Kamis, 27 Juli 2017

Bau Wangi di Rumah Kosong

Dimuat di Majalah Bobo

Bau Wangi di Rumah Kosong
Krismariana

“Doni, kamu berani kan ke rumah Nenek sendiri?” tanya Mama kepadaku. Mama mengulurkan rantang kepadaku.
“Sendiri?” tanyaku.
Mama mengangguk. “Papa masih ada rapat di kantor.”
Sebenarnya aku ingin menggeleng. Tapi kalau bukan aku yang mengantar makan malam Nenek, siapa lagi? Tidak mungkin Mama pergi yang mengantar. Kalau Mama pergi, Dik Alya yang masih bayi mesti diajak. Repot dan lama persiapannya. Padahal makan malam untuk nenek harus segera diantar. Biasanya Papa yang mengantar makan malam Nenek. Uh, kenapa sih Papa rapat segala?
“Tapi, Ma...” aku berusaha menolak.
Mama memandangku. Aku tahu, kali ini Mama tidak bisa dibantah. “Ayo, Don... Nenek sudah menunggu. Lagi pula, kalau kamu tidak segera berangkat, keburu hujan,” ujar Mama. “Nanti pulangnya biar Papa yang menjemputmu. Tunggu saja di rumah Nenek.”
“Baik, Ma,” jawabku, lalu kuterima rantang berisi lauk untuk Nenek.
Rumah Nenek tak terlalu jauh dari rumahku. Hanya tinggal lurus ke barat dari rumahku, lalu belok ke kiri sedikit. Yang membuatku enggan ke rumah Nenek adalahaku mesti lewat satu rumah kosong berpagar tinggi dan berhalaman luas. Kalau lewat sana siang hari, masih lumayan. Tapi kalau hari sudah gelap begini? Hii... Kata orang-orang rumah itu angker. Perutku melilit.
Dulu Mama pernah bercerita, rumah kosong itu milik seorang dokter. Dokter itu dulu teman Kakek dan beliau sudah lama meninggal. Tapi sayangnya dokter itu tak punya anak, jadi tak ada yang mewarisi rumah itu. Akhirnya rumah itu dibiarkan kosong begitu saja.
Dengan perasaan tak keruan, aku memakai sandal, lalu keluar halaman. Baru beberapa langkah keluar pagar, aku teringat cerita Randi, teman sebangkuku. Dia bilang pernah melihat sekelebat orang berbaju putih, masuk ke tanah kosong itu.
Randi cerita, kalau rumah itu sudah lama kosong.Tidak mungkin manusia biasa yang masuk ke situ. Bahkan kabarnya, akhir-akhir ini sering tercium bau wangi dari rumah itu.
 Dalam hati aku kesal, kenapa di saat aku harus ke rumah Nenek saat hari gelap begini, yang kuingat malah cerita seram Randi.
Kenapa sih Papa pulang malam? keluhku. Kalau ke rumah Nenek bersama Papa, aku tidak takut. Rasanya aneh pergi sendirian ke rumah Nenek saat petang seperti ini. Ini pengalamanku yang pertama. Kalau sudah malam, biasanya aku pergi ke rumah Nenek bersama Papa atau Mama.
Dari jauh, kulihat rumah kosong itu tampak muram. Di kiri kanannya tampak beberapa pohon menjulang. Perutku semakin melilit.
Jalan di depanku kosong. Jalanan redup. Sepertinya ada satu lampu jalan yang mati.
Sekarang aku berada di ujung timur tembok rumah kosong itu. Tanganku dingin. Aku betul-betul berharap ada Papa. Aku merasakan angin bertiup agak kencang. Mungkin sebentar lagi hujan turun. Samar-samar aku teringat lagi kata-kata Randi: “...akhir-akhir ini sering tercium bau wangi dari rumah itu.” Benar, mendadak hidungku mencium bau yang wangi. Hiyaaaa...
Aku berusaha berlari. Hosh... hosh! Seandainya aku tidak membawa rantang, aku bisa berlari lebih kencang lagi.
Untung rumah Nenek tidak terlalu jauh lagi. Di ujung jalan, aku berbelok ke kiri.
Kulihat pintu rumah Nenek terbuka. Aku langsung menghambur masuk.
“Nek! Nenek!” seruku dengan napas terengah-engah.
“Eh, Doni,” Nenek menyambutku dan menerima rantang yang kuulurkan. “Kamu seperti dikejar hantu.”
“Memang iya, Nek.” Napasku masih tersengal. “Hantu itu baunya wangi sekali!”
Tapi hei, bau wangi yang tercium dari arah rumah kosong itu sekarang semakin kuat! Aku langsung memeluk Nenek.
“Wangi bagaimana?” tanya Nenek.
“Pokoknya wangi!” aku mengeratkan pelukan.
Pelan-pelan Nenek melepaskan pelukanku, lalu berjalan ke arah meja tamu. “Baunya seperti ini?” Di telapak tangan Nenek ada dua kuntum bunga yang belum pernah kulihat. Bentuknya lonjong dengan ujung lancip. Baunya harum sekali.
“Ini apa, Nek?”
“Ini bunga cempaka. Wangi, ya?” jawab Nenek.
Rasa takutku perlahan-lahan mulai reda. “Kok Nenek bisa dapat bunga ini?” tanyaku lagi.
“Iya, tadi dibawakan Om Rahmat. Pohon bunga ini tumbuh di halaman rumah putih yang tadi kamu lewati. Kebetulan sekarang sedang berbunga.”
“Om Rahmat siapa?” Belum pernah kudengar nama itu.
“Oiya, Nenek lupa belum mengenalkannya padamu. Yuk ikut Nenek ke ruang makan.”
Aku mengekor Nenek dengan bingung.
“Ini Om Rahmat,” kata Nenek sambil menunjuk lelaki kurus berbaju putih. “Dia keponakan Dokter Tejo, pemilik rumah putih dekat ujung jalan situ. Sudah beberapa kali Om Rahmat menengok rumah Dokter Tejo. Katanya rumah itu akan diperbaiki.”
“Halo, Doni!” Lelaki itu tersenyum lebar.
“Tadi Nenek bercerita tentang kamu kepada Om Rahmat, Don,” Nenek menjelaskan. “Ayo, beri salam dulu.”
Aku mendekat dan bersalaman dengan Om Rahmat.

Sekarang aku mengerti, kurasa Om Rahmat itu yang dilihat Randi. Dan bau wangi yang tercium Randi itu pasti bau bunga cempaka. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar