Senin, 27 Februari 2017

Ujian Akhir Fija


Dimuat di Kompas Anak


UJIAN AKHIR FIJA
*FiFadila*

Fija gemetaran memasuki area ujian praktek di pinggir sungai. Tubuhnya berkeringat dingin. Matanya serasa berbintang-bintang memusingkan. Ujian kali ini adalah praktek bekerja menggunakan belalai. Jantung Fija tak henti-hentinya berdebam tak tenang. Bisakah dia ujian tanpa salah?
Fija mengingat-ingat semua teori yang sudah dia pelajari. Dia sudah membaca tuntas buku tips 1001 lulus ujian akhir. Kepalanya terayun-ayun saat hafalan.Mata sipitnya sesekali ia pejamkan.
“Belalai gajah memiliki 50.000 otot. Fungsinya untuk menyedot air, mengangkat kayu berat, menjumput makanan. Cara menyedot air yang benar adalah…”
Fija begitu khawatir tidak lulus ujian akhir sekolah gajah. Jika tidak lulus, dia akan tinggal kelas. Keluarganya pun pasti kecewa.
Kreeek! Kreek! Kreek!
“Fija, stop!Lihat jalanmu!”teriak teman-teman Fija dari kejauhan.
Fija terkejut. Gara-gara menghafal, ia tidak konsentrasi. Alhasil, iajalan terlalu jauh sampai menyeberangi sungai. Celakanya, dia menginjak-injak bendungan keluarga berang-berang. Bendungan itu rusak parah karena injakan kakinya yang besar. Ranting dan pohon bendungan terbawa arus sungai yang deras. Keluarga berang-berang segera menyelamatkan diri ke tepi sungai.
Fija tercengang dengan tindakan yang dia lakukan. Dia cepat-cepat minta maaf pada Pak Beri berang-berang yang muncul dari air diikuti 10 anggota keluarganya.
Pak Beri menggeleng. Dia menunjuk jauh ke ujung sungai. “Aku lebih kuatir pada keluarga binatang yang tinggal di daerah muara. Rumah mereka pasti kebanjiran karena air sungai tiba-tiba meluap.”
“Astaga, aku harus memberitahu para binatang di daerah hilir.” Fija meniup belalainya keras-keras. Dia mengeluarkan bunyi terompet peringatan. Beberapa binatang terdekat cepat-cepat menyingkir dari tepi sungai.
Fija membayangkan keluarga binatang di daerah hilir kuyup karena banjir yang tiba-tiba. Dia tidak bisadiam saja. Bendungan baru harus segera dibangun.
Fija merobohkan dua batang pohon berukuran sedang. Dia memasang pohon melintang di tengah sungai. Dia juga memungut ranting-ranting pohon untuk menambal air yang masih deras. Fija sesekali menyedot air sungai dan menyemburkan ke dalam hutan. Dia berharap bisa mengurangi air yang membanjiri daerah hilir.
Keluarga berang-berang berenangmemasang ranting yang tidak bisa dicapai belalai gajah. Mereka terus bekerjasama membangun bendungan.Tak lama, aliran air sungai mengalir tenang seperti sedia kala.
Pak Beri menyalami belalai Fija sebagai ucapan terima kasih. Keluarga berang-berang sudah mendapat bendungan baru untuk mereka tinggali. Binatang di daerah hilir pasti juga sudah lega sungai tidak meluap lagi. Telinga lebar Fija melambai-lambai karena bangga. 
“Astaga, ujianku!” Fija menepok belalainya ke kepalanya yang botak.
Dia menoleh ke seberang sungai. Pak Harja, guru ujian praktek melotot padanya. Begitu juga sembilan teman-teman yang mengikuti ujian akhir. Mereka melongo melihat tragedi bendungan rusak tadi.
Fija segera menyeberang sungai dengan hati-hati. Dia mengingatkan dirinya untuk konsentrasi melihat jalan. Jika menginjak bendungan lagi, bisa-bisa dia tak jadi ujian.
“Kita pindah agak ke tengah hutan saja. Kasihan keluarga berang-berang terganggu ujian kita,” terompet Pak Harja saat Fija tiba di area ujian kembali.
Pak Harja memasuki hutan diikuti kesembilan temannya. Fija berusaha fokus mengikuti arah jalan mereka. Tidak lagi melamunkan isi buku-buku yang sudah dia pelajari sebelumnya.
Setelah menemukan tempat luas, ujian dimulai. Pak Harja memanggil semua murid satu persatu untuk ujian. Fija menunggu gilirannya dengan cemas.
Anehnya, Pak Harja tak jua memanggilnya. Bahkan sampai buku daftar presensi ditutup, namanya tidak disebut. Jangan-jangan dia melamun lagi waktu ujian tadi. Atau dia tidak diperbolehkan ujian karena kesalahan tadi pagi?
“Ehm, anu, Pak Harja. Saya belum dipanggil ujian?” Fija mendekati Pak Harja yang sudah mengemas barang-barangnya dan siap pergi.
Pak Harja memandang Fija dengan tertawa. “Kamu kan sudah ujian paling awal tadi. Mengangkat kayu, menjumput ranting, menyedot air sungaidengan memuaskan. Bendungan buatanmu tadi sangat sempurna, Fija. Kamu lulus ujian akhir sekolah gajah.”
Fija melongo. Dipandanginya Pak Harja yang beranjak meninggalkan lapangan dengan tak percaya. Kesembilan temannya menerompet gembira dengan kelulusan Fija yang luar biasa. (*)





Selasa, 21 Februari 2017

Hujan Bunga Helikopter

                                     
Dimuat di Majalah Bobo
                              Hujan Bunga Helikopter
                                                     Oleh Dwi Rahmawati*
           
            Murid Sekolah Dasar Batuah terlihat antusias mendapati sebuah bis pariwisata parkir di halaman sekolah. Hari itu anak-anak kelas 5 akan berkunjungan ke Kebun Raya Samarinda. Seorang murid bertubuh besar terlihat sibuk keluar masuk bis sambil membawa buku absensi.
            “Tuh, lihat temanmu!  Sok sibuk banget,” Ical mengamit lengan Aji sambil menunjuk ke arah Nowo.
            Aji yang sibuk mengecek isi ransel menebarkan pandangan mengikuti jari Ical. Kemudian tersenyum, “Jangan begitu, dia kan, temanmu juga. Hehehe...”
            Ical yang kesal mencoba menepuk pundak Aji, namun dengan cekatan bocah bertubuh kurus itu menangkisnya. Bel sekolah berbunyi, seluruh murid masuk kelas kecuali anak-anak kelas 5 yang langsung berbaris di halaman.
            Kemudian Ibu Wien, guru mata pelajaran IPA, berdiri di hadapan 30 anak kelas 5. Beliau yang merancang kegiatan ini, sejak sebulan lalu.
“Ibu ingin kalian menikmati perjalanan ini, dan mencatat hal penting yang kalian dengar,  lihat, dan rasakan. Di sana nanti ibu akan menjelaskan cara tumbuhan hijau membuat makanan.”
 “Ayo, anak-anak, saatnya kita mulai perjalanan ini,” Ibu Wien memberi aba-aba. Nowo memanggil nama teman-temannya, satu per satu mereka masuk ke bis.
Bis melaju menyusuri jalan lengang menuju Kebun Raya Samarinda yang berjarak sekitar satu kilometer. Di kiri kanan jalan masih terlihat rumah-rumah penduduk yang rapat dan terbuat dari kayu. Terlihan tanah lapang yang ditumbuhi semak, tidak dimanfaatkan untuk bertani.
Tak lama kemudian mereka sudah sampai. Nowo membantu Ibu Wien menyiapkan teman-temannya. Seorang petugas kebun raya terlihat gagah dengan seragamnya ikut mendampingi perjalanan mereka. Lelaki paruh baya itu disapa Pak Seno.
Rombongan mulai menyusuri jalan berbukit, sesekali mereka berhenti untuk mendengar penjelasan Bu Wien. Aji menyalinnya menjadi mind mapping dalam buku sakunya. Ical memicingkan mata mencoba mengintip, ia mendapati tulisan fotosintesis, matahari, klorifil, air, dan karbondioksida yang dihubungkan dengan anak panah.
Ibu Wien melanjutkan perjalanan ke lokasi lain. Murid-murid menikmati pemandangan hutan, hal langka yang tak lagi ditemukan di kota. Hijaunya pepohonan berpadu dengan langit biru bersih tanpa awan terlihat begitu indah di siang yang mulai terik. Semilir angin menyejukkan seakan menyeka keringat dan menghapus rasa lelah.
Giliran Pak Seno memimpin rombongan, mereka berjalan menuruni bukit. Di sini pohon-pohong yang tumbuh berukuran besar dan tinggi menjulang seakan hendak menggenggam langit.
“Anak-anak, ini adalah miniatur hutan hujan tropis yang masih tersisa. Hirup udara ini dalam-dalam, tahan sebentar kemudian hembuskan. Lakukan sekali lagi!”
Semua mempraktikkan intruksi Pak Seno. Oksigen segar, terasa sejuk seperti berada di ruangan berpendingan.
“Sekarang perhatikan pohon itu!” Pak Seno menujuk sebuah pohon, di bagian bawah ada papan bertuliskan ‘Meranti Shorea macrophylla’.
Tiba-tiba sesuatu jatuh dari tajuk pohon, terbang berputar-putar sampai ke tanah. Makin lama makin banyak.
“Hujan... lihatlah! Sepeti hujan saja. Tapi bukan air yang jatuh,” Nina menunjuk biji-biji yang berterbangan ke tanah.
“Ya, inilah hujan bunga helikopter. Kalian beruntung bisa menyaksikannya,” Pak Seno bersemangat memungut sekuntum bunga yang jatuh.
Semua murid berlari memunguti bunga helikopter. Nowo, Ical, dan Aji berlari ke arah yang sama. Karena kurang cepat, Ical tidak kebagian bunga yang jatuh. Nowo menyerahkan bunga yang didapatnya kepada Ical. Nowo baik sekali, ternyata aku salah menilainya sesal Ical dalam hati.
 “Tidak seperti helikopter, Pak,” Ical mengacungkan bunga meranti.
“Memang tidak mirip. Cara sayap-sayap melindungi biji hingga tetap utuh saat mendarat seperti baling-baling helikopterlah yang membuatnya dijuluki bunga helikopter,” jelas Pak Seno.
“Satu-satunya bunga yang bisa terbang dan mendarat. Lihat, bijinya bersayap! Dua... tiga... empat... lima,” Aji mulai menghitung.
“Bunganya lebih mirip shuttlecock mini,Sela Nowo sambit tersenyum diikuti anggukan Pak Seno.
“Pohon meranti banyak tumbuh di dalam hutan Kalimantan, penduduk memanfaatkan kayunya untuk membangun rumah. Termasuk rumah saya, juga terbuat dari kayu meranti,” Pak Seno tersenyum.
Setelah beristirahat menikmati bekal di bawah naungan payung raksasa pohon meranti setinggi 60 meter, rombongan kembali ke bis dan pulan ke sekolah. Semua murid tampak senang dengan perjalanan mereka.
Demikian pula dengan Ical, ia terlihat akrab berbagi cerita dengan Nowo. Aji tersenyum melihat keduanya. Ia berencana akan melanjutkan petualangan di hutan bersama sahabatnya, Ical dan Nowo. []



Jumat, 17 Februari 2017

Ternyata Leana Tidak Begitu

Dimuat di Majalah Girls


Ternyata Leana Tidak Begitu
Oleh Diy Ara
“Leana itu egois! Masa tugas kelompok, soal yang susah-susah aku yang disuruh ngerjain!” cerita Jiha dengan wajah cemberut kepadaku dan Fanya. Ketika itu kami sedang makan di kantin sekolah.
“Harusnya kamu protes dong, Jiha!” seru Fanya.
“Nggak berani, dia kan anak kepala sekolah SMP ini dan ketua kelas. Emangnya kamu berani, Nya? Kamu aja kemarin ngeluh, saat K3 disuruh Leana bersihin sarang laba-laba.” Jiha lalumengigit gorengan.
“Iyalah, itu melelahkan, aku harus jinjit-jinjit!” Fanya mendengus kesal. Lalu dia menatapku dengan tatapan menyelidik. “Kok kamu diam doang, Ca? Kamu kan temen sebangkunya Leana, apa kamu nggak ngerasa kalo Leana itu egois?”
Aku tersenyum cangung. Rasanya ingin menceritakan perasaanku tentang sikap Leana. Tetapi, aku mengurungkannya. Karena aku sudah menganganggap Leana teman baikku.
Namun saat di kelas, bukan hanya Fanya dan Jiha yang mengatakan Leana egois. Teman-teman juga menceritakan kekesalannya kepada Leana. Teman-teman bilang, Leana itu mau menang sendiri, dan tidak bertanggung jawab saat peralatan kelas hilang. Ah, telingaku jadi panas mendengarnya. Aku harus bertindak!
Lalu pulang sekolah, aku memutuskan, menceritakan semuanya kepada Leana.
“Aku itu nggak egois, Ca!” seru Leana kesal.
“Aku cuma ingin nyampein anggapan temen-temen kamu, Le! Biar kamu tahu omongan mereka di belakangmu.”
“Yang mana, yang bikin aku dicap egois? Aku nyuruh Jiha ngerjain soal yang susah karena dia kan memang pinter matematika. Terus aku nyuruh Fanya bersihin sarang laba-laba karena dia anak yang paling tinggi.” Suara Leana meninggi. Tatapannya tajam memperlihatkan kemarahannya.
Ucapan Leana itu malah bikin aku emosi. “Kamu itu harusnya berterima kasih sama aku, Le. Aku udah beberin semua kesalahanmu, biar kamu sadar. Eh kamu malah marah-marah!”
“Ya iyalah aku marah. Orang aku nggak salah!”
“Nggak salah? Kamu itu emang egois, Le! Kamu pernah minjem buku catatanku, terus nggak dibawa ke sekolah, jadi aku dimarahin ibu guru. Buku komikku juga belum dikembaliin sampai sekarang!”
“Kan aku udah bilang, ambil komiknya di rumahku!”
“Rumahmu itu jauh, Le. Masa aku harus jalan kaki ke sana? Padahal, kamu pulang-pergi naik mobil. Itu bukti kamu egois!”
Leana terdiam sebentar. “Selama ini aku udah menganggap kamu sahabat, Ca. Tetapi kamu malah nggak ngerti perasaanku.” Dia meraih tasnya dan meninggalkan kelas dengan langkah dihentakkan.
Malam harinya, aku sulit tidur. Lalu aku menceritakan masalah ini kepada Fanya lewat pesan facebook.
Fanya Cirara: Wah aku bangga sama kamu, Ca. Akhirnya ada anak yang berani ngasih kritik sama Leana.
Caca Mentari: Tapi aku ngerasa aku yang salah, Nya. Leana bilang, aku nggak ngerti perasaannya.
Fanya Cirara: Dia yang nggak ngerti perasaan kita, temen-temen kelasnya. Kamu bener kok. Kamu nggak salah, Ca. Yang kamu lakuin bener, jadi nggak usah takut.
Ya, aku juga ngerasa aku nggak salah. Niatku kan baik.
Esok harinya, aku tidak duduk di samping Leana. Aku pindah duduk dengan Fanya, karena Jiha teman sebangkunya tidak masuk. Teman-teman ternyata banyak yang mendukungku. Sampai-sampai mereka perang dingin dengan Leana. Leana tampaknya tidak peduli.
Sebenarnya, aku tidak suka keadaan seperti ini. Hari ini, suasana kelas menjadi tidak nyaman. Bahkan teman-teman tidak mau piket kebersihan sebagai bentuk protes. Kelas pun menjadi kotor. Menyebalkannya lagi, ketika pulang sekolah, aku lupa meninggalkan tempat pensilku di laci. Aku terpaksa kembali lagi ke kelas.
Aku melihat Leana masih di dalam kelas. Kuamati apa yang dia lakukan lewat jendela. Dia sedang berjalan jongkok, meneliti bawah meja-meja dan kursi-kursi. Seperti sedang mencari sesuatu.
            “Spindol kelas hilang lagi! Padahal baru kemarin aku beli dengan uang sakuku. Besok aku harus membelinya lagi.” katanya dengan wajah murung.
            Astaga! Tenyata aku dan teman-teman kelas salah sangka. Leana sangat bertanggung jawab terhadap keadaan kelas. Aku sungguh merasa bersalah. Apa lagi melihat Leana menangis sambil menyapu kelas.
            Aku bergegas mengambil sapu dan ikut menyapu kelas. “Maafkan aku, karena aku telah berburuk sangka. Kamu bukan orang yang egois kok Leana.”
            “Caca, tapi teman-teman menganggap aku egois dan mereka cuekin aku.”
            “Aku juga awalnya seperti itu, Le. Salah sangka sama kamu. Makanya, kamu harus menjelaskanmaksud kamu,kenapa menyuruh mereka melakukan itu.Dan buktikan pada mereka, kamu bertanggung jawab dan tidak egois.”
            “Terima kasih, Ca. Kamu memang sahabat baikku.”
            Kami berjabatan tangan sambil tersenyum.
            “Oh, iya. Ayo ke rumahku. Sebenernya aku nggak bermaksud untuk nggak mengembalikan komikmu. Aku hanya ingin kamu main ke rumahku. Kita bisa baca banyak komik milik kakakku. Kali ini kamu harus mau naik mobilku.”
            Selama ini, Leana memang sering mengajakku menumpang mobilnya. Tetapi, aku selalu menolak. Aku malu karena di mobil itu juga ada kepala sekolah.

            Esoknya, Leana minta maaf dan menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi. Dia berjanji akan menjadi ketua kelas yang lebih baik lagi. Teman-teman juga minta maaf kepada Leana. Kelas pun menjadi damai kembali. (*)

Senin, 13 Februari 2017

Dongeng si Kancil Jadi Raja Hutan | Dongeng Anak Terbaru



Dongeng si Kancil Jadi Raja Hutan – Pada suatu
hari, waktu si kancil sedang asik minum di sebuah sungai.. si kancil mendengar
suara teriakan ketakutan. Si kancil lalu mencari dari mana arah suara itu. Dan betapa
terkejutnya dia, setelah dia melihat ada seekor singa yang sangat besar tengah
bersiap memangsa seekor tikus yang sangat lemah tak berdaya. Meski si kancil di
liputi perasaan takut yang

Minggu, 12 Februari 2017

Pertanyaan Istimewa Safira


Dimuat di Majalah Soca


PERTANYAAN ISTIMEWA SAFIRA
Oleh : Eugenia Rakhma

Hari ini jadwal pergi ke toko roti tiba, Safira si Roti Biasa tampak gelisah.
“Apakah aku istimewa?” begitu pertanyaan Safira si Roti Biasa selalu pada dirinya. Matanya melirik takut-takut kepada para roti yang sedang saling menyombongkan diri .
“Harumku paling menggoda. Manusia tak akan tahan untuk tidak membeliku,” kata Koko si Roti Kopi dengan dagu terangkat.
Keija si Roti Keju maju, berusaha ikut dalam pembicaraan, “Ya, meski begitu, bentukku yang paling cantik,” katanya sambil memutar tubuhnya yang berbentuk segitiga dengan renda-renda pada bagian bawah tubuhnya, “Manusia sangat mudah tertarik padaku. Selain itu, kandungan keju dalam tubuhku menyehatkan tulang dan gigi,” tambahnya lagi.
“Kupikir, aku lebih menarik darimu,” seru Chika si Roti Kacang menimpali Keija si Roti Keju, “Lihatlah dua lubang dalam tubuhku. Anak-anak senang sekali berpura-pura menjadikanku kacamata,” ucapnya bangga tentang bentuknya yang seperti angka delapan.
Bebi si Roti Blueberry terkikik geli, “Kurasa, yang penting adalah rasa. Manusia sangat menyukai isi tubuhku yang manis menyegarkan!”
Tanpa sadar, Safira si Roti Biasa menghela nafas panjang mendengar pembicaraan mereka yang semakin seru. Ia memandang tubuhnya yang bulat kecoklatan. Tidak ada renda manis di bagian bawah tubuhnya, tidak ada lubang, bahkan harumnya pun biasa karena ia tidak berisi apa-apa. Sering Safira berpikir untuk apa ia diciptakan? Tidak ada yang istimewa dalam dirinya. Ia tidak sempurna. Ia bahkan tidak memiliki teman baik. Ah, jangankan teman baik, ia bahkan tidak dapat ikut berbicara bersama roti-roti lain.
Suara decit ban mobil menghentikan lamunan Safira.
“Waktunya pergi ke toko rotiiii!!” teriak para roti dengan gembira, sementara Safira menyembunyikan dirinya di balik oven pemanggang, berharap tidak ditemukan.
“Hei, roti biasa, ayo ikut! Kau tidak ingin tinggal disini dan dimakan tikus kan?” kata Keija si Roti Keju saat melewatinya.
“Haha, berharap saja kau tidak dimakan tikus di toko roti karena tidak ada yang membelimu,” tambah Bebi si Roti Blueberry sambil tertawa geli.
Koko si Roti Kopi yang mendengar hal tersebut, ikut tertawa terbahak-bahak, “Hahaha, itu akan lucu sekali! Gratis dimakan tikus!”
Mata Safira berkaca-kaca. Saat itu juga, ia membenci perbedaan yang ada. Perbedaan yang terasa menjauhkan.
Sepanjang perjalanan ke toko roti, Safira berdiam diri. Hari itu, mobil roti penuh oleh berbagai jenis roti dari beberapa pabrik. Mereka semua berebut saling bicara dan membanggakan diri.
Tiba-tiba, Safira mencium wangi gandum yang menguar di udara bersamaan dengan sebentuk wajah lembut yang menyapanya ceria, “Hai! Mengapa kau terlihat lesu? Bolehkah aku duduk di sampingmu?”
Safira mengangguk.
“Namaku Sari si Roti Istimewa,”lanjutnya dengan senyum ceria yang tak pernah lepas dari wajahnya.
“Aku Safira si Roti Biasa,”
Sari menaikkan satu alisnya memperhatikan Safira, “Lalu, mengapa kau terlihat bersedih? Tidakkah kau gembira akhirnya bisa pergi ke toko roti?”
Lalu, dengan penuh semangat, Sari menceritakan keindahan toko roti. Rak tinggi yang penuh dengan berbagai roti. Kemasan warna-warni. Denting pintu saat para pembeli datang. Dan tentu saja, berbagai jenis manusia.
“Tua muda, besar kecil. Mereka selalu tersenyum saat membeli roti. Kau tahu kenapa? Karena mereka ingin memberikan roti kepada orang-orang yang mereka sayangi. Oh ya, roti istimewa selalu menjadi favorit. Manusia bisa menambahkan toping kesukaan mereka. Kau sebut saja : coklat, keju, strawberry, blueberry, kacang. Dan, kebahagiaan mereka pun menjadi berlipat ganda,” cerita Sari tanpa jeda, tangannya ikut bergerak-gerak membantu menjelaskan dengan semangat.
Safira mendesah, “Betapa beruntungnya dirimu menjadi roti istimewa. Aku hanyalah roti biasa. Apakah ada yang akan membeliku?”
“Apa katamu?” teriak Sari tidak percaya, “Tidakkah kau lihat betapa miripnya kita??”
Untuk pertama kalinya, Safira memperhatikan tubuh Sari yang berbentuk bulat seperti dirinya. Tanpa renda, tanpa lubang, bahkan warna mereka yang kecoklatan pun sama!
“Kau bukan roti biasa. Percayalah!” kata Sari lagi saat akhirnya mobil mereka berhenti di depan toko roti.
Di toko roti, Safira disimpan di rak paling depan bersama banyak roti isi yang lain. Satu per satu pengunjung datang dan mengambil roti di kiri-kanan Safira.
 “Ma, aku mau roti ini ya biar aku bisa isi rasa yang berbeda setiap hari!” seru seorang anak sambil mengangkat tubuh Safira dan memandangnya dengan penuh keinginan.
Safira tersenyum hangat dalam genggaman tangan anak tersebut. Ia tidak lagi membenci perbedaan, ia hanya harus bisa mencari keistimewaannya.
Sebelum meninggalkan toko roti, Safira menoleh dan melihat Sari mengedipkan matanya. Teman baik pertamanya itu masih sempat berbisik, “Ingatlah selalu, kau adalah Safira si Roti Istimewa.”



