Rabu, 01 Februari 2017

Si Penjual Bunga Gunung



Si Penjual Bunga Gunung
Oleh Fransisca Emilia


“Bunganya, Mbak.” Tejo menyodorkan kardus berisi bunga warna-warni kepada seorang pengunjung. Perempuan itu hanya tersenyum dan menggeleng. Lalu masuk bunker bersama rombongannya.
Tejo mengusap peluh yang bercucuran. Bunganya belum ada yang laku. Ia lalu duduk di tepi jalan masuk bunker. Bunga-bunga kering dalam vas batang pakis ditatanya di atas pasir.
“Bunga apa ini, Dik?” Seorang lelaki muda berjongkok di depannya.
“Bunga gunung, Om. Hanya ada di Gunung Merapi lho! Tumbuhnya di tebing-tebing yang curam. Bunga ini juga tidak akan rontok atau layu selama bertahun-tahun. Cocok sekali untuk oleh-oleh.” Tejo menjelaskan penuh semangat.
Lelaki muda itu tertawa. “Kamu pintar sekali menawarkan. Berapa harganya?”
“Murah, Om! Hanya sepuluh ribu dengan vasnya.”
“Ayo!” seorang bapak menepuk pundak lelaki itu. Mereka lalu bergegas masuk bunker.
“Yah..., nggak jadi beli,” gumam Tejo kecewa.
Dulu bunker itu dibangun sebagai tempat perlindungan dari awan panas Merapi. Awan panas yang dikenal sebagai wedhus gembel itu bergerak sangat cepat dan mematikan. Dengan adanya bunker, warga tidak perlu mengungsi jauh-jauh. Namun, pada tahun 2006 dinding lava Merapi runtuh. Akibatnya, lava dengan suhu lebih dari seribu derajat celcius mengalir ke kampung Tejo. Dua orang relawan yang membantu penduduk tak sempat menghindar. Mereka terjebak dan meninggal dalam bunker. Sekarang bunker itu menjadi tempat wisata. 
Beberapa pengunjung melewati Tejo. Ada pula yang memotretnya. Namun, tak satupun yang membeli.
“Jo...cepat pulang! Dipanggil simbahmu!” Seorang anak laki-laki sebaya Tejo berlari terengah-engah.
Tejo bergegas pulang. Bunga dagangannya ditinggalkan begitu saja. Simbah sedang sakit. Ia takut terjadi sesuatu dengan simbah.
“Kenapa, Mbah?” tanya Tejo cemas. Sudah dua hari simbah tinggal di rumah karena tidak enak badan. Biasanya simbah berjualan jadah tempe dan minuman. Tejo membantunya sambil berjualan bunga. 
“Tolong ambilkan air. Simbah mau masak. Air di gentong habis.”
Tejo tersenyum lega. “Iya, Mbah.” Ia mengambil ember dan menimba di sumur. Lalu Tejo membantu simbah memasak.
“Laku banyak bunganya?” tanya simbah.
“Sepi, Mbah. Belum satu pun terjual.”
Simbah mengusap kepalanya. “Yang sabar, ya! Mudah-mudahan besok simbah sudah bisa berjualan lagi.”
Setelah makan siang, Tejo kembali ke bunker. Sudah sepi. Tidak ada pengunjung lagi. Tejo mengemasi bunga-bunganya ke dalam kardus. Ia hendak beranjak pergi ketika melihat sesuatu berkilau.
Tejo mendekati benda itu. Sebuah telepon genggam tergeletak di pasir. Ia menimang-nimang benda itu. Sudah lama ia ingin punya telepon genggam. Dengan begitu ia bisa menelepon simbok yang bekerja di Jakarta. Dan simbok tidak perlu menelepon Pakdhe Gimo kalo ingin bicara dengannya.
Tapi ini bukan milikku. Pasti ada pengunjung yang kehilangan, pikir Tejo. Ia memutuskan untuk mencari pemiliknya. Ia pun berjalan menuju warung-warung di dekat tempat parkir.
“Pakde, ada orang yang kehilangan hape tidak?” Tejo menunjukkan telepon genggam yang ditemukannya.
Nggak ada yang nyari, Jo,” jawab Pakdhe Gimo.
Jawaban serupa ia peroleh dari warung-warung lain. “Kamu simpan saja! Nanti kalau ada yang cari baru kamu kembalikan,” saran Paklik Marwah.
Tejo menuju tempat parkir. Serombongan pengunjung sedang menaiki bus hendak pergi. Tejo memanggil seorang pemuda yang masih ada di luar. “Mas, ada yang kehilangan hapetidak?”
“Sebentar, ya. Saya tanyakan yang lain.” Pemuda itu masuk ke bus dan tak lama keluar lagi. “Nggakada yang kehilangan, Dik. Mungkin milik pengunjung lain.”
Tejo melihat ke sekeliling tempat parkir. “Nggak ada orang lagi, Mas.”
“Emm..., coba saya lihat. Mungkin ada data pemiliknya.”
Tejo menyerahkan telepon genggam. Pemuda itu melihat-lihat isinya. Mereka berdua duduk di salah satu bangku.
“Ini dia! Ada nomor lain yang bisa dihubungi bila hape ini ditemukan.” Laki-laki itu menelepon sebuah nomor. Ia lalu mengembalikan telepon genggam pada Tejo. “Pemiliknya bernama Ferdi. Sebentar lagi ia ke sini. Saya pergi dulu ya. Bus sudah mau berangkat.”
“Terima kasih, Mas!”
Tak lama kemudian sebuah mobil masuk tempat parkir. Seorang laki-laki keluar dari mobil menemui Tejo. “Kamu yang berjualan bunga kering di depan bunker, kan? Terima kasih, ya. Hape ini sangat berharga buat saya. Seluruh catatan pekerjaan saya ada di sini.”
Ternyata Om Ferdi adalah lelaki yang tak jadi membeli bunga. Ia seorang wartawan. Ia mengeluarkan dua lembar ratusan ribu dari dompetnya. “Ini untukmu.”
Tejo tersenyum. Ia menolak dengan halus. ”Tidak perlu, Om. Saya hanya mengembalikan yang bukan milik saya.”
“Begini saja. Saya sedang meliput daerah ini dan memerlukan pemandu. Bagaimana kalau kamu menunjukkan tempat-tempat menarik di sini? Termasuk tempat kamu memetik bunga-bunga yang kamu jual. Uang ini sebagai bayarannya.”
Mata Tejo berbinar. “Baiklah! Saya tahu semua daerah sini.” Tejo sangat senang.
Hari ini dagangannya tidak laku. Tapi Tejo memperoleh uang dari pekerjaan lain. Tidak lupa Tejo bersyukur pada Tuhan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar