Minggu, 19 Maret 2017

Titipan Nyonya Salma

Dimuat di Majalah Bobo 


Titipan Nyonya Salma
Gita Lovusa

            Liburan musim panas kali ini, Nyonya Winnie kedatangan adiknya yang akan menginap di rumah. Bibi Steffie, begitu Nyonya Winnie dan anak-anak biasa memanggilnya. Nyonya Winnie senang jika Bibi Steffie menginap di rumah. Mereka memiliki beberapa kesamaan, seperti sama-sama suka pergi ke pasar dan memasak.
            Pagi hari, Nyonya Winnie sedang bersiap belanja ke pasar. Ia sudah menuliskan daftar bahan yang akan dibeli. Bibi Steffie pun siap menemani. Lalu bel rumah berbunyi.
            “Ah, itu pasti Nyonya Salma.” Nyonya Winnie bergegas membukakan pintu.
            “Selamat pagi, Nyonya Winnie.” Nyonya Salma memberi salam pada Nyonya Winnie. “Seperti biasa, ini daftar titipanku.”
            “Baik, Nyonya Winnie. Akan kucarikan.” Nyonya Salma pun pamit pulang. Nyonya Winnie dan adiknya berangkat ke pasar.
            Sesampainya di tempat yang menjual beragam lauk, buah, dan sayur itu, Nyonya Winnie tekun mencari bahan yang diperlukan sesuai daftar belanjaan miliknya dan milik Nyonya Salma. Setelah semua bahan didapatkan, Nyonya Winnie mengajak Bibi Steffie pulang.
“Kubantu bawakan tas belanja.” Bibi Steffie merasa iba pada Nyonya Winnie yang membawa tiga tas belanja.
“Terima kasih. Tolong bawakan tas belanjaku saja, Bi.” Nyonya Winnie pun
memberikan satu tas belanja miliknya.
“Lalu dua tas ini punya siapa?”
“Oh, ini punya Nyonya Salma. Yang tadi pagi datang ke rumah.”
Bibi Steffie terperangah mendengar perkataan Nyonya Winnie. “Ia menitip sebanyak
ini?”
Nyonya Winnie mengangguk. “Iya, Nyonya Salma biasa menitip belanja seperti ini
setiap aku ke pasar dua hari sekali. Ia tak suka ke pasar, tapi harus memasak untuk kelima putranya.”
            “Ya ampun, kau terlalu baik. Yang ia beli bahkan lebih banyak daripada belanjaanmu.”
            Nyonya Winnie tertawa kecil. “Tidak apa-apa. Aku suka melakukannya, kok.”
            Kening Bibi Steffie berkerut. Ia kenal sekali dengan kakak kesayangannya itu, sangat suka membantu. Tapi, ada yang tak bisa dibiarkan di sini, pikir Bibi Steffie.
            “Oh iya, bisakah dua hari lagi menggantikanku belanja ke pasar? Aku harus mengambil kain-kain di kota.”
            “Dengan senang hati.”
            “Terima kasih. Nanti kutuliskan daftar belanjaannya,” ujar Nyonya Winnie lega.
            Ah, pas sekali. Bibi Steffie berkata dalam hati. Sebuah ide pun langsung muncul di benaknya.
            Dua hari kemudian, pagi-pagi sekali, Nyonya Winnie sudah siap untuk pergi ke kota. “Ini daftar belanjaanku. Nanti kalau Nyonya Salma datang, bisakah tolong membelikan titipannya?”
            “Akan kusahakan yang terbaik.”
            Ting tong. Dengan sigap Bibi Steffie membukakan pintu.
            “Selamat pagi,” sapa Nyonya Salma ramah. “Apa Nyonya Winnie ada?”
            “Maaf, Nyonya Salma. Nyonya Winnie sedang mengambil kain ke kota.”
            “Oh.” Nyonya Salma terkejut. “Lalu daftar belanja ini bagaimana, ya?”
            “Kau bisa ikut belanja bersamaku kalau mau.”
            Nyonya Salma tampak kikuk. “Oh, baiklah kalau begitu. Aku butuh sekali bahan-bahan ini.”
            “Mari pergi bersamaku.” Bibi Steffie membawa tiga tas belanja di tangan.
            Sesampainya di pasar. Nyonya Salma sama sekali tidak tahu harus pergi ke arah mana untuk membeli bahan yang dibutuhkan.
“Kau baca daftar belanjaanmu, lalu lihatlah papan-papan ini. Di situ tertulis nama bahan-bahan yang dijual. Sayur, ikan, ayam, buah-buahan, atau bumbu dapur.” Bibi Steffie membiarkan Nyonya Salma mencari sendiri. Ia hanya mendampinginya dan membeli sesuai dengan yang tertera di daftar belanja Nyonya Winnie.
            Setelah semua bahan didapatkan, hasilnya seperti belanja sebelumnya; dua tas belanja milik Nyonya Salma dan satu tas kepunyaan Nyonya Winnie.
“Belanjaanku banyak sekali,” ujar Nyonya Salma sambil menyeka keringat di dahi. “Berat.”
            “Ya, begitulah yang Nyonya Winnie lakukan setiap kau menitip padanya. Ia membawa tiga tas belanja ini seorang diri.”
            “Ow, kasihannya. Aku harus membantunya kalau begitu.”
            Begitu sampai di pertigaan dekat rumah Nyonya Salma dan Nyonya Winnie, Bibi Steffie dan Nyonya Salma pun berpisah. “Terima kasih sudah menemani belanja, Bi. Aku banyak belajar hari ini.”
            “Sama-sama.” Bibi Steffie mengangguk pelan.
            Dua hari kemudian, saat Bibi Steffie dan Nyonya Winnie bersiap kembali pergi ke pasar. Bel rumah berdentang.
“Ah, itu pasti Nyonya Salma yang mau ke pasar bersama kita,” sahut Bibi Steffie.
            “Hah? Bagaimana bisa?”
            “Coba kau buka saja.”
            “Selamat pagi, Nyonya Winnie.” Nyonya Salma tersenyum manis sekali. “Untunglah kau di rumah hari ini.”
            Nyonya Salma memegang kertas dengan kedua tangannya. “Bolehkah aku menitip belanja lagi? Aku tahu belanjaanku banyak dan kau berat membawanya. Oleh karena itu, aku membeli tas belanja beroda ini untukmu. Agar kau lebih ringan membawa belanjaan.”          
            “Wah, terima kasih sekali, Nyonya Salma. Tentu saja kau boleh menitip padaku.”
            Bibi Steffie membelalakkan mata. “Oh, ya ampun. Harapanku terbang melayang. Kau sungguh terlalu baik, Nyonya Winnie.”
Nyonya Winnie tersenyum. “Itu karena Nyonya Salma sangat baik padaku, Bibi Steffie. Jika sedang banyak jahitan, aku suka menitipi anak-anak di rumah Nyonya Salma. Usia anak-anak kami sepantaran, juga cukup akrab.” Nyonya Winnie menjelaskan
Oh.. oh.. kini Bibi Steffie mengerti.       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar