Dimuat di Majalah Bobo |
TIWIK SI TELEDOR
Tuti Sitanggang
Tiwik mengaduk-aduk keranjang pakaian kotor. Pakaian-pakaian itu sudah berbau belum dicuci. Penyihir cilik itu tak menemukan apa yang dicarinya. Tidak sabar, ia menuangkan semua isi keranjang ke lantai. Tiwik menyibak tumpukan kain. Pakaian bertebaran ke mana-mana membuat keadaan ruangan kacau sekali. Tiwik berkacak pinggang karena kesal, lalu meninggalkan helaian pakaian yang berantakan.
“Uh! Di mana, sih, topi hitamku?” sungutnya pada diri sendiri. Tiwik pergi ke ruang tengah. Ada sebuah rak kayu yang menempel di dinding batu. Di bagian atas berisi buku-buku sekolah, sedangkan di bagian bawahnya berbagai alat tulis, boneka-boneka, dan beberapa peralatan sihir berjejalan tak teratur. Tiwik membongkar isi rak, topi hitam tak juga terlihat.
“Tidak ada juga…. Di mana kira-kira topi hitamku?” Katanya sambil menggaruk kepala. Ia diam sejenak sambil berusaha mengingat-ingat topi hitamnya. Besok sudah masuk sekolah. Hari pertama sekolah biasanya kepala sekolah memeriksa semua kelengkapan seragam. Seperti teman-temannya yang lain, Tiwik harus mengenakan jubah, pin tanda kelas, sepatu dan kaus kaki, serta topi hitam. Seingat Tiwik, ia meletakkan topi hitam di kapstok topi dekat pintu, tapi tadi pagi ia tak mendapatkannya di sana. Tiwik juga sudah mencari di lemari baju. Tapi bukan di kedua tempat itu saja ia biasa menyimpan Si Topi Hitam. Tiwik juga sering meletakkannya di keranjang baju, di laci kaus kaki, dan juga di penjemuran. Wah, begitu banyak tempat penyimpanan, sehingga ia lupa di mana sebenarnya topi itu disimpan.
Tiwik sudah sering kehilangan barang-barangnya karena lupa menaruhnya. Bulan lalu ia tak menemukan kaus kaki merah di laci. Ia mencarinya ke sana ke mari. Ternyata, setelah menggunakannya, kaus kaki kotor ia letakkan saja dalam sepatu. Karena baunya yang menusuk, seekor tikus curut yang bersembunyi di pojok dapur menjadikannya mainan. Ketika ditemukan, kaus kaki Tiwik telah tercabik dan berlubang-lubang.
Minggu lalu penyihir kecil itu kehilangan tongkat sihirnya. Dua hari lamanya Tiwik tak dapat membuat keajaiban apapun. Ario, sahabatnya, menemukan tongkat itu diantara ranting kayu perapian. Untung saja belum sempat dijadikan kayu bakar. Lalu, berturut-turut ia panik karena tak menemukan sebelah sepatunya, kotak bekal, serta sarung tangan miliknya. Ah, Tiwik.. Tiwik… begitu sibuknya tiap saat mencari barang yang hilang.
Tiwik menyerah. Seharian ia telah meneliti semua sudut rumahnya, namun topi hitam tak kunjung terlihat juga. Tiba-tiba penyihir cilik itu ingat sesuatu. Dulu, Tiwik pernah meminjam topi hitam Ario. “Ah, tak ada salahnya jika aku meminjam topi hitam Ario sekali lagi,” gumamnya. Ario punya dua buah topi hitam hadiah neneknya ketika berulangtahun ke delapan tahun lalu.
Tiwik menaiki sapu terbangnya. Dengan sekali hentak, sapu itu membawa Tiwik melayang menuju rumah Ario.
“Hai Ario!” sapa Tiwik.
“Hai, Tiwik. Kau tak bilang kalau akan ke mari. Ayo masuk, kebetulan sekali, aku baru selesai membereskan rumahku.” Ario membawa Tiwik masuk. Ruang tamu itu tak terlalu luas, tapi nyaman. Tiwik melepas jubahnya dan meletakkannya di sofa. Mata Ario langsung tertuju pada jubah itu.
“Hmmm… Sahabatku, jubah ini bukan di situ tempatnya, tapi di sini.” Ario meraih jubah Tiwik lalu menggantungkannya di kapstok.
“Upsss… maaf, Ario,” ujar Tiwik. Gadis itu menyandarkan sapunya di dekat tungku yang masih menyala.
“Wow, kau ceroboh sekali, Sobat. Sapumu bisa tersambar api bila kau letakkan di dekat tungku,” Ario mengingatkan, lalu memindahkan sapu Tiwik ke tempat sapu.
“Oh, terima kasih, Sobat,” jawab Tiwik sambil duduk. Ia memperhatikan ruangan itu. Semua barang diletakkan di tempatnya. Buku-buku tertata di rak, lentera berkaca bersih tergantung di dinding, bahkan ada seikat bunga lily di dalam vas menghiasi meja tamu Ario.
“Ada apa, Sobat? Kau sepertinya bingung?” tanya Ario penuh perhatian.
“Aku mau meminjam topi hitammu. Topiku hilang,…..lagi” jawabnya singkat.
“Lagi-lagi kehilangan. Pasti Engkau tak menyimpan topimu dengan baik.”
“Seingatku aku pernah menyimpannya di beberapa tempat. Tapi seluruh tempat itu telah kuperiksa. Hasilnya nihil,” keluh Tiwik.
“Dasar bandel! Harusnya kau menyimpannya di satu tempat saja agar mudah dicari. Pakaian di susun di lemari, topi dan jubah digantung, kaus kaki di laci, tentunya harus dicuci terlebih dahulu,” Ario menasehati.
“Iya, iya, seperti rumahmu ini ya, semua berada di tempatnya,” Tiwik mengakui keteledorannya.
“Ayo, kubantu mencari topimu!” Ario mengambil sapu terbangnya di tempat biasa, jubah bulunya dan topi dari gantungan, lalu terbang bersama Tiwik. Tiwik iri melihat betapa mudahnya Ario mendapatkan keperluan yang ia butuhkan. Ario tak perlu mencari-cari lagi sapu terbang, jubah, dan topinya ketika akan dipakai. Tiwik berjanji akan menuruti nasehat Ario menyimpan segala sesuatu pada tempatnya agar tak kehilangan lagi.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar