Minggu, 26 Maret 2017

Ramuan Istimewa Grotto


Dimuat di Majalah Bobo no 47, 2 Maret 2017


Ramuan Istimewa Grotto
Melia Sastia

Hoek. Hoek. Hoek.
Terdengar suara dari kamar Grotto. Anak laki-laki yatim piatu itu merasakan mual dan mulas di perutnya. Kakek bergegas menuju kamar Grotto. Digosoknya perut dan punggung cucu kesayangannya itu dengan minyak angin.
“Bagaimana? Terasa lebih baik?” tanya Kakek. Grotto mengangguk pelan
“Aku mau izin tidak sekolah lagi ya, Kek..” pinta Grotto sambil menyandarkan tubuhnya ke tembok
“Kamu sudah dua hari tidak sekolah, Grotto. Lagi pula sebentar lagi ujian. Bagaimana kalau sampai tidak naik ke kelas 4?” tanya Kakek.
“Biar saja, Kek. Aku lebih suka di rumah,” kata Grotto lagi.
“Kakek akan buatkan sesuatu untukmu. Tunggu ya..” kata Kakek seraya berjalan menuju dapur. Tak lama kemudian Kakek kembali dengan membawa segelas air putih.
“Apa itu, Kek?” tanya Grotto.
“Ini ramuan penyemangat, Grotto. Siapapun yang meminumnya, ia akan menjadi sehat dan bersemangat. Ayo minumlah,” kata Kakek. Grotto mengambil gelas itu dari tangan kakeknya.
Glek. Grotto tidak merasakan apa-apa.
Glek. Glek. Glek. Seketika Grotto merasa tubuhnya begitu segar. Mulas dan mual tidak lagi dirasakannya. Ia segera bangkit dari tempat tidur.
“Kakek memang tabib hebat! Aku jadi merasa sehat. Aku mau sekolah, Kek..” kata Grotto kemudian. Kakek tersenyum melihat tingkah Grotto.
Di sekolah, Grotto merasa sangat bersemangat. Tidak seperti sebelumnya, ia dengan mudah mampu memahami semua penjelasan gurunya. Bahkan saat pelajaran berhitung, Grotto mampu menjawab semua soal yang diberikan. Grotto biasanya selalu kena omel, tapi kali ini gurunya berulang kali memujinya. Ah, bukan main bangganya Grotto.
Pulang sekolah, Grotto bertemu dengan Lionel, anak paling bandel di sekolah.
“Berikan uangmu!” bentak Lionel seraya mencengkeram kerah baju Grotto. Karena ketakutan, Grotto memberikan uangnya begitu saja pada Lionel.
“Besok lagi ya. Hahaha..” kata Lionel seraya meninggalkan Grotto yang hampir menangis.
Grotto berlari pulang. Ia menceritakan apa yang dialaminya pada kakeknya.
“Pokoknya aku besok tidak mau sekolah,” kata Grotto sambil terisak.
“Kalau kamu tidak sekolah, apakah Lionel akan berhenti mengganggumu?” tanya Kakek. Grotto diam. “Lalu, kalau nilaimu jelek karena sering tidak masuk sekolah, apakah Lionel bisa membantumu?” Lagi-lagi Grotto diam. “Lagi pula, Kakek juga sudah mengajarimu bela diri, bukan?”
“Tapi aku selalu takut saat berhadapan dengan Lionel, Kek..” keluh Grotto.
“Kalau begitu, besok pagi sebelum berangkat sekolah kamu harus minum ramuan pemberani buatan Kakek.”
“Supaya apa, Kek?”
“Tentu saja supaya kamu menjadi berani..”
***
Keesokan pagi sebelum sekolah, Grotto meminum ramuan pemberani buatan Kakeknya. Dengan penuh percaya diri Grotto melangkah menuju sekolah.
Dalam perjalanan, Grotto melihat Lionel sedang diganggu oleh seorang pemuda. Ia tampak memukul dan membentak Lionel. Grotto tidak suka pada Lionel karena kerap mengganggunya dan teman-temannya. Tapi Grotto merasa kasihan pada Lionel. Lagi pula bukankah tadi pagi ia sudah meminum ramuan pemberani?
Grotto mendekati pemuda itu. Dengan lantang ia memintanya untuk menjauhi Lionel. Pemuda itu marah, lalu mengayunkan tangannya hendak memukul Grotto. Dengan gesit Grotto menangkap tangan pemuda itu lalu menghempaskan tubuhnya ke tanah. Pemuda itu meringis menahan sakit lalu kabur meninggalkan Lionel dan Grotto.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Grotto. Lionel mengangguk.
“Terima kasih sudah menolongku,” kata Lionel. “Pemuda itu kerap meminta uangku dengan paksa, makanya aku selalu kehabisan uang. Ia bahkan tak segan-segan memukul. Itu sebabnya aku sering meminta uang pada teman-teman di sekolah,” jelas Lionel dengan kepala tertunduk. “Aku minta maaf ya, Grotto..” lanjut Lionel.
“Tidak apa. Aku sudah memaafkanmu. Sekarang ayo kita cepat-cepat ke sekolah sebelum terlambat,” kata Grotto.
“Ayo! Tapi ngomong-ngomong, aku baru tau kalau kau bisa bela diri..” sahut Lionel. Grotto nyengir.
***
Sepulang sekolah, Grotto menceritakan semua yang dialaminya hari itu pada Kakeknya.
“Aku jadi penasaran, apa sebenarnya isi ramuan istimewa yang Kakek berikan padaku. Apakah Kakek mau memberitahuku?” tanya Grotto.
“Tentu saja, Grotto. Ayo ikut Kakek..”
Grotto berjalan ke dapur mengikuti kakeknya. Ia melihat Kakek menuang air putih dari teko ke dalam sebuah gelas kaca.
“Ramuan penyemangat dan ramuan pemberani itu sebenarnya hanya air putih biasa. Bukan ramuannya yang istimewa, tapi kamulah yang istimewa, Grotto..” kata Kakek. Grotto tertegun.
Ia memang selalu merasa mulas dan mual tiap pagi karena takut menghadapi pelajaran di sekolah. Tubuhnya juga lemas tiap berhadapan dengan siapa pun yang ditakutinya. Tapi ketika ia merasa bersemangat, semua pelajaran dengan mudah bisa dipahaminya. Begitu pula saat ia menghadapi orang yang ditakutinya. Ah, Grotto baru sadar. Ternyata ramuan istimewa itu ada dalam pikirannya sendiri.



Jumat, 24 Maret 2017

Cerita Dongeng Sebelum Tidur Kisah 1001 Malam



dongeng 1001 malam

Dongeng Sebelum Tidur, Cerita Dongeng 1001 Malam – Malam itu
Zahra terlihat sudah sangat mengantuk. Matanya terlihat sayu dengan sesekali
dia menguap menahan kantuk yang melandanya. Ayahnya tahu bahwa Zahra sudah
mulai mengantuk, dia lalu menyuruh Zahra untuk mematikan Televisi dan
mengantarnya pergi ke kamar tidurnya.




“Ayah.. aku ingin di ceritakan seperti biasa.

Selasa, 21 Maret 2017

Tuan Tome dan Nyonya Petra

                                   
Dimuat di Majalah Bobo Edisi Februari 2017



                                          Tuan Tome dan Nyonya Petra
                                                       Oleh : Afrilla Dwitasari
        Di kota Triberg di Jerman, tinggalah sepasang suami istri. Tuan Tome dan Nyonya Petra namanya. Mereka memiliki toko kue "Liebekuchen" yang menjual kue khas Triberg, yaitu black forest. Toko "Liebekuchen" selalu ramai oleh pengunjung yang berjalan-jalan ke air terjun terkenal di Triberg. Namun akhir-akhir ini, toko itu sepi.
        Suatu pagi, Nyonya Petra merenung. Ia melepaskan topi dan celemeknya, mengempaskan badannya yang gemuk di bangku kayu.
      "Kenapa kau melamun, Petra?" tegur Tuan Tome.
      "Toko kita sepi, sekarang toko kue baru menjamur di sekitar air terjun. Apa yang harus kita lakukan, Tome?"
      "Hmm.. Apa, ya?" Tuan Tome menggaruk-garuk kepalanya.
       Nyonya Petra memang tidak bisa mengandalkan suaminya yang tidak suka bekerja.´Berbeda sekali dengan dirinya. Ia tekun, giat, dan juga ramah kepada pelanggannya.
      Tuan Tome tidak betah membuat kue. Ia sering tertidur saat mengaduk adonan dengan kayu.
       "Tome, bagaimana kalau kau mencari kursus membuat kue? Cobalah belajar membuat kue terbaru! Sudah saatnya kita menambah jenis kue. Kalau kue kita bervariasi, pelanggan akan bertambah!" pinta Nyonya Petra.
      "Dimana?"
      "Carilah di kota! Ada di cafe besar!"
      Dengan memakai sepatu boot kulit dan jaket hitam andalannya, Tuan Tome memenuhi permintaan istrinya. Ia pun menemukan satu cafe besar.
       Ketika masuk ke cafe, ia melihat sebuah tulisan "Kein Meister faellt vom Himmel" (Tidak ada ahli yang jatuh dari langit). Apa maksudnya tulisan itu, gumam Tuan Tome dalam hati.
      "Selamat pagi! Saya Tome. Saya ingin mendaftar kursus!"
       Pemilik cafe memandangi Tuan Tome dari kepala hingga ujung kaki. Tuan Tome memang kurus tinggi.
      "Baiklah, silakan datang besok, " ujar pemilik cafe.
      Setelah membayar biayanya, ia kembali ke rumah dan bercerita kepada istrinya.
      "Baguslah! Belajarlah yang benar, Tome!" pesan Nyonya Petra.
       Esoknya, Tuan Tome masuk kelas.
      "Selamat pagi! Hari ini kita akan membuat bolu kismis. Sekarang perhatikan petunjuk saya dan ikuti langkah-langkahnya!" Sang koki guru berkata lantang.
        Semua peserta mengikuti perintahnya.
      "Uh, susah sekali! Ah, ini membosankan!" Tuan Tome menggerutu terus.
       Ketika kelas selesai, koki guru memeriksa kue-kue peserta. Tuan Tome gagal. Tapi, koki guru tidak marah kepadanya.
      "Tidak apa, datanglah lagi besok. Kan masih ada lima kali pertemuan."
      "Apa?! Lama sekali!" Tuan Tome melotot.
      "Memang begitu, Tuan. Membuat kue butuh latihan!"
       Tuan Tome menjatuhkan topi dan celemeknya lalu pulang.
      "Aku tidak mau belajar selama itu! Kupikir sehari saja bisa!" gerutunya ketika sampai di rumah.
      "Astaga! Kau memang tidak sabar!"
        Nyonya Petra geleng-geleng kepala. Ia sudah paham sifat suaminya, malas bekerja tapi ingin cepat dapat hasil.
       "Hei, Petra, bagaimana kalau aku belajar melukis? Lukisanku bisa kujual nantinya!" Tiba-tiba malamnya Tuan Tome menyampaikan ide baru.
       "Terserah kau!" Nyonya Petra malas berdebat.
       Esoknya, Tuan Tome mendapatkan tempat belajar melukis. Ia boleh mulai hari itu juga. Tuan Tome heran saat melihat papan bertuliskan "Kein Meister faellt vom Himmel". Kenapa ada tulisan serupa di sini, gumamnya.
        Saat belajar, Tuan Tome merasa jenuh. Melukis memang bukan minatnya.
       "Berapa lama saya bisa seperti Anda?" keluhnya.
      "Satu tahun. Melukis butuh latihan keras. Tidak ada yang instan, " ujar sang guru lukis.
       Mata Tuan Tome membelalak.
       "Apa?? Satu tahun?! Saya tidak jadi melukis!"
       Kali ini Nyonya Petra marah. Wajahnya merah padam mendengar cerita suaminya.
       "Kau sudah menghabiskan biaya tapi tanpa hasil! Kali ini aku beri satu kesempatan terakhir!"
         Tuan Tome berpikir keras. Akhirnya, ia memutuskan untuk belajar membuat minuman. Ia memang senang meramu berbagai minuman. Ah, mungkin memang lebih enak kalau aku suka melakukannya.
        Tuan Tome kembali mencari tempat kursus membuat minuman. Kebetulan kemarin ia melihat pada brosur di salah satu cafe.
        Ia mendatangi cafe tersebut. Alangkah terkejutnya ia karena di sana pun ada tulisan "Kein Meister faellt vom Himmel" di tembok.
        Saat mendaftar, pemilik cafe berkata, "Baik Tuan, besok kelas dimulai. Kita akan membuat minuman tradisional eggnog dan lumumba. Anda harus serius belajar di sini. Jika Anda tidak mengikuti lima kali pertemuan, maka Anda harus membayar denda!"
        Tuan Tome terpaksa mengikuti peraturan. Hari pertama ia mengeluh dan mengomel saat menemui kesulitan. Namun, ia tetap mengikuti kelas hingga selesai.
        Suatu malam Nyonya Petra melihat suaminya membaca buku resep dengan serius. Semoga saja kali ini ia berubah! Doanya dalam hati.
        Benar saja, Tuan Tome terus mengikuti kelas. Di akhir pertemuan, pemilik cafe memberikan sertifikat kelulusan. Tuan Tome girang bukan main. Ia berhasil membuat minuman tradisional. Tak sabar ia menghias tokonya dengan eggnog dan lumumba. Petra pasti gembira!
        Ternyata semua bisa jika dijalani dengan tekun dan sungguh-sungguh. Tuan Tome sadar, selama ini ia tidak mau menjalani proses belajar.
        Saat keluar ruangan, ia kembali melihat tulisan di tembok. Matanya mengerling, senyumnya merekah. Tak ada yang bisa jadi ahli tanpa belajar terlebih dahulu. Aha! Jadi itu maksudnya!
***

Minggu, 19 Maret 2017

Titipan Nyonya Salma

Dimuat di Majalah Bobo 


Titipan Nyonya Salma
Gita Lovusa

            Liburan musim panas kali ini, Nyonya Winnie kedatangan adiknya yang akan menginap di rumah. Bibi Steffie, begitu Nyonya Winnie dan anak-anak biasa memanggilnya. Nyonya Winnie senang jika Bibi Steffie menginap di rumah. Mereka memiliki beberapa kesamaan, seperti sama-sama suka pergi ke pasar dan memasak.
            Pagi hari, Nyonya Winnie sedang bersiap belanja ke pasar. Ia sudah menuliskan daftar bahan yang akan dibeli. Bibi Steffie pun siap menemani. Lalu bel rumah berbunyi.
            “Ah, itu pasti Nyonya Salma.” Nyonya Winnie bergegas membukakan pintu.
            “Selamat pagi, Nyonya Winnie.” Nyonya Salma memberi salam pada Nyonya Winnie. “Seperti biasa, ini daftar titipanku.”
            “Baik, Nyonya Winnie. Akan kucarikan.” Nyonya Salma pun pamit pulang. Nyonya Winnie dan adiknya berangkat ke pasar.
            Sesampainya di tempat yang menjual beragam lauk, buah, dan sayur itu, Nyonya Winnie tekun mencari bahan yang diperlukan sesuai daftar belanjaan miliknya dan milik Nyonya Salma. Setelah semua bahan didapatkan, Nyonya Winnie mengajak Bibi Steffie pulang.
“Kubantu bawakan tas belanja.” Bibi Steffie merasa iba pada Nyonya Winnie yang membawa tiga tas belanja.
“Terima kasih. Tolong bawakan tas belanjaku saja, Bi.” Nyonya Winnie pun
memberikan satu tas belanja miliknya.
“Lalu dua tas ini punya siapa?”
“Oh, ini punya Nyonya Salma. Yang tadi pagi datang ke rumah.”
Bibi Steffie terperangah mendengar perkataan Nyonya Winnie. “Ia menitip sebanyak
ini?”
Nyonya Winnie mengangguk. “Iya, Nyonya Salma biasa menitip belanja seperti ini
setiap aku ke pasar dua hari sekali. Ia tak suka ke pasar, tapi harus memasak untuk kelima putranya.”
            “Ya ampun, kau terlalu baik. Yang ia beli bahkan lebih banyak daripada belanjaanmu.”
            Nyonya Winnie tertawa kecil. “Tidak apa-apa. Aku suka melakukannya, kok.”
            Kening Bibi Steffie berkerut. Ia kenal sekali dengan kakak kesayangannya itu, sangat suka membantu. Tapi, ada yang tak bisa dibiarkan di sini, pikir Bibi Steffie.
            “Oh iya, bisakah dua hari lagi menggantikanku belanja ke pasar? Aku harus mengambil kain-kain di kota.”
            “Dengan senang hati.”
            “Terima kasih. Nanti kutuliskan daftar belanjaannya,” ujar Nyonya Winnie lega.
            Ah, pas sekali. Bibi Steffie berkata dalam hati. Sebuah ide pun langsung muncul di benaknya.
            Dua hari kemudian, pagi-pagi sekali, Nyonya Winnie sudah siap untuk pergi ke kota. “Ini daftar belanjaanku. Nanti kalau Nyonya Salma datang, bisakah tolong membelikan titipannya?”
            “Akan kusahakan yang terbaik.”
            Ting tong. Dengan sigap Bibi Steffie membukakan pintu.
