Rabu, 08 Maret 2017

Ogie

Dimuat di Majalah Bobo Edisi 41, 14 Januari 2016


Ogie
Oleh Dian Sukma Kuswardhani

            Pak Mitmut kesal sekali. Ia harus memperbaiki tempat tinggalnya yang rusak. Menurut Pak Mitmut, semua itu karena Ogie gajah yang tidak hati-hati.
            Ogie menggoyang-goyangkan belalainya. Ia sudah minta maaf, tapi Pak Mitmut masih saja cemberut.
            “Aku tidak sengaja menginjak rumahmu, Pak Mitmut. Aku tidak melihatnya,” ucap Ogie menyesal.
            “Tadi kan aku sudah berteriak memperingatkanmu, Ogie. Lihat, sekarang aku kehilangan waktu untuk mencari makanan bagi anak-anakku,” bentak semut hitam itu.
            “Ya, aku mendengarmu. Tapi aku tidak tahu kau dimana,” kata Ogie membela diri.
            “Tentu saja. Telinga lebarmu itu pasti mendengar suaraku. Sayangnya matamu terlalu kecil untuk menemukanku,” sindir Pak Mitmut.

Ogie terdiam. Ia merasa serba salah. Sudah lama hubungan Ogie dan Pak Mitmut kurang harmonis. Setiap kali Ogie lewat di dekat rumah Pak Mitmut, Pak Mitmut selalu menggerutu. Ia bilang Ogie membuat rumahnya seperti terkena gempa bumi. Suaranya juga berisik. Pak Mitmut khawatir kalau-kalau Ogie merusak rumahnya. Dan ternyata itu terjadi hari ini.
“Sudahlah Ogie. Jauh-jauh dari kami,” usir Pak Mitmut.
Ogie pergi dengan sedih. Rumah Pak Mitmut berada di bawah pohon manggis dan rambutan. Ogie sangat suka buah-buahan itu. Makanya Ogie sering ke sana untuk memetik buah. Ia juga senang bermain di bawah pohonnya yang teduh. Sekarang, ia harus mencari tempat bermain baru.
“Ogie, tangkap ini!” seru Olie sambil melemparkan sesisir pisang.
Ogie tak siap. Pisang itu mengenai kepalanya.
“Ups, maaf. Sakit?” tanya Olie. Ogie hanya menggeleng lesu.
“Hei, aneh sekali kamu hari ini. Ada apa? Biasanya Ogie selalu ceria?”
“Aku sedang sedih, Olie. Pak Mitmut marah padaku karena aku merusak rumahnya. Padahal aku tidak sengaja,” keluh Ogie.
Olie tersenyum. Masalah seperti ini sudah biasa terjadi. Untuk menghibur Ogie, ia mengajak gajah kecil itu bermain sembur air di sungai. Itu salah satu permainan favorit mereka.
Ogie pun kembali riang dan melupakan kesedihannya. Ia menghirup air banyak-banyak dengan belalainya. Lalu ia semburkan air itu ke udara seperti air mancur. Sementara Olie malah menyemburkan air ke arah Ogie.
“Ogie! Olie! Semburkan airnya ke sini!” Ada suara berteriak ke arah mereka. Siapa ya?
            “Di bawah sini! Dekat semak-semak!”
            Oh, rupanya itu Pak Kako si katak hijau. Ia sedang menunggui anak-anaknya yang berenang-renang di kubangan air.
            “Cuaca panas sekali. Air di kubangan ini cepat sekali menyusut. Isi pelan-pelan ya,” pinta Pak Kako.
            Ogie dan Olie bergantian mengisi ceruk itu hingga penuh. Anak-anak Pak Kako tampak girang.
            “Terimakasih,” ucap Pak Kako.
            “Sama-sama, Pak Kako!” jawab Ogie dan Olie bersamaan.
            “Seandainya saja Pak Mitmut juga menyukai aku seperti Pak Kako, aku pasti akan senang sekali,” pikir Ogie.
***
            Suatu hari, Ogie berjalan-jalan di sekitar pohon manggis dekat rumah Pak Mitmut. Sudah lama ia tidak ke sana. Tapi pagi itu ia melihat pohon manggis sedang berbuah lebat. Buahnya sudah mulai besar dan terlihat ranum. Ogie tak tahan untuk tak memetiknya.
            Ia berusaha berjalan sepelan dan sehati-hati mungkin. Sambil memperhatikan permukaan tanah yang hendak ia pijak. Ogie tidak mau kejadian yang lalu terulang lagi, merobohkan rumah Pak Mitmut.
            “Ayo, kita mulai lagi. Satu ... dua ... tigaaaa!” Ogie mendengar suara Pak Mitmut. Ia mencari-cari arah suara itu.
            “Mereka sedang apa ya?” pikir Ogie ketika menemukan Pak Mitmut dan sekawanan semut hitam lainnya. Ogie memperhatikan mereka.
            “Boleh kubantu, Pak Mitmut?” ucap Ogie pelan. Jangan sampai hembusan nafasnya malah menerbangkan semut-semut kecil itu.
            “Eh ... kau Ogie? Kapan kau datang? Ya, kami memang butuh bantuan. Kalau kau mau membantu,” ucap Pak Mitmut sedikit kikuk.
            Ogie tersenyum. Dengan mudah ia memindahkan sebutir buah manggis besar yang jatuh di atas rumah Pak Mitmut. Buah itu telah merusak rumah Pak Mitmut. Sekawanan semut hitam tampak lega. Dari tadi mereka mendorong buah manggis itu, tapi tak berhasil menggesernya sejengkal pun.
            “Terimakasih, Ogie,” ucap Pak Mitmut sedikit malu.
Mungkin ia ingat dulu pernah mengusir Ogie jauh-jauh. Sekarang Ogie malah menolongnya.
“Sama-sama, Pak. Aku senang bisa membantu,” balas Ogie.
“Baiklah. Kalau begitu aku pergi dulu,” lanjut Ogie. Ia urung memetik buah manggis karena merasa sungkan pada Pak Mitmut.
“Ogie!” panggil Pak Mitmut dengan suara sekencang mungkin. Ogie menoleh.
“Kau tidak suka manggis-manggisranum ini? Kenapa tidak kau petik?” tanya Pak Mitmut.
Ogie hampir meloncat kegirangan. Ia langsung kembali untuk menikmati buah manggis kesukaannya. Ogie juga mengupaskan beberapa manggis untuk Pak Mitmut dan kawanannya. Mereka menikmati buah manggis bersama.

Sejak hari itu, hubungan Pak Mitmut dan Ogie membaik. Ogie selalu berusaha berhati-hati ketika berjalan di sekitar rumah Pak Mitmut. Pak Mitmut pun tak pernah lagi membentak dan memarahi Ogie yang melintas di sekitarnya. Mereka hidup dengan rukun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar