Jumat, 28 Juli 2017

Ulah Si Cepi


Dimuat di Majalah Bobo


Ulah Si Cepi
Oleh: Ruri Ummu Zayyan

Cepi si kelinci terkenal iseng. Para tetangga Cepi di hutan Foresty sering menjadi korban keisengannya. Mama pun sering harus meminta maaf kepada tetangga karena keisengan Cepi.
Meskipun begitu, Cepi juga banyak akal dan suka membantu. Itu sebabnya Mama tidak marah dan hanya menasihati Cepi kalau ia usil. Mama tahu, Cepi belajar sesuatu dari keisengannya.
Beberapa hari yang lalu Cepi membantu Mama memperbaiki pemanggang roti. Mama sangat heran, Cepi belajar dari mana cara memperbaiki pemanggang roti. Mungkin dari Paman Deri, adik Mama. Mama pun berterima kasih dan memuji Cepi.
Hari ini, Cepi bosan sekali bermain. Sahabatnya, Toti si landak sedang sibuk membantu ayahnya membuat rumah baru.
“Main kemana ya,” Cepi mondar-mandir di halaman samping rumahnya.
“Ah, aku mau lihat laboratorium Paman Deri saja.” Cepi melangkah riang menuju rumah pamannya itu.
Rumah Paman Deri sepi, tetapi pintu laboratorium di samping rumahnya tidak terkunci. Mungkin Paman Deri sedang mengambil sesuatu di kebun belakang.
Cepi pun masuk dan berkeliling dalam laboratorium. Ada cairan berwarna-warni di dalam tabung-tabung kecil, tersusun rapi di rak kayu. Tapi tidak, Cepi tidak akan menyentuh cairan itu. Ia masih ingat sebulan yang lalu ia menumpahkan cairan berwarna cokelat mengenai kakinya. Tiba-tiba ibu jarinya membesar hingga kakinya sulit bergerak.
Ternyata cairan itu adalah ramuan untuk membesarkan tanaman di gurun pasir. Paman Geri yang memesannya. Untungnya Paman Deri segera membasuh ibu jari Cepi dengan cairan berwarna ungu. Ibu jari Cepi kembali ke bentuk semula. Paman Deri memang hebat. Tapi sejak itu Cepi tidak mau menyentuh cairan buatannya.
“Sekarang Paman Deri sedang bikin apa lagi ya?” Cepi terus berkeliling.
Tiba-tiba ia melihat kotak kaca berisi ulat-ulat kecil berwarna-warni. Ada yang hitam bercampur kuning, hijau bercampur merah bergaris-garis, ada juga yang hitam putih dan berbulu.
“Wah, bagus sekali ulat-ulat ini!” seru Cepi. Keisengannya timbul. “Kupinjam saja ulat-ulat ini, buat teman bermain selama Toti sibuk.”
Ulat-ulat kecil yang lucu itu dimasukkannya ke dalam plastik.“Besok-besok akan kukembalikan,” katanya sambil melangkah keluar.
Sampai di rumah, Cepi menyimpan ulat-ulat itu dalam kotak bambu kecil. Diletakkannya kotak itu di cabang pohon tempat ia biasa bermain dengan Toti. Kalau ditaruh di kamar nanti ketahuan Mama lagi, pikirnya. Ia terus terkagum-kagum melihat ulat-ulat yang menggeliat lucu.
“Cepi, makan dulu!” teriak Mama dari dalam rumah.
“Iya Ma, sebentar!” jawab Cepi segera. Kalau tidak segera menjawab, bisa-bisa Mama keluar dan melihat apa yang sedang dilakukannya. Cepi pun turun untuk makan.
“Kamu main kemana saja? Kok Toti tidak main kesini?” tanya Mama.
“Toti sibuk, Ma. Cepi main ke laboratorium Paman Deri,” jawab Cepi.
“Laboratorium Paman Deri? Tapi kamu tidak bermain dengan cairan ramuannya kan?” selidik Mama.
“Enggak Ma, Cepi kan sudah kapok,” elak Cepi.
“Ingat ya, kalau meminjam sesuatu, harus dikembalikan.” Mama seperti tahu isi hati Cepi.
“Ya Ma,” Cepi menyahut pendek.
Beberapa hari kemudian, Cepi berniat mengembalikan ulat-ulat Paman Deri. Sepulang sekolah ia mengajak Toti untuk melihat ulat-ulat itu sebelum dikembalikan. Toti pasti mengagumi warnanya yang indah. Tetapi alangkah terkejutnya Cepi melihat ulat-ulat itu sudah tidak ada di kotak bambu.
“Astaga, jangan-jangan ketahuan Mama lagi,” Cepi mulai khawatir. Ia meminta Toti membantunya mencari di sekitar pohon. Tetapi tidak ketemu.
“Kamu akui saja pada Paman Deri kalau kamu mengambil ulatnya. Kamu juga harus minta maaf,” kata Toti.
“Iya. Aku memang mau minta maaf. Tetapi ulatnya kan tetap harus ketemu. Kalau tidak, nanti aku kena marah Mama. Kata Mama kalau meminjam sesuatu harus dikembalikan,” kata Cepi.
“Kita ke rumah Paman Deri saja dulu, nanti kita cari lagi,” usul Toti. Cepi menurut. Sampai di rumah Paman Deri ia menceritakan semuanya.
“Maafkan Cepi, Paman!” kata Cepi.
“Hmmm.. Kamu yakin ulatnya hilang?” Paman Deri tidak marah.
“Iya Paman, padahal kotak bambu cuma berlubang-lubang kecil. Ulatnya tidak mungkin keluar lewat lubang itu, badannya kan lebih besar,” kata Cepi.
“Coba kamu bawa kotaknya kesini, biar Paman lihat.”
Cepi dan Toti bergegas membawa kotak bambu itu kepada Paman Deri. Sesaat kemudian Paman Deri tertawa.
“Cepi, ulatnya tidak hilang, tapi jadi kepompong. Tuh, kamu lihat kepompongnya menempel di dinding kotak bambu. Kepompong itu nanti akan berubah jadi kupu-kupu,” Paman Deri menjelaskan. Cepi melongo.
“Kamu lihat kotak kaca Paman, sekarang tidak ada lagi ulatnya. Ada yang sudah jadi kepompong dan ada dua yang sudah berubah jadi kupu-kupu. Lihat, indah kan? Paman sedang meneliti warna sayap kupu-kupu, apakah sama dengan warna ulatnya.” Paman menunjuk kotak kacanya yang beberapa hari yang lalu berisi ulat.
“Oh, begitu ya, Paman?” Cepi dan Toti baru tahu bahwa ulat bisa berubah menjadi kupu-kupu.
*****






Tidak ada komentar:

Posting Komentar