            “Selamat pagi,” sapa Nyonya Salma ramah. “Apa Nyonya Winnie ada?”
            “Maaf, Nyonya Salma. Nyonya Winnie sedang mengambil kain ke kota.”
            “Oh.” Nyonya Salma terkejut. “Lalu daftar belanja ini bagaimana, ya?”
            “Kau bisa ikut belanja bersamaku kalau mau.”
            Nyonya Salma tampak kikuk. “Oh, baiklah kalau begitu. Aku butuh sekali bahan-bahan ini.”
            “Mari pergi bersamaku.” Bibi Steffie membawa tiga tas belanja di tangan.
            Sesampainya di pasar. Nyonya Salma sama sekali tidak tahu harus pergi ke arah mana untuk membeli bahan yang dibutuhkan.
“Kau baca daftar belanjaanmu, lalu lihatlah papan-papan ini. Di situ tertulis nama bahan-bahan yang dijual. Sayur, ikan, ayam, buah-buahan, atau bumbu dapur.” Bibi Steffie membiarkan Nyonya Salma mencari sendiri. Ia hanya mendampinginya dan membeli sesuai dengan yang tertera di daftar belanja Nyonya Winnie.
            Setelah semua bahan didapatkan, hasilnya seperti belanja sebelumnya; dua tas belanja milik Nyonya Salma dan satu tas kepunyaan Nyonya Winnie.
“Belanjaanku banyak sekali,” ujar Nyonya Salma sambil menyeka keringat di dahi. “Berat.”
            “Ya, begitulah yang Nyonya Winnie lakukan setiap kau menitip padanya. Ia membawa tiga tas belanja ini seorang diri.”
            “Ow, kasihannya. Aku harus membantunya kalau begitu.”
            Begitu sampai di pertigaan dekat rumah Nyonya Salma dan Nyonya Winnie, Bibi Steffie dan Nyonya Salma pun berpisah. “Terima kasih sudah menemani belanja, Bi. Aku banyak belajar hari ini.”
            “Sama-sama.” Bibi Steffie mengangguk pelan.
            Dua hari kemudian, saat Bibi Steffie dan Nyonya Winnie bersiap kembali pergi ke pasar. Bel rumah berdentang.
“Ah, itu pasti Nyonya Salma yang mau ke pasar bersama kita,” sahut Bibi Steffie.
            “Hah? Bagaimana bisa?”
            “Coba kau buka saja.”
            “Selamat pagi, Nyonya Winnie.” Nyonya Salma tersenyum manis sekali. “Untunglah kau di rumah hari ini.”
            Nyonya Salma memegang kertas dengan kedua tangannya. “Bolehkah aku menitip belanja lagi? Aku tahu belanjaanku banyak dan kau berat membawanya. Oleh karena itu, aku membeli tas belanja beroda ini untukmu. Agar kau lebih ringan membawa belanjaan.”          
            “Wah, terima kasih sekali, Nyonya Salma. Tentu saja kau boleh menitip padaku.”
            Bibi Steffie membelalakkan mata. “Oh, ya ampun. Harapanku terbang melayang. Kau sungguh terlalu baik, Nyonya Winnie.”
Nyonya Winnie tersenyum. “Itu karena Nyonya Salma sangat baik padaku, Bibi Steffie. Jika sedang banyak jahitan, aku suka menitipi anak-anak di rumah Nyonya Salma. Usia anak-anak kami sepantaran, juga cukup akrab.” Nyonya Winnie menjelaskan
Oh.. oh.. kini Bibi Steffie mengerti.       

Minggu, 12 Maret 2017

Kotak Ceria

Dimuat di Majalah Bobo


Kotak Ceria
Oleh: Agnes Dessyana

            “Gimana Ran?”
            Rani mengamati kotak yang dipegang Susan. “Kamu yakin Helsa akansenang?”
            “Tentu saja,” ujar Susan.
            “Hhm, baiklah. Kalau kamu bilang begitu,” ucap Rani. “Aku setuju.”
            “Oke, mari kita mulai membuat Kotak Ceria!” seru Susan dengan semangat.
            Rani tertawa geli melihat kelakukan Susan. Mereka kemudian mulai menyusun rencana bersama. Susan dan Rani menggunakan komputer, mulai mencari-cari di internet. Kedua sahabat itu sibuk melihat gambar-gambar berbagai kreasi untuk mengisi kotak ceria.
“Asik ya, melakukan ini,” ucap Rani bersemangat. “Harusnya kita juga mengajak Helsa.”
“Ini kan misi rahasia, Ran!”
Rani menyengir. “Hehehehe….Aku lupa.”
Susan menepuk jidatnya. Keduanya mulai bekerja kembali. Mereka menyusun daftar benda-bendauntuk menghias kotak ceria. Setelah itu selesai, Susan pamit pulang pada Rani.
            Keesokan harinya di sekolah, saat Rani dan Helsa sedang mengobrol di kelas. Susan datang menghampiri mereka.
            “Ran, aku nanti datang agak telat, ya!” kata Susan. “Aku diminta Ibu untuk mengantar pesanan kue.”
            Rani mengangguk. Susan membalas dengan senyum. Setelah itu, Susan berjalan keluar untuk kembali ke ruangan kelasnya. Susan memang berbeda kelas dengan Rani dan Helsa.
            “Kalian ada janji apa?” tanya Helsa penasaran.
            “Tidak ada apa-apa,” jawab Rani singkat.
            Helsa tampak penasaran dengan jawaban Rani, tapi tidak mendesak lebih lanjut.
            Ah, cepatlah pulang sekolah. Aku tidak sabar untuk membuat kotak ceria itu. Pikir Rani dalam hati saat menunggu bel pulang sekolah.
Kring….Bel berbunyi. Rani langsung berlari keluar kelas. Ia bertemu Susan di depan gerbang. Mereka berjalan pulang bersama.
“Rencana kita hari ini adalah menghias kotak ceria,” ucap Susan. “Besok, kita baru mulai mencari isi kotaknya.”
“Baiklah, aku akan siapkan gunting, lem, dan kertas warna. Nanti, kita kerjakan bersama setelah kamu selesai mengantarkan pesanan kue.”
Susan mengangguk. Keduanya lalu berpisah jalan. Setibanya di rumah, Rani segera menyiapkan barang-barang yang diperlukan. Saat Rani asik melihat kreasi gambar di komputer, bel pintu berbunyi. Susan sudah datang dan mereka mulai membuat berbagai macam bentuk dari kertas warna.
Kegiatan itu terus berlanjut selama beberapa hari. Setelah selesai menghias kotak, mereka mulai mencari-cari isi untuk kotak ceria. Rani dan Susan bingung menentukan isi kotak ceria.
“Bagaimana jika ini saja?” Rani menunjuk boneka beruang.”
Susan mendecak kesal. “Rani, boneka itu tidak mungkin muat.”
“Hm, kalau begitu bagaimana dengan gelas ini?”
Dahi Susan berkerut kesal. “Itu jelek!”
Rani mulai ikut kesal karena Susan menolak semua ide yang diberikannya. Padahal Susan juga tidak memberikan ide. Saat mereka masih bertengkar, sebuah suara memanggil mereka.
“Rani, Susan, sedang apa kalian disini?”
Keduanya terkejut dan terdiam.
“Kami mau membeli sesuatu,” jawab Susan singkat.
“Membeli apa?” tanya Helsa.
Rani dan Susan kembali diam. Mereka tidak tahu harus menjawab apa. Tiba-tiba, Helsa bertanya lagi.
“Mau kubantu?”
“Tidak usah!” seru keduanya bersamaan.
“Oh, baiklah. Kalau begitu, aku pulang dulu.”
Rani dan Susan hanya mengangguk. Saat Helsa sudah tidak terlihat, keduanya saling menatap.
“San, kuharap Helsa tidak marah pada kita,” gumam Rani perlahan.
“Iya,” jawab Susan singkat.
Keduanya lalu melanjutkan untuk membeli barang-barang. Pertengkaran mereka terlupakan demi mencari benda yang tepat untuk Helsa. Setelah berkeliling toko selama dua jam, mereka menemukan barang yang sesuai.
Rani dan Susan lalu menghias benda-benda itu sebelum dimasukkan ke dalam kotak. Akhirnya, selesai juga kotak ceria yang mereka buat.
Keesokan harinya, tepat pukul 10 pagi, Rani dan Susan sudah tiba di depan rumah Helsa. Hari ini sekolah libur sehingga mereka bisa datang lebih cepat. Mereka menekan bel pintu. Begitu Helsa membuka pintu, keduanya langsung berseru.
            “Helsa, selamat ulang tahun!”
            Helsa mengucapkan terima kasih. Ia kemudian mengajak keduanya masuk ke dalam.
            “Kupikir, kalian tidak ingat,” ucap Helsa dengan sedih.
            “Kenapa kamu berpikir seperti itu?” tanya Rani.
            Helsa kemudian menceritakan kegelisahan dan kesedihannya selama beberapa hari yang lalu. Setelah selesai mendengarkan, Rani dan Susan menunduk.
            “Helsa, kami tidak benci padamu. Kami hanya sedang sibuk menyiapkan ini,” ucap Susan sambil menyerahkan sebuah kotak yang dilapisi dengan kertas bergambar hati dan pita-pita di sekelilingnya.
            “Apa ini?”
            “Hadiah ulang tahun,” ucap keduanya berbarengan.
            Helsa kemudian membuka kotak itu dan menangis. Di dalam kotak terdapat berbagai macam permen, kertas catatan berbentuk bintang, jepit rambut yang lucu, buku album kenangan, serta dua surat dari sahabatnya.
            “Helsa, kenapa kamu menangis?” tanya Rani panik. “Susan, apa yang harus kita lakukan?”
            Susan juga kebingungan. “Kotak ini namanya kotak ceria. Harusnya kamu tertawa bukannya menangis.”
            “Ini bukan tangis sedih,” ucap Helsa.“Ini tangis bahagia. Terima kasih atas kado yang indah,” senyum Helsa.
            Rani dan Susan tersipu malu. Ketiganya saling berpelukan dan tertawa bersama. Rani dan Susan senang karena hadiah mereka sukses membuat Helsa ceria. Sementara, Helsa tersenyum lebar karena memliki dua sahabat yang paling hebat. Hari itu menjadi hari yang tidak terlupakan bagi ketiganya.



Rabu, 08 Maret 2017

Ogie

Dimuat di Majalah Bobo Edisi 41, 14 Januari 2016


Ogie
Oleh Dian Sukma Kuswardhani

            Pak Mitmut kesal sekali. Ia harus memperbaiki tempat tinggalnya yang rusak. Menurut Pak Mitmut, semua itu karena Ogie gajah yang tidak hati-hati.
            Ogie menggoyang-goyangkan belalainya. Ia sudah minta maaf, tapi Pak Mitmut masih saja cemberut.
            “Aku tidak sengaja menginjak rumahmu, Pak Mitmut. Aku tidak melihatnya,” ucap Ogie menyesal.
            “Tadi kan aku sudah berteriak memperingatkanmu, Ogie. Lihat, sekarang aku kehilangan waktu untuk mencari makanan bagi anak-anakku,” bentak semut hitam itu.
            “Ya, aku mendengarmu. Tapi aku tidak tahu kau dimana,” kata Ogie membela diri.
            “Tentu saja. Telinga lebarmu itu pasti mendengar suaraku. Sayangnya matamu terlalu kecil untuk menemukanku,” sindir Pak Mitmut.

Ogie terdiam. Ia merasa serba salah. Sudah lama hubungan Ogie dan Pak Mitmut kurang harmonis. Setiap kali Ogie lewat di dekat rumah Pak Mitmut, Pak Mitmut selalu menggerutu. Ia bilang Ogie membuat rumahnya seperti terkena gempa bumi. Suaranya juga berisik. Pak Mitmut khawatir kalau-kalau Ogie merusak rumahnya. Dan ternyata itu terjadi hari ini.
“Sudahlah Ogie. Jauh-jauh dari kami,” usir Pak Mitmut.
Ogie pergi dengan sedih. Rumah Pak Mitmut berada di bawah pohon manggis dan rambutan. Ogie sangat suka buah-buahan itu. Makanya Ogie sering ke sana untuk memetik buah. Ia juga senang bermain di bawah pohonnya yang teduh. Sekarang, ia harus mencari tempat bermain baru.
“Ogie, tangkap ini!” seru Olie sambil melemparkan sesisir pisang.
Ogie tak siap. Pisang itu mengenai kepalanya.
“Ups, maaf. Sakit?” tanya Olie. Ogie hanya menggeleng lesu.
“Hei, aneh sekali kamu hari ini. Ada apa? Biasanya Ogie selalu ceria?”
“Aku sedang sedih, Olie. Pak Mitmut marah padaku karena aku merusak rumahnya. Padahal aku tidak sengaja,” keluh Ogie.
Olie tersenyum. Masalah seperti ini sudah biasa terjadi. Untuk menghibur Ogie, ia mengajak gajah kecil itu bermain sembur air di sungai. Itu salah satu permainan favorit mereka.
Ogie pun kembali riang dan melupakan kesedihannya. Ia menghirup air banyak-banyak dengan belalainya. Lalu ia semburkan air itu ke udara seperti air mancur. Sementara Olie malah menyemburkan air ke arah Ogie.
“Ogie! Olie! Semburkan airnya ke sini!” Ada suara berteriak ke arah mereka. Siapa ya?
            “Di bawah sini! Dekat semak-semak!”
            Oh, rupanya itu Pak Kako si katak hijau. Ia sedang menunggui anak-anaknya yang berenang-renang di kubangan air.
            “Cuaca panas sekali. Air di kubangan ini cepat sekali menyusut. Isi pelan-pelan ya,” pinta Pak Kako.
            Ogie dan Olie bergantian mengisi ceruk itu hingga penuh. Anak-anak Pak Kako tampak girang.
            “Terimakasih,” ucap Pak Kako.
            “Sama-sama, Pak Kako!” jawab Ogie dan Olie bersamaan.
            “Seandainya saja Pak Mitmut juga menyukai aku seperti Pak Kako, aku pasti akan senang sekali,” pikir Ogie.
***
            Suatu hari, Ogie berjalan-jalan di sekitar pohon manggis dekat rumah Pak Mitmut. Sudah lama ia tidak ke sana. Tapi pagi itu ia melihat pohon manggis sedang berbuah lebat. Buahnya sudah mulai besar dan terlihat ranum. Ogie tak tahan untuk tak memetiknya.
            Ia berusaha berjalan sepelan dan sehati-hati mungkin. Sambil memperhatikan permukaan tanah yang hendak ia pijak. Ogie tidak mau kejadian yang lalu terulang lagi, merobohkan rumah Pak Mitmut.
            “Ayo, kita mulai lagi. Satu ... dua ... tigaaaa!” Ogie mendengar suara Pak Mitmut. Ia mencari-cari arah suara itu.
            “Mereka sedang apa ya?” pikir Ogie ketika menemukan Pak Mitmut dan sekawanan semut hitam lainnya. Ogie memperhatikan mereka.
            “Boleh kubantu, Pak Mitmut?” ucap Ogie pelan. Jangan sampai hembusan nafasnya malah menerbangkan semut-semut kecil itu.
            “Eh ... kau Ogie? Kapan kau datang? Ya, kami memang butuh bantuan. Kalau kau mau membantu,” ucap Pak Mitmut sedikit kikuk.
            Ogie tersenyum. Dengan mudah ia memindahkan sebutir buah manggis besar yang jatuh di atas rumah Pak Mitmut. Buah itu telah merusak rumah Pak Mitmut. Sekawanan semut hitam tampak lega. Dari tadi mereka mendorong buah manggis itu, tapi tak berhasil menggesernya sejengkal pun.
            “Terimakasih, Ogie,” ucap Pak Mitmut sedikit malu.
Mungkin ia ingat dulu pernah mengusir Ogie jauh-jauh. Sekarang Ogie malah menolongnya.
“Sama-sama, Pak. Aku senang bisa membantu,” balas Ogie.
“Baiklah. Kalau begitu aku pergi dulu,” lanjut Ogie. Ia urung memetik buah manggis karena merasa sungkan pada Pak Mitmut.
“Ogie!” panggil Pak Mitmut dengan suara sekencang mungkin. Ogie menoleh.
“Kau tidak suka manggis-manggisranum ini? Kenapa tidak kau petik?” tanya Pak Mitmut.
Ogie hampir meloncat kegirangan. Ia langsung kembali untuk menikmati buah manggis kesukaannya. Ogie juga mengupaskan beberapa manggis untuk Pak Mitmut dan kawanannya. Mereka menikmati buah manggis bersama.

Sejak hari itu, hubungan Pak Mitmut dan Ogie membaik. Ogie selalu berusaha berhati-hati ketika berjalan di sekitar rumah Pak Mitmut. Pak Mitmut pun tak pernah lagi membentak dan memarahi Ogie yang melintas di sekitarnya. Mereka hidup dengan rukun.