Oleh Muhammad Fauzi
Namanya Pohon Kamboja. Dia tumbuh subur di halaman depan rumah Pak Adi. Diantara pohon lain yang tumbuh disekitarnya, hanya Pohon Kamboja yang tidak bisa berbuah.
“Pohon Kamboja yang aneh,” ucap Pohon Mangga Madu pada Pohon Kelengkeng. Saat itu, Pohon Kamboja sedang menjatuhkan bunganya.
“Tumbuh tinggi dan subur tetapi tidak bisa berbuah. Bunganya juga tidak berguna. Lihatlah setiap pagi, Bu Arnita, Isteri Pak Adi, selalu mengomel saat menyapu halaman. Itu karena bunga Pohon Kamboja yang berwarna putihberjatuhan sangat banyak,” timpal Pohon Kelengkeng.
“Kenapa Pak Adi tidak menebangnya saja?” ujar Pohon Mangga Madu heran.
“Ha ha ha...Aku sangat setuju kalau Pohon Kamboja ditebang. Lalu diganti dengan pohon lain yang bisa berbuah,” jawab Pohon Kelengkeng sambil tertawa.
Pohon Kamboja sangat sedih mendengarnya. Dia memang tidak bisa berbuah. Tetapi bunganya cantik dan harum. Pohon Kamboja berharap ada orang yang mau mengambil bunganya, agar Bu Arnita tidak mengomel saat menyapu halaman.
Akan tetapi, pagi ini ada sebuah kabar yang didengar Pohon Kamboja saat keluarga Pak Adi berkumpul di halaman depan rumah.
“Aku akan menebang pohon Kamboja dan menggantinya dengan pohon jambu biji,” kata Pak Adi.
Bu Arnita tersenyum senang. “Sudah lama sekali aku menginginkan pohon kamboja ini ditebang. Aku tidak suka baunya, seperti di kuburan.”
Alesa dan Manda, putri kembar Pak Adi, sangat senang mendengar kabar yang disampaikan ayahnya. Mereka melompat-lompat riang.
“Besok, Ayah akan memanggil Pak Yusuf untuk menebang pohon Kamboja ini,” putus Pak Adi.
Pohon Kamboja sedih mendengar kabar itu. Ia sudah menduga apa yang dipikirkan Pak Adi. Tapi dulu, saat Pak Adi kecil, dia sangat senang merawat pohon Kamboja. Pohon Kamboja itu dibawa Pak Adi dari Bali sebagai kenangan akan ibunya yang meninggal di tanah Bali. Pohon Kamboja sudah pasrah dengan keputusan Pak Adi. Besok, ia akan ditebang!
“Bersiap-siaplah Pohon Kamboja, besok kau akan ditebang menggunakan gergaji mesin. NGUNG... NGUNG...,” ledek Pohon Mangga Madu sambil menggoyangkan rantingnya.
“Pasti sakit sekali ditebang menggunakan gergaji mesin,” imbuh Pohon Kelengkeng.
Pohon Kamboja memejamkan mata. Ia ketakutan membayangkan gergaji mesin memotong tubuhnya. Pasti akan sakit sekali. Dipotong rantingnya menggunakan golok saja, ia merintih kesakitan. Apalagi digergaji mesin.
Ditengah ketakutannya, Pohon Kamboja tersenyum senang saat seorang anak kecil membawa kantong kresek berjalan memasuki halaman rumah Pak Adi yang tidak berpagar. Pohon Kamboja tersenyum, dia menduga anak kecil itu akan mengambil bunganya.Anak kecil itu lalu duduk di bawah Pohon Kamboja.
Tidak lama, Pak Adi keluar rumah sambil membawa bibit Pohon jambu biji.
“Pak, boleh saya mengambil bunga Kamboja yang jatuh?” tanya anak kecil itu.
Pak Adi tersenyum. “Ambil saja, Nak. Pohon Kamboja ini bunganya sangat banyak. Kamu bisa mengambilnya pagi atau sore hari.”
“Terimakasih, Pak.”
Anak kecil itu senang sekali. Ia langsung memunguti bunga Kamboja yang berjatuhan sambil bernyanyi.
Pohon Kamboja senang melihatnya. “Akhirnya, bungaku berguna juga. Aku berharap Pak Adi akan mengurungkan niatnya menebangku,” ujar Pohon Kamboja pelan.
“Bungamu berguna?” Pohon Kelengkeng terkekeh mendengarnya. “Belum tentu, Pohon Kamboja. Siapa tahu anak kecil itu mengambil bungamu hanya untuk bermain saja. Setelah itu, bungamu akan berakhir di tempat sampah lagi.”
Pohon Kamboja tercenung sedih. Dalam hati, dia membenarkan ucapan Pohon Kelengkeng yang masuk akal itu.
Besoknya, anak kecil itu kembali datang. Dia memunguti bunga Kamboja sambil bernyanyi riang. Tiba-tiba, Pak Adi datang bersama Pak Yusuf yang sudah siap dengan gergaji mesin ditangannya.
Anak kecil itu memandangi Pak Adi dan Pak Yusuf. “ Pohon Kambojanya akan ditebang, Pak?” tanya anak itu sedih.
Pak Adi mengangguk. Anak kecil itu lalu bercerita pada Pak Adi.
“Di desa ini, hanya hanya Bapak yang menanam pohon Kamboja. Aku mengumpulkan bunga Kamboja yang sudah jatuh untuk dikeringkan. Kemudian dijual untuk dijual pada pengepul untuk dijadika ncampuran teh. Kata pengepulnya, bisa untuk obat rematik dan asam, urat. Uangnya, aku gunakan untuk biaya sekolah. Kasihan Ibu, bekerja sendiri setelah Ayahku meninggal,” anak kecil itu terisak. “Aku mohon, pohon kambojanya jangan ditebang, Pak,” pinta anak kecil itu mengakhiri ceritanya.
Pak Adi mengangguk sambil memeluk anak itu. Ia kasihan mendengar ceritanya. Akhirnya, Pak Adi memutuskan untuk tidak menebang Pohon Kamboja.
“Pohon Kambojanya tidak jadi saya tebang. Sekarang, Pohon Kamboja ini menjadi milikmu, Nak. Kamu bisa datang mengambil bunga Kamboja kapan pun kamu mau,” kata Pak Adi. “Siapa namamu, Nak?” tanyanya.
“Namaku Amelia. Aku tinggal di dekat pasar, Pak.”
Pak Adi mengangguk mantap. Ia akan membiarkan pohon Kamboja itu tetap tumbuh. Sedangkan bibit Pohon jambu biji yang terlanjur dibeli, akan ditanam di halaman belakang rumah. Sementara Pak Yusuf, pulang sambil membawa sekantung mangga madu sebagi permintaan maaf.
Pohon Kamboja terharu mendengarnya. Airmatanya berlinang saat menyadari bunganya berguna untuk menyambung hidup anak kecil itu. Sekarang, Pohon Kamboja percaya kalau semua pohon, ada gunanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar