Senin, 31 Juli 2017

Yuk, Kenalan dengan Mima

                                          


Mima adalah anak perempuan berumur 4 tahun. Mima tinggal di jalan Melati bersama ayah, ibu, dan Mia, kakak perempuanny yang berusia 6 tahun.. Mima juga punya kucing lucu bernama Niko. Mima ini punya banyak cerita, lho.
Cerita pertama, Mima bercerita tentang keluarganya. Ayah yang seorang koki, ibu yang seorang ibu rumah tangga, juga Kak Mia yang kelas 1 SD. Tentu saja tidak ketinggalan Mima bercerita tentang Niko. Mima sangat sayang pada keluarganya.


Di cerita kedua, Mima bercerita tentang taman yang sangat besar di depan rumahnya. Teman-taman pasti ingin tahu kan, tentang taman itu? Makanya Mima mengajak mama menjelajah taman itu.
Tapi saat Mima menjelajah taman, ia merasa tersesat. Wah.. apakah Mima bisa keluar dari taman besar itu, ya? di cerita ini, Mima ingin berbagi informasi kepada teman-teman, agar berhati-hati di tempat umum. Juga tidak berada jauh dari orang tua.


Selanjutnya, Mima bercerita tentang para tetangganya. Terrnyata tetangga Mima ada 9. Hebatnya, Mima kenal semua pada tetangga. Itu kerena, Mama sering membuat kue, dan mengajak Mima berkunjung ke para tetangga.Kata mama, Mima harus mengenal tetangga.



Cerita ke empat, Mima berkunjung ke rumah Kakek dan neneknya di Temanggung, Jawa Tengah. Sayangnya Niko tidak diajak, soalnya perjalanan kan cukup jauh. Tapi Niko tidak dilepas, mencari makan sendiri kok. Mima menitipkan Niko di hotel kucing. Jadi Mima tidak khawatir selama meninggalkan Niko. Mima pun bisa bersenang-senang bersama kakek dan nenek, juga menikmati keindahan daerah Temanggung.


Selanjutnya, Mima bercerita tentang ia suka waktu siang dan malam. Di cerita ini, Mima mengenalkan konsep waktu pada teman-teman. Apa yang ia rasakan dan lihat pada waktu siang atau malam.
Misalnya, Saat siang, Mima senang sekali, saat menungu Kak Mia pulamg sekolah, dan menunggu Mama menyiapkan makan siang. Atau bagaimana saat hari gelap. Tentu saja Mima takut gelap. Untunglah mama segera menerangkan pada Mima.


Nah, itulah 5 cerita seru Mima. Semua cerita itu tersaji dalam 5 buku ‘Seri Pembaca Kecil’ yang sangat pas untuk anak-anak usia balita. Seri pembaca kecil ini mengajak anak-anak usia balita untuk lebih mengenal keluarganya, baik yang dekat maupun yang jauh. Mengenal dan berkomunikasi dengan para tetangga. Menjelajah lingkungan sekitar, dan mengenal konsep waktu. Tentu saja bagaimana anak-anak menyayangi hewan peliharaannya..


Cerita ini ditulis oleh Kak Renny Yaniar yang sudah menulis 200 buku. Keren sekali ya! Semia cerita dilustrasi oleh Kak Herlina Kartaatmaja. Seri buku ini diterbitkan oleh penerbt Gramedia Pustaka Utama. Dengan cerita yang tersaji manis, dan lustrasi yang cantik, buku ini Sangat menyenangkan dibaca oleh anak bersama orangtua. Kertasnya juga glossy atau mengilap.




Harga setiap buku 25 ribu. Jadi 1 set harganya 125 ribu. Sahabat Kurcaci Pos bisa membelinya di toko buku. Tapi Bila ingin membeli langsung ke Kak Renny dan mendapat tanda tangannya, sangat boleh kok. 


Silakan kontak saja akun Instagram nekopeoni. Asyiknya lagi, Ada diskon 10 persen. O, iya, hasil penjualan buku ini, akan disumbangkan untuk Rumah Riang. Rumah Riang itu, wadah berbagi buku untuk teman-teman di seluruh nusantara. Jadi teman-teman membeli buku, juga sekaligus berbagi. Keren sekali, ya.

Bambang Irwanto
Kurcaci Pos


Jumat, 28 Juli 2017

Ulah Si Cepi


Dimuat di Majalah Bobo


Ulah Si Cepi
Oleh: Ruri Ummu Zayyan

Cepi si kelinci terkenal iseng. Para tetangga Cepi di hutan Foresty sering menjadi korban keisengannya. Mama pun sering harus meminta maaf kepada tetangga karena keisengan Cepi.
Meskipun begitu, Cepi juga banyak akal dan suka membantu. Itu sebabnya Mama tidak marah dan hanya menasihati Cepi kalau ia usil. Mama tahu, Cepi belajar sesuatu dari keisengannya.
Beberapa hari yang lalu Cepi membantu Mama memperbaiki pemanggang roti. Mama sangat heran, Cepi belajar dari mana cara memperbaiki pemanggang roti. Mungkin dari Paman Deri, adik Mama. Mama pun berterima kasih dan memuji Cepi.
Hari ini, Cepi bosan sekali bermain. Sahabatnya, Toti si landak sedang sibuk membantu ayahnya membuat rumah baru.
“Main kemana ya,” Cepi mondar-mandir di halaman samping rumahnya.
“Ah, aku mau lihat laboratorium Paman Deri saja.” Cepi melangkah riang menuju rumah pamannya itu.
Rumah Paman Deri sepi, tetapi pintu laboratorium di samping rumahnya tidak terkunci. Mungkin Paman Deri sedang mengambil sesuatu di kebun belakang.
Cepi pun masuk dan berkeliling dalam laboratorium. Ada cairan berwarna-warni di dalam tabung-tabung kecil, tersusun rapi di rak kayu. Tapi tidak, Cepi tidak akan menyentuh cairan itu. Ia masih ingat sebulan yang lalu ia menumpahkan cairan berwarna cokelat mengenai kakinya. Tiba-tiba ibu jarinya membesar hingga kakinya sulit bergerak.
Ternyata cairan itu adalah ramuan untuk membesarkan tanaman di gurun pasir. Paman Geri yang memesannya. Untungnya Paman Deri segera membasuh ibu jari Cepi dengan cairan berwarna ungu. Ibu jari Cepi kembali ke bentuk semula. Paman Deri memang hebat. Tapi sejak itu Cepi tidak mau menyentuh cairan buatannya.
“Sekarang Paman Deri sedang bikin apa lagi ya?” Cepi terus berkeliling.
Tiba-tiba ia melihat kotak kaca berisi ulat-ulat kecil berwarna-warni. Ada yang hitam bercampur kuning, hijau bercampur merah bergaris-garis, ada juga yang hitam putih dan berbulu.
“Wah, bagus sekali ulat-ulat ini!” seru Cepi. Keisengannya timbul. “Kupinjam saja ulat-ulat ini, buat teman bermain selama Toti sibuk.”
Ulat-ulat kecil yang lucu itu dimasukkannya ke dalam plastik.“Besok-besok akan kukembalikan,” katanya sambil melangkah keluar.
Sampai di rumah, Cepi menyimpan ulat-ulat itu dalam kotak bambu kecil. Diletakkannya kotak itu di cabang pohon tempat ia biasa bermain dengan Toti. Kalau ditaruh di kamar nanti ketahuan Mama lagi, pikirnya. Ia terus terkagum-kagum melihat ulat-ulat yang menggeliat lucu.
“Cepi, makan dulu!” teriak Mama dari dalam rumah.
“Iya Ma, sebentar!” jawab Cepi segera. Kalau tidak segera menjawab, bisa-bisa Mama keluar dan melihat apa yang sedang dilakukannya. Cepi pun turun untuk makan.
“Kamu main kemana saja? Kok Toti tidak main kesini?” tanya Mama.
“Toti sibuk, Ma. Cepi main ke laboratorium Paman Deri,” jawab Cepi.
“Laboratorium Paman Deri? Tapi kamu tidak bermain dengan cairan ramuannya kan?” selidik Mama.
“Enggak Ma, Cepi kan sudah kapok,” elak Cepi.
“Ingat ya, kalau meminjam sesuatu, harus dikembalikan.” Mama seperti tahu isi hati Cepi.
“Ya Ma,” Cepi menyahut pendek.
Beberapa hari kemudian, Cepi berniat mengembalikan ulat-ulat Paman Deri. Sepulang sekolah ia mengajak Toti untuk melihat ulat-ulat itu sebelum dikembalikan. Toti pasti mengagumi warnanya yang indah. Tetapi alangkah terkejutnya Cepi melihat ulat-ulat itu sudah tidak ada di kotak bambu.
“Astaga, jangan-jangan ketahuan Mama lagi,” Cepi mulai khawatir. Ia meminta Toti membantunya mencari di sekitar pohon. Tetapi tidak ketemu.
“Kamu akui saja pada Paman Deri kalau kamu mengambil ulatnya. Kamu juga harus minta maaf,” kata Toti.
“Iya. Aku memang mau minta maaf. Tetapi ulatnya kan tetap harus ketemu. Kalau tidak, nanti aku kena marah Mama. Kata Mama kalau meminjam sesuatu harus dikembalikan,” kata Cepi.
“Kita ke rumah Paman Deri saja dulu, nanti kita cari lagi,” usul Toti. Cepi menurut. Sampai di rumah Paman Deri ia menceritakan semuanya.
“Maafkan Cepi, Paman!” kata Cepi.
“Hmmm.. Kamu yakin ulatnya hilang?” Paman Deri tidak marah.
“Iya Paman, padahal kotak bambu cuma berlubang-lubang kecil. Ulatnya tidak mungkin keluar lewat lubang itu, badannya kan lebih besar,” kata Cepi.
“Coba kamu bawa kotaknya kesini, biar Paman lihat.”
Cepi dan Toti bergegas membawa kotak bambu itu kepada Paman Deri. Sesaat kemudian Paman Deri tertawa.
“Cepi, ulatnya tidak hilang, tapi jadi kepompong. Tuh, kamu lihat kepompongnya menempel di dinding kotak bambu. Kepompong itu nanti akan berubah jadi kupu-kupu,” Paman Deri menjelaskan. Cepi melongo.
“Kamu lihat kotak kaca Paman, sekarang tidak ada lagi ulatnya. Ada yang sudah jadi kepompong dan ada dua yang sudah berubah jadi kupu-kupu. Lihat, indah kan? Paman sedang meneliti warna sayap kupu-kupu, apakah sama dengan warna ulatnya.” Paman menunjuk kotak kacanya yang beberapa hari yang lalu berisi ulat.
“Oh, begitu ya, Paman?” Cepi dan Toti baru tahu bahwa ulat bisa berubah menjadi kupu-kupu.
*****






Kamis, 27 Juli 2017

Bau Wangi di Rumah Kosong

Dimuat di Majalah Bobo

Bau Wangi di Rumah Kosong
Krismariana

“Doni, kamu berani kan ke rumah Nenek sendiri?” tanya Mama kepadaku. Mama mengulurkan rantang kepadaku.
“Sendiri?” tanyaku.
Mama mengangguk. “Papa masih ada rapat di kantor.”
Sebenarnya aku ingin menggeleng. Tapi kalau bukan aku yang mengantar makan malam Nenek, siapa lagi? Tidak mungkin Mama pergi yang mengantar. Kalau Mama pergi, Dik Alya yang masih bayi mesti diajak. Repot dan lama persiapannya. Padahal makan malam untuk nenek harus segera diantar. Biasanya Papa yang mengantar makan malam Nenek. Uh, kenapa sih Papa rapat segala?
“Tapi, Ma...” aku berusaha menolak.
Mama memandangku. Aku tahu, kali ini Mama tidak bisa dibantah. “Ayo, Don... Nenek sudah menunggu. Lagi pula, kalau kamu tidak segera berangkat, keburu hujan,” ujar Mama. “Nanti pulangnya biar Papa yang menjemputmu. Tunggu saja di rumah Nenek.”
“Baik, Ma,” jawabku, lalu kuterima rantang berisi lauk untuk Nenek.
Rumah Nenek tak terlalu jauh dari rumahku. Hanya tinggal lurus ke barat dari rumahku, lalu belok ke kiri sedikit. Yang membuatku enggan ke rumah Nenek adalahaku mesti lewat satu rumah kosong berpagar tinggi dan berhalaman luas. Kalau lewat sana siang hari, masih lumayan. Tapi kalau hari sudah gelap begini? Hii... Kata orang-orang rumah itu angker. Perutku melilit.
Dulu Mama pernah bercerita, rumah kosong itu milik seorang dokter. Dokter itu dulu teman Kakek dan beliau sudah lama meninggal. Tapi sayangnya dokter itu tak punya anak, jadi tak ada yang mewarisi rumah itu. Akhirnya rumah itu dibiarkan kosong begitu saja.
Dengan perasaan tak keruan, aku memakai sandal, lalu keluar halaman. Baru beberapa langkah keluar pagar, aku teringat cerita Randi, teman sebangkuku. Dia bilang pernah melihat sekelebat orang berbaju putih, masuk ke tanah kosong itu.
Randi cerita, kalau rumah itu sudah lama kosong.Tidak mungkin manusia biasa yang masuk ke situ. Bahkan kabarnya, akhir-akhir ini sering tercium bau wangi dari rumah itu.
 Dalam hati aku kesal, kenapa di saat aku harus ke rumah Nenek saat hari gelap begini, yang kuingat malah cerita seram Randi.
Kenapa sih Papa pulang malam? keluhku. Kalau ke rumah Nenek bersama Papa, aku tidak takut. Rasanya aneh pergi sendirian ke rumah Nenek saat petang seperti ini. Ini pengalamanku yang pertama. Kalau sudah malam, biasanya aku pergi ke rumah Nenek bersama Papa atau Mama.
Dari jauh, kulihat rumah kosong itu tampak muram. Di kiri kanannya tampak beberapa pohon menjulang. Perutku semakin melilit.
Jalan di depanku kosong. Jalanan redup. Sepertinya ada satu lampu jalan yang mati.
Sekarang aku berada di ujung timur tembok rumah kosong itu. Tanganku dingin. Aku betul-betul berharap ada Papa. Aku merasakan angin bertiup agak kencang. Mungkin sebentar lagi hujan turun. Samar-samar aku teringat lagi kata-kata Randi: “...akhir-akhir ini sering tercium bau wangi dari rumah itu.” Benar, mendadak hidungku mencium bau yang wangi. Hiyaaaa...
Aku berusaha berlari. Hosh... hosh! Seandainya aku tidak membawa rantang, aku bisa berlari lebih kencang lagi.
Untung rumah Nenek tidak terlalu jauh lagi. Di ujung jalan, aku berbelok ke kiri.
Kulihat pintu rumah Nenek terbuka. Aku langsung menghambur masuk.
“Nek! Nenek!” seruku dengan napas terengah-engah.
“Eh, Doni,” Nenek menyambutku dan menerima rantang yang kuulurkan. “Kamu seperti dikejar hantu.”
“Memang iya, Nek.” Napasku masih tersengal. “Hantu itu baunya wangi sekali!”
Tapi hei, bau wangi yang tercium dari arah rumah kosong itu sekarang semakin kuat! Aku langsung memeluk Nenek.
“Wangi bagaimana?” tanya Nenek.
“Pokoknya wangi!” aku mengeratkan pelukan.
Pelan-pelan Nenek melepaskan pelukanku, lalu berjalan ke arah meja tamu. “Baunya seperti ini?” Di telapak tangan Nenek ada dua kuntum bunga yang belum pernah kulihat. Bentuknya lonjong dengan ujung lancip. Baunya harum sekali.
“Ini apa, Nek?”
“Ini bunga cempaka. Wangi, ya?” jawab Nenek.
Rasa takutku perlahan-lahan mulai reda. “Kok Nenek bisa dapat bunga ini?” tanyaku lagi.
“Iya, tadi dibawakan Om Rahmat. Pohon bunga ini tumbuh di halaman rumah putih yang tadi kamu lewati. Kebetulan sekarang sedang berbunga.”
“Om Rahmat siapa?” Belum pernah kudengar nama itu.
“Oiya, Nenek lupa belum mengenalkannya padamu. Yuk ikut Nenek ke ruang makan.”
Aku mengekor Nenek dengan bingung.
“Ini Om Rahmat,” kata Nenek sambil menunjuk lelaki kurus berbaju putih. “Dia keponakan Dokter Tejo, pemilik rumah putih dekat ujung jalan situ. Sudah beberapa kali Om Rahmat menengok rumah Dokter Tejo. Katanya rumah itu akan diperbaiki.”
“Halo, Doni!” Lelaki itu tersenyum lebar.
“Tadi Nenek bercerita tentang kamu kepada Om Rahmat, Don,” Nenek menjelaskan. “Ayo, beri salam dulu.”
Aku mendekat dan bersalaman dengan Om Rahmat.

Sekarang aku mengerti, kurasa Om Rahmat itu yang dilihat Randi. Dan bau wangi yang tercium Randi itu pasti bau bunga cempaka. 

Rabu, 26 Juli 2017

Minggu di Rumah Nawa



Dimuat di Majalah Bobo


MINGGU DI RUMAH NAWA
*FiFadila*


“Hai Nainnawa, aku Putri. Yok, main bareng! Aku biasanya main sama teman-temanku di lapangan dekat sungai. gobak sodor, cari kerang kecil kijing di sungai, petak umpet.” Putri bersalaman dengan semangat. Lupa melepas tangannya. Matanya sibuk berkeliling halaman rumah super luas itu.
Dia tadi masuk lewat carport yang cukup untuk tiga mobil. Lalu menunggu di taman samping rumah dengan ber”wah-wah” tanpa sadar.
            “Panggil saja Nawa, Put. Senang berkenalan,” Nawa menarik tangannya dari Putri.  Dia tersenyum canggung.
            “Waktu bapak minta aku nemani kamu main, bener enggak nyangka aku. Maksudku kamu kan punya mainan-mainan canggih. Kukira udah enggak butuh teman kayak aku.” cerocos Putri meramaikan rumah yang sejak tadi sepi. Sampai-sampai tidak ada kesempatan Nawa bicara.
            Bapak Putri bekerja sebagai sopir pengusaha besar pemilik rumah mewah itu. Namun baru kali ini Putri masuk rumah itu.
            “Eh, minggu depan aku bisa ajak teman-teman mainku. Biar rumah sebesar lapangan ini enggak mubazir. Ada Siska yang jago renang, Murni yang sok tau, dan Harti yang pelupa. Wow, itu ada kolam juga. Wah, asyik kalau nyebur bareng-bareng,” pekik Putri. Tanpa sadar dia menggeleng dan berdecak.
            “Itu kolam ikan, Putri.” Nawa menjawab singkat.
            Putri nyengir. Dia baru sadar wajah Nawa tak terlihat gembira. Putri jadi kikuk. Dia tidak tahu lagi apa yang harus dia bicarakan. Nawa irit bicara. Cara bicaranya pun diatur sopan.
            “Eh, bagaimana kalau kita main di lapangan sama teman-temanku?” Putri mencoba memecah kebisuan Nawa.
            “Maaf, aku tak berani ke sungai. Di sini aja ya.” Jawab Nawa singkat. Wajahnya terlihat ngeri.
             “Oh iya juga, baju bagusmu nanti bisa kotor,” Putri melirik baju pink berenda yang dikenakan Nawa. “Ya udah kita main di halaman ini aja. Luas sekali untuk bermain sepeda. Kamu bisa sepedaan?”
            Nawa terlihat ragu-ragu menggerakkan kepalanya. Tidak jelas antara mengangguk atau menggeleng.
            “Ah, kamu masih takut ya naik sepeda? Ayo, ayo kuajari. Mana sepedamu?” mata Putri berkeliling halaman dengan semangat. Dia pun terpaku pada sepeda yang tersandar di dinding. sepeda mini cantik warna pink. Pasti itu milik Nawa. Putri langsung menyambarnya.
            “Ayo, Nawa kamu duduk di depan. Aku jaga keseimbangan di sadel belakang. Kalaupun jatuh, paling banter natap rumput. Enggak bakal sakit. Percaya deh, aku sudah berkali-kali jatuh dari sepeda. Sampe sekarang masih bisa lari kok,” Putri tergelak ringan.
            Nawa menggeleng, Dia membuka mulutnya tapi tidak jadi bicara.
            “Enggak usah takut! Lihat nih caraku ngayuh!” Putri memutar pedal sepeda pink. Dia berkeliling halaman berumput luas.
            Dia pun pamer lepas tangan di depan Putri. Berikutnya dia mengayuh hanya dengan satu kaki. Anehnya, Nawa memandangnya dengan alis berkerut. Bahkan sesekali menutup muka dengan tangan.  Padahal Murni, Siska dan Harti akan terkikik melihat gayanya bersepeda.
            Dhug. Byur. Putri meluncur ke kolam ikan. Sepeda Nawa terguling di depan kolam. Untung tidak sampai jatuh menimpa kepala Putri waktu jatuh tadi.
            “Tolong ada yang kejebur!” Nawa berlari panik dan masuk rumah.
            Putri pun mendorong sepeda Nawa pulang. Tubuhnya basah kuyup dan bau ikan. Dia sudah bilang pada salah satu pembantu rumah yang menolongnya keluar kolam tadi. Ia akanmenyervis sepeda Nawa. As roda depan tidak lagi bulat sempurna. Putri berharap Bapak bisa membetulkan sepeda itu.
**

“Nawa tidak suka padaku. Pasti dia takkan mau mengundangku lagi ke rumahnya,” Putri bercerita pada ketiga sahabat yang menjenguknya malam itu.
“Kamu sih, ceroboh! Kalo ngomong enggak pake titik koma pula!” Murnimencubit lengan Putri.
            “Aduh, duh, Murni. Jangan ngomel, dong. Bapak tadi sudah marahin aku.” Putri meringis kesakitan. Lengan kirinya lebam karena terantuk keras setang sepeda. Tubuhnya njarem semua. Mencoba duduk saja rasanya seperti digebukin orang sekampung.
            Tiba-tiba terdengar salam. Ada tamu yang mencari Putri. Muncullah Nawa membawa buah-buhan segar yang diletakkan di meja belajar Putri.
            “Lekas sembuh ya, Put. Maaf, aku ketakutan sekali saat kamu kejebur tadi. Waktu kecil aku pernah nabrak truk parkir waktu blajar sepedaan. Jadi sedikit trauma kalau bermain di luar rumah atau naik sepeda.” Raut Nawa terlihat menyesal.
“Eh, mereka temanmu ya,” Nawa tersenyum pada Siska, Murni dan Harti.“Minggu depan kalian semua main saja ke rumahku. Jujur, aku senang mendengar cerita-cerita Putri. Kalo cerita asyik dan lucu.”
            Putri nyengir saat pinggangnya kena sikut Siska. Ternyata Nawa baik hati dan tidak pilih-pilih teman.Yang paling penting, Nawa suka cerita-ceritanya.(*)








Jumat, 14 Juli 2017

Kunci Ajaib

Dimuat di Majalah Bobo No.10 (15 Juni 2017)

Kunci Ajaib
Oleh Rh Mandala

Nyonya Felina adalah pemilik toko alat-alat pertukangan. Aneka macam alat pertukangan, seperti obeng, palu, tang, waterpass, penggaris, rol meter, bor, dan sebagainya dijual di tokonya.
Beberapa hari ini, Nyonya Felina memajang berbagai jenis kunci di etalase tokonya. Darikunci pintu sampai kunci brankas, dipajang di sana. Namun, ada sebuah kunci yang menarik perhatian pengunjung tokonya. Bentuknya agak aneh, tidak seperti kunci pada umumnya. Menurut Nyonya Felina, kunci itu memang ajaib. Bisa membuka apa saja.
Dalam waktu singkat, berita itu tersebar ke seluruh penjuru kota. Orang-orang berduyun-duyun mendatangi toko Nyonya Felina. Melihat bentuknya yang aneh, mereka yakin kunci itu memang ajaib. Mereka pun berebut ingin memilikinya. Sayangnya, Nyonya Felina tidak menjualnya.
“Berapapun harganya, akan saya bayar,” bujuk sesorang laki-laki bertubuh besar.
“Sekali lagi mohon maaf. Anda boleh membeli apa saja di sini, kecuali kunci yang satu itu,” kata Nyonya Felina sambiltersenyum ramah.
“Nyonya Felina. Saya kesulitan membuka kotak perhiasan ini. Bolehkah saya meminjam kunci ajaib milik Nyonya?” kata seorang gadis tiba-tiba. Di tangannya ada sebuah kotak perhiasan mini yang cantik.
Nyonya Felina menanggapi gadis itu dengan ramah. “Oh, maaf, kunci itu bukan benda sembarangan. Tidak boleh dipinjamkan. Tetapi, kalau mau lihat-lihat saja, silakan,” kata Nyonya Felina sambil menunjuk etalase tempat memajang semua kuncinya.
Lo, di mana kuncinya? Nyonya Felina kaget. Ternyata, kunci itu tidak ada di tempatnya. Beberapa pengunjung toko yang tadi mengagumi kunci itu diam-diam sudah pergi. Nyonya Felina panik. Ia bertanya pada semua pengunjung toko yang masih tinggal. Namun, tidak ada yang tahu,di mana kunci itu berada.
Nyonya Felina tampak sedih. Sebenarnya, ia mencurigai seorang yang bernama Pionso. Waktu pergi tadi, Pionso tampak buru-buru. Sepertinya ada sesuatu yang ia sembunyikan di tangan kirinya. Sayangnya, Nyonya Felina tidak punya bukti atau saksi untuk menuduh Pionso.
Malam harinya, Nyonya Felina tidak dapat tidur. Ia gelisah memikirkan kuncinya yang hilang. Wajah Pionso selalu terbayang dalam pikirannya.
Tiba-tiba,terdengar suara ribut-ribut. Nyonya Felina mengintip lewat jendela. Beberapa saat kemudian, terlihat seorang laki-laki bertubuh besar digiring dua orang polisi. Nyonya Felina teringat. Laki-laki itulah yang ngotot ingin membeli kunci ajaibnya.
Keesokan harinya, Nyonya Felina menyambut ramah Pak Jiman, kepala lingkungan yang pagi-pagi datang mengetuk pintu rumahnya.
“Terima kasih atas kerja samanya, Nyonya Felina. Berkat Nyonya Felina akhirnya Vilado, si pencuri spesialis rumah kosong yang selama ini meresahkan warga bisa terungkap dan kami tangkap,” kata Pak Jiman.
“Itu juga berkat kecerdikan Pak Jiman,” balas Nyonya Felina merendah.
“Menurut saksi mata, Vilado kesal karena kunci ajaib milik Nyonya Felina tidak bisa untuk membuka gembok rumah mewah yang menjadi sasarannya,” kata Pak Jiman sambil tertawa. “Karena lama tidak bisa membuka gembok dengan kunci ajaib itu, ia jadi kesal dan akhirnya menendang pintu gerbang sehingga menimbulkan bunyi keras. Warga yang mendengar kegaduhan itu segera melaporkannya kepada petugas keamanan.”
Nyonya Felina ikut tertawa. Sebenarnya, kunci itu hanya kunci biasa. Bukan kunci ajaib. Itu hanya siasat Nyonya Felina dan Pak Jiman untuk menjebak pencuri yang akhir-akhir ini meresahkan warga. Jadi, hanya Nyonya Felina dan Pak Jiman yang tahu hal itu. Namun, mereka tetap akan merahasiakannya. Mereka berjanji akan selalu bekerjasama demi keamanan lingkungan.***