Kamis, 09 Februari 2017

Dongeng Cinderella dan Sepatu Kaca, Putri Cantik Yang Berhati Mulia



Dongeng cinderella

Dahulu kala, tinggallah seorang gadis cantik bersama 2 orang kakak dan Ibu tirinya. Sejak ayah kandungnya meninggal, ia diperlakukan seperti seorang pembantu. Dipaksa untuk menuruti segala permintaan ibu dan kedua kakak tirinya. Meskipun begitu, Cinderella tetaplah seorang gadis yang baik hati, ia tetap menyayangi kedua kakak dan ibu tirinya.

Suatu hari istana akan

Selasa, 07 Februari 2017

Sepatu di Bawah Semak

Dimuat di Majalah Bobo


SEPATU DI BAWAH SEMAK MAWAR
*FiFadila*


“Huh, ngapain Fredi ngadain pesta ulang tahun?! Jangan-jangan dia mau berbuat iseng di pestanya nanti!” Nania mendengus kesal. Ia membayangkan pesta Fredi pasti menyebalkan.
Fredi itu kurcaci nakal yang tak pernah berhenti mengganggunya. Mengejek sepatunya yang rusak, menarik kepang rambut, menyembunyikan perlengkapan kebun. Haduh! Jari Nania tak cukup menghitung keusilan Fredi padanya.
Nania memutuskan berkebun saja. Tiba-tiba, matanya tertuju pada sepasang benda coklat di bawah semak mawar. Sepasang sepatu utuh! Memang warnanya putih biasa tapi kondisinya bagus. Jauh berbeda dengan sepatu yang dia kenakan, sudah berlubang di ujung jarinya. Dan dia belum punya uang untuk membeli sepatu baru.
Nania menoleh kanan kiri mencari seseorang yang membuang sepatu di bawah semak mawarnya. Tapi tak ada seseorang pun di dekat rumahnya.
Nania mencoba sepatu itu. Awalnya kebesaran. Namun ujung sepatu itu seperti mengecil sendiri. Pas dengan dengan ujung-ujung jari kakinya. Yang lebih aneh, sepatu itu tidak lagi berwarna putih polos. Tapi berubah cling-cling mengilap, dengan warna ungu dan emas berbaur. Ujung sepatunya runcing dengan hiasan bintang.Lentur dan ringan pula dipakai.
Nania merasa cantik seperti seorang putri kurcaci. Teman-teman pasti iri melihat sepatu barunya. Nania memutuskan pergi ke rumah sahabatnya, Minie. Tapi, lho, lho… langkah kakinya mengarah ke jalan lain. tidak berbelok ke rumah Minie. Nania bingung. sepertinya sepatu yang dia pakai punya pikiran sendiri. Nania merinding. Mau kemana sepatu itu membawanya?
            “Oh, tidak! itu kan rumah Fredi?” Nania terkejut saat kakinya berhenti di depan rumah yang dia kenal.
            Nania berusaha berbalik pergi tapi tak bisa. Sepatu itu memaksa kakinya melangkah masuk halaman rumah Fredi.
            “Nania, akhirnya kamu datang!” Fredi yang muram terlihat senang melihat Nania. “Makasih sudah datang di acara ulangtahunku. Teman-teman lain tak ada yang mau datang. Sepertinya mereka benci aku karena sering usil.”
            Nania kasihan melihat kesedihan Fredi.
“Padahal aku bikin pesta ini mau minta maaf pada teman-teman.” Fredi menunjuk hidangan-hidangan lezat di meja yang sudah tersedia di halaman. Sayang sekali jika hidangan-hidangan itu jadi mubazir.
Aha! Nania punya ide. “Bagaimana kalau kita hantarkan makanan ini ke rumah teman-teman. Aku akan membantumu.” 
            Fredi tersenyum. “Idemu keren. Ayo kita bungkus dan antarkan bersama-sama. Sekalian aku akan minta maaf pada mereka satu persatu.
            Sore itu langkah Nania sangat ringan. Dia menemani Fredi yang mendorong kereta barang berisi tumpukan kotak makanan. Nania membantu membagikannya. Hatinya merasa bahagia bisa membantu teman kesusahan. Apalagi Fredi minta maaf padanya dan tobat nakal pada mereka semua.
            Syukurlah dia datang ke pesta Fredi hari itu, pikirnya. Pulang sore itu Nania dapat banyak kue dan makanan. Sampai di rumah dia melihat seorang kurcaci tua mencari-cari sesuatu di semak belukar halaman rumahnya.
“Oh, jadi kamu menemukan sepatuku. Syukurlah. Kupikir hilang.” Kurcaci itu menunjuk kaki Nania.
“Ini sepatu Anda?”
            “Iya, aku kurcaci pembuat sepatu.”
            Nania duduk di kursi halaman dan melepas sepatu unik itu. “Maaf. Aku menemukannya di depan rumahku. Dan aku tak tahu bagaimana bisa sampai di sini.”
            “Kurasa sepatu ini bosan tinggal di tokoku terus.”
            “Sepatu ini sangat cantik dan berguna sekali untukku. Dia membantuku menolong teman yang lagi sedih.” Dengan semangat Nania menceritakan kisah hari itu di pesta Fredi. Tak lupa dia menyikat sepatu cantik itu sampai bersih sebelum mengembalikannya pada kurcaci pembuat sepatu. “Jika sudah punya uang aku akan datang ke toko anda dan membelinya.”
            Kurcaci pembuat sepatu tidak segera mengambil sepatu dari tangan Nania. Dia memperhatikan sepasang sepatu buatannya dan menatap Nania bergantian.
            “Kau tahu, kurasa sepatu ini memilihmu sebagai pemiliknya. Sepertinya kau punya hati hati baik dan ringan kaki menolong teman. Waktu melihatmu memakai sepatu ini, kulihat sangat pas dan cocok untukmu. Jadi kuberikan sepatu ini padamu.”
Nania tak percaya mendengar kurcaci pembuat sepatu memberinya sepatu cantik. Ia melompat senang dan memeluk kurcaci itu penuh terima kasih. Hari itu benar-benar indah. Dia mendapatkan sepatu cantik yang mengingatkannya agar selalu ringan hati menolong sesama. (*)        




Rabu, 01 Februari 2017

Si Penjual Bunga Gunung



Si Penjual Bunga Gunung
Oleh Fransisca Emilia


“Bunganya, Mbak.” Tejo menyodorkan kardus berisi bunga warna-warni kepada seorang pengunjung. Perempuan itu hanya tersenyum dan menggeleng. Lalu masuk bunker bersama rombongannya.
Tejo mengusap peluh yang bercucuran. Bunganya belum ada yang laku. Ia lalu duduk di tepi jalan masuk bunker. Bunga-bunga kering dalam vas batang pakis ditatanya di atas pasir.
“Bunga apa ini, Dik?” Seorang lelaki muda berjongkok di depannya.
“Bunga gunung, Om. Hanya ada di Gunung Merapi lho! Tumbuhnya di tebing-tebing yang curam. Bunga ini juga tidak akan rontok atau layu selama bertahun-tahun. Cocok sekali untuk oleh-oleh.” Tejo menjelaskan penuh semangat.
Lelaki muda itu tertawa. “Kamu pintar sekali menawarkan. Berapa harganya?”
“Murah, Om! Hanya sepuluh ribu dengan vasnya.”
“Ayo!” seorang bapak menepuk pundak lelaki itu. Mereka lalu bergegas masuk bunker.
“Yah..., nggak jadi beli,” gumam Tejo kecewa.
Dulu bunker itu dibangun sebagai tempat perlindungan dari awan panas Merapi. Awan panas yang dikenal sebagai wedhus gembel itu bergerak sangat cepat dan mematikan. Dengan adanya bunker, warga tidak perlu mengungsi jauh-jauh. Namun, pada tahun 2006 dinding lava Merapi runtuh. Akibatnya, lava dengan suhu lebih dari seribu derajat celcius mengalir ke kampung Tejo. Dua orang relawan yang membantu penduduk tak sempat menghindar. Mereka terjebak dan meninggal dalam bunker. Sekarang bunker itu menjadi tempat wisata. 
Beberapa pengunjung melewati Tejo. Ada pula yang memotretnya. Namun, tak satupun yang membeli.
“Jo...cepat pulang! Dipanggil simbahmu!” Seorang anak laki-laki sebaya Tejo berlari terengah-engah.
Tejo bergegas pulang. Bunga dagangannya ditinggalkan begitu saja. Simbah sedang sakit. Ia takut terjadi sesuatu dengan simbah.
“Kenapa, Mbah?” tanya Tejo cemas. Sudah dua hari simbah tinggal di rumah karena tidak enak badan. Biasanya simbah berjualan jadah tempe dan minuman. Tejo membantunya sambil berjualan bunga. 
“Tolong ambilkan air. Simbah mau masak. Air di gentong habis.”
Tejo tersenyum lega. “Iya, Mbah.” Ia mengambil ember dan menimba di sumur. Lalu Tejo membantu simbah memasak.
“Laku banyak bunganya?” tanya simbah.
“Sepi, Mbah. Belum satu pun terjual.”
Simbah mengusap kepalanya. “Yang sabar, ya! Mudah-mudahan besok simbah sudah bisa berjualan lagi.”
Setelah makan siang, Tejo kembali ke bunker. Sudah sepi. Tidak ada pengunjung lagi. Tejo mengemasi bunga-bunganya ke dalam kardus. Ia hendak beranjak pergi ketika melihat sesuatu berkilau.
Tejo mendekati benda itu. Sebuah telepon genggam tergeletak di pasir. Ia menimang-nimang benda itu. Sudah lama ia ingin punya telepon genggam. Dengan begitu ia bisa menelepon simbok yang bekerja di Jakarta. Dan simbok tidak perlu menelepon Pakdhe Gimo kalo ingin bicara dengannya.
Tapi ini bukan milikku. Pasti ada pengunjung yang kehilangan, pikir Tejo. Ia memutuskan untuk mencari pemiliknya. Ia pun berjalan menuju warung-warung di dekat tempat parkir.
“Pakde, ada orang yang kehilangan hape tidak?” Tejo menunjukkan telepon genggam yang ditemukannya.
Nggak ada yang nyari, Jo,” jawab Pakdhe Gimo.
Jawaban serupa ia peroleh dari warung-warung lain. “Kamu simpan saja! Nanti kalau ada yang cari baru kamu kembalikan,” saran Paklik Marwah.
Tejo menuju tempat parkir. Serombongan pengunjung sedang menaiki bus hendak pergi. Tejo memanggil seorang pemuda yang masih ada di luar. “Mas, ada yang kehilangan hapetidak?”
“Sebentar, ya. Saya tanyakan yang lain.” Pemuda itu masuk ke bus dan tak lama keluar lagi. “Nggakada yang kehilangan, Dik. Mungkin milik pengunjung lain.”
Tejo melihat ke sekeliling tempat parkir. “Nggak ada orang lagi, Mas.”
“Emm..., coba saya lihat. Mungkin ada data pemiliknya.”
Tejo menyerahkan telepon genggam. Pemuda itu melihat-lihat isinya. Mereka berdua duduk di salah satu bangku.
“Ini dia! Ada nomor lain yang bisa dihubungi bila hape ini ditemukan.” Laki-laki itu menelepon sebuah nomor. Ia lalu mengembalikan telepon genggam pada Tejo. “Pemiliknya bernama Ferdi. Sebentar lagi ia ke sini. Saya pergi dulu ya. Bus sudah mau berangkat.”
“Terima kasih, Mas!”
Tak lama kemudian sebuah mobil masuk tempat parkir. Seorang laki-laki keluar dari mobil menemui Tejo. “Kamu yang berjualan bunga kering di depan bunker, kan? Terima kasih, ya. Hape ini sangat berharga buat saya. Seluruh catatan pekerjaan saya ada di sini.”
Ternyata Om Ferdi adalah lelaki yang tak jadi membeli bunga. Ia seorang wartawan. Ia mengeluarkan dua lembar ratusan ribu dari dompetnya. “Ini untukmu.”
Tejo tersenyum. Ia menolak dengan halus. ”Tidak perlu, Om. Saya hanya mengembalikan yang bukan milik saya.”
“Begini saja. Saya sedang meliput daerah ini dan memerlukan pemandu. Bagaimana kalau kamu menunjukkan tempat-tempat menarik di sini? Termasuk tempat kamu memetik bunga-bunga yang kamu jual. Uang ini sebagai bayarannya.”
Mata Tejo berbinar. “Baiklah! Saya tahu semua daerah sini.” Tejo sangat senang.
Hari ini dagangannya tidak laku. Tapi Tejo memperoleh uang dari pekerjaan lain. Tidak lupa Tejo bersyukur pada Tuhan.



Cerita Bunga dan Kupu-kupu | Dongeng Anak Terbaru



Bunga dan Kupu-kupu

Cerita Bunga dan Kupu-kupu – Pada zaman dahulu kala, ada sebuah hutan yang cukup
asri. Di dalam hutan tersebut tumbuh berbagai pohon dengan buah-buah yang manis
dan ranum, sehingga banyak binatang yang senang tinggal di hutan tersebut. Dari
hewan besar seperi rusa, panda, beruang, hingga para serangga.




Pada suatu hari, hutan tersebut kedatangan seekor penghuni
baru. Dia