langkah kedua anak kelinci itu terhenti. Mereka melihat Ibu Beruang sedang kebingungan.
            “Ada apa, Bu Beruang?” tanya Fluffy.
            “Aku kehabisan telur untuk membuat telur dadar kesukaan putraku. Padahal putraku akan segera bangun.”
            Fluffy dan Floppy berbisik-bisik. Akhirnya mereka pun menyerahkan dua butir telur milik mereka. Ibu Beruang langsung memeluk mereka dan mengucapkan terima kasih. Kedua anak kelinci itu pun melanjutkan perjalanan mereka.
            Mereka sudah dapat melihat spanduk lomba ketika tiba-tiba sebuah kantong tepung jatuh di atas kepala Floppy.
            “Kalian tidak apa?” tanya Ibu Elang yang mendarat turun di depan mereka.
            Fluffy dan Floppy mengangguk. Ibu Elang bernapas lega.
            Ibu Elang menatap sedih kantong tepungnya yang telah jatuh. “Bagaimana ini? Tanpa tepung, aku tidak mungkin bisa ikut lomba.”
            Fluffy dan Floppy kembali berbisik. Mereka pun mengangguk bersamaan. Fluffy memberikan sebagian tepung mereka pada Ibu Elang.
            “Benarkah tidak apa? Bukankah kalian juga akan ikut lomba?” tanya Ibu Elang sambil menunjuk ke arah keranjang bawaan mereka.
            “Tidak apa Bu Elang,” jawab Fluffy.
            “Ini cukup untuk kue buatan kami,” timpal Floppy.
            Ibu Elang pun memeluk mereka dan berterima kasih. Ketiganya lalu berjalan beriringan menuju ke tempat lomba.
            Setelah mendaftarkan diri, mereka pun menuju meja untuk mempersiapkan diri. Ketika lomba dimulai, Fluffy dan Floppy mulai memasak seperti yang diajarkan Nenek Kelinci. Mereka memerlukan beberapa tambahan waktu untuk mengukur ulang takaran resep, karena kekurangan tepung dan telur. Tapi, akhirnya mereka pun berhasil membuat kue wortel.
            Dewan juri kemudian berunding setelah mencicipi semua masakan peserta. Fluffy dan Floppy menunggu dengan hati berdebar. Tapi, ternyata pemenangnya adalah Ibu Elang dan kue apelnya. Melihat itu, kedua anak kelinci tersebut tertunduk sedih. Mereka sudah berjuang keras dan melakukan yang terbaik. Fluffy dan Floppy baru saja akan berjalan pergi ketika tiba-tiba Ibu Elang datang menghampiri keduanya.
            “Ini semua berkat kalian. Terima kasih,” ucap Ibu Elang dan kemudian menyerahkan pita pemenang lomba pada mereka. “Kalian lah juara yang sesungguhnya.”
            Para penonton bertepuk tangan dan bersorak riang. Nenek Fifi yang datang pun tersenyum bangga. Meski kedua cucunya tidak menang. Mereka telah memenangkan hal lain. Mereka mendapat pengakuan dari para penghuni hutan rimba bahwa mereka bukanlah lagi anak kelinci yang malas.