Selasa, 23 Mei 2017

Rahasia Kate

                                               
Dimuat di Majalah Bobo
     
                                                     Rahasia Kate
                                                               Oleh  Dian Onasis

Cleo memasukkan tempat minumnya ke tas. Matanya melirik Kate yang duduk di sebelah kirinya.
“Wah, tempat minum baru lagi, Kate?” tanya Cleo. Hal ini menarik perhatian Cleo. Soalnya, dalam 2 bulan ini Kate menggunakan 3 tempat minum baru secara bergantian. Tentu menyenangkan punya tempat minum lebih dari satu. Tak perlu khawatir jika lupa mencucinya. Karena ada pengganti.
Tapi, Cleo tahu diri, tidak mungkin setiap bulan minta dibelikan tempat minum baru. Itu pemborosan namanya. Cleo teringat nasihat Mama untuk rajin berhemat dan menabung.
Kate tidak menjawab pertanyaan Cleo. Ia hanya tersenyum penuh rahasia. Kate sibuk merapikan isi meja, seperti yang diperintahkan Miss Rona. Cleo pun membuka bagian atas meja dan memastikan semua alat tulis dan bukunya sudah rapi
"Sssttt, Kate, bukannya bulan lalu, kamu baru beli tempat minum?” Cleo kembali bertanya.
Kate tidak menjawab. Ah, Kate sok misterius, batin Cleo kesal sambil memonyongkan bibirnya. Tumben Kate punya rahasia. Cleo lalu menjulingkan matanya ke hadapan wajah Kate. Kate tertawa geli
"Hihihi, kamu lucu, Cleo." Ujar Kate. Cleo nyengir. Cara seperti itu biasanya berhasil membuat Kate tertawa dan menceritakan rahasianya. 
"Ayolah Kate. Kuperhatikan, tempat minummu berganti terus. Apa Papa Mamamu tidak keberatan? Itukan buang-buang uang namanya?” Cleo sok menasihati. Padahal Cleo tak sabar, ingin mendengar rahasia Kate itu.
Sayangnya, Kate senang membuat sahabatnya itu kesal. Kate suka melihat mata Cleo yang berwarna coklat itu berbinar-binar, karena ingin tahu. Kate tetap tersenyum geli melihat Cleo berusaha memancing jawaban. Cleo sudah mengubah wajahnya jadi bermacam bentuk, mulai dari hidung dikembang-kempiskan, mulut digerakkan kiri-kanan, mata dijerengkan  hingga dipelototkan. Tapi ternyata tak sukses membuat Kate membuka rahasianya.
Cleo tak sempat bertanya lagi, karena Miss Rona memerintahkan semua anak untuk berdoa pulang. Ketika keluar kelas, Mama Cleo sudah berdiri dekat motornya dan tersenyum ke arah Cleo. Kesempatan Cleo untuk menanyakan rahasia Kate, hilang. Tapi bukan Cleo namanya, jika tidak mencari tahu. Cleo tak mau menyerah begitu saja. 
Sore hari, selepas mandi, Cleo segera mengeluarkan sepedanya. Setelah pamit pada mama, ia langsung ngebut bersepeda ke arah rumah Kate. Rumah mereka memang tidak jauh. Hanya butuh 5 menit naik sepeda, Cleo sudah berada di depan pagar rumah Kate. Cleo juga tidak memberitahu Kate, jika ia hendak main ke rumah Kate.
Setiba di depan pagar, Cleo mengintip ke halaman. Ia melihat Kate sedang berjongkok. Di sebelah Kate, ada Papanya. Mereka terlihat asyik membuat sesuatu.
"Selamat sore!" teriak Cleo dari depan pagar. Suara itu mengagetkan Kate. Kate melihat ke pagar, dan sedikit kaget melihat Cleo. Namun Kate langsung tersenyum lebar.
"Wah, kamu benar-benar penasaran ya!" Kata Kate sambil membukakan pintu pagar untuk Cleo. Cleo tertawa tanpa suara. Giginya yang ompong di bagian bawah, tak dipedulikannya.
"Sore Cleo, apa kabar?" tanya Papa Kate.
"Sore Om. Kabarku baik, Om.” Jawab Cleo. “Om dan Kate lagi ngapain?”
 "Oh Ini? Om sedang mengajari Kate melukis gambar baru pada botol bekas minuman.  Cleo tertarik?" Papa Kate menunjukkan hasil karyanya bersama Kate. 
Mata Cleo membelalak. Mulutnya sedikit terbuka. Ia terpukau melihat ada banyak  botol bekas minuman air mineral yang sudah dilukis. Ada gambar Olaf dari film Frozen, Doraemon, Kelinci Biru dan banyak lainnya. Cleo suka  semua tokoh kartun. Semuanya keren-keren.
“Wah, jadi ini rahasiamu, Kate?” Tanya Cleo sambil mendekat dan memperhatikan hasil karya Kate. Kate mengangsurkan kuas dan beberapa wadah cat kecil ke dekat Cleo.
“Ini, kau bisa coba memberi warna dasar untuk botol yang itu.” Kate menunjuk sebuah botol bekas yang paling besar. Cleo mengangguk dan langsung mewarnai botol tersebut dengan warna orange.
“Tapi, sebetulnya apa hubungannya botol bekas ini dengan tempat minuman baru yang kau punya, ya, Kate?” tanya Cleo sambil terus mengecat. Kate tersenyum. Ternyata Cleo masih penasaran.
“Kau ingat tidak, 2 bulan lalu, aku tidak ikut main sepeda ke rumah Miss Rona?” tanya Kate. Cleo mengangguk.
“Nah, waktu itu, aku bersama papa pergi membeli botol bekas dari tempat pemulung. Lalu aku diajari melukis oleh papa. Hasil dari melukis botol bekas ini kutitipkan Papa. Papaku punya teman yang suka mendaur-ulang benda. Ia menerima, kemudian menjual pot bunga untuk taman gantung. Potnya dibuat dari botol bekas minuman seperti ini,” jelas Kate. Cleo memandang beberapa botol yang sudah dikerjakan Kate.
“Aku diberi satu paket cat dari teman Papa. Lalu untuk setiap lukisan satu botol,  aku diberi uang Rp.2.000,- rupiah. Jika aku membuat 5 dalam seminggu. Aku sudah punya  Rp.10.000,- per minggu.  Dalam sebulan, aku sudah bisa menabung atau membeli benda kesukaanku. Iya kan Pa?” Kate meminta persetujuan pada Papanya. Papa Kate mengangguk
“Wah, kalau aku melukis botol juga, apakah aku boleh titip juga, Om?” harap Cleo. Papa Kate kembali mengangguk.
Senyum Cleo melebar. Tak lama Cleo sudah asyik menemani Kate melukis botol bekas. Mulut kecilnya bergerak-gerak lucu, saat melukis botol. Ia sudah membayangkan akan membeli tempat minum baru bulan depan, atau mungkin liontin kecil untuk mama, atau bisa jadi gelas minum teh untuk papa.



Rabu, 17 Mei 2017

Rumah Jamur Tarra

Dimuat di majalah Bobo 

RUMAH JAMUR TARRA
*FiFadila*

TARRA bosan tinggal di desa kurcaci. Pemandangannya tidak menarik. Hanya ada gunung, sawah dan rumah-rumah jamur yang tumbuh di tanah. Beda dengan pemandangan kerlap kerlip di kota. Seperti yang sering dia lihat di siaran tv kurcaci. Kurcaci di kota punya rumah balon yang beraneka bentuk. Anggur, apel, jeruk, melon dan bentuk lainnya. Berwarna-warni pula. Ia pun bertekad pergi ke kota. Semua tabungannya dipecah untuk pindah ke kota.
“Kenapa harus pindah, Kak? Desa kita sangat tenang. Di kota ramai. Biaya hidup di sana juga lebih mahal,” kata Risti berusaha mencegah kakaknya.
            “Aku akan cari kerja yang lebih baik di kota,” bela Tarra.
            “Kalau begitu bawa saja bibit jamur untuk tempat tinggal kakak di kota.”
            “Kamu aneh. Rumah jamur itu hanya ada di desa. Di kota ada banyak jenis rumah dari balon. Bentuknya macam-macam bisa terbang pula. Tinggal tiup, ujung talinya diikat di pohon, jadi, deh. Kalau pakai bibit jamur, bisa jenggotan nunggu jamurnya tumbuh,” protes Tarra.
            Akhirnya Tarra pergi ke kota tanpa memedulikan usul adiknya. Dia hanya membawa bekal makanan untuk di perjalanan. Keperluan lainnya bisa dia beli di kota. Uang tabungannya cukup banyak untuk biaya hidup di kota nanti. Saat tiba di pinggiran kota, Tarra merasa kelelahan. Namun dia tidak mau berhenti sejenak pun. Kerlap-kerlip lampu kota membuat Tarra semakin semangat melangkah.
            “Lihat, kota tinggal sejengkal lagi sampai,”Tarra menyemangati dirinya sendiri.
            Setiba di kota, Tarra kegirangan. Kota benar-benar seperti yang dia bayangkan. Ramai, indah dan penuh hiburan. Dia yakin tidak akan pernah bosan tinggal di kota. Pertama-tama dia membeli rumah balon yang paling unik. Bentuknya seperti anggur. Harganya ternyata mahal. Uang tabungannya hanya sisa sedikit saja untuk beli makanan.
            “Tak apa. Besok aku akan segera cari pekerjaan. Sekarang aku mau istirahat di rumah baruku dulu. Aku capek sekali.”
Tarrapun mencari tempat untuk memasang rumah balonnya. Tapi dia kebingungan. Setiap jengkal ranting pohon sudah ada pemiliknya. Tarra berputar-putar di setiap penjuru kota dengan rasa lelah yang luar biasa. Dia tidak mungkin meninggalkan rumah balonnya tanpa ditambatkan terlebih dulu. Bisa terbang hilang rumah barunya yang mahal.
Di ujung keputusasaannya, Tarra melihat ada satu tempat kosong. Di pucuk tertinggi pohon cemara. Dengan susah payah, Tarramemanjat pohon cemara. Lebih susah lagi mengikat tali rumahnya di ujung tertinggi pohon. Angin di puncak pohon lebih kencang daripada di bawah.
Dengan susah payah, akhirnya pemasangan rumah itu selesai juga. Tarra segera masuk ke dalam rumah balon itu. Rasanya seperti terbang. Tiupan angin membuat rumah balonnya tidak pernah diam. Tarra bergoyang-goyang seperti terbang.
“Ah, lama-lama aku akan terbiasa juga,” Tarra menenangkan hatinya yang bimbang.
Dia menuju kasur dan merebahkan diri untuk istirahat. Tapi goyangan balon sepertinya semakin kencang. Di ujung pohon cemara, hembusan angin terasa sangat kencang. Bahkan terdengar berisik. Ingin hati punya rumah cantik, apadaya angin mengguncang-guncang rumah balonnya. Hingga membuatnya susah tidur.
            Tarra berkali-kali melirik jendela. Dia berharap ikatan yang dia buat tadi sudah cukup kuat sehingga tarikan angin tidak membuat ikatannya lepas. Tapi ternyata perkiraannya salah. Tali pengikat balonnya semakin lama semakin kendor. Tiupan angin berikutnya membuat tali pengikatnya lepas sama sekali. Rumah balonnya melayang-layang. Menjauh dari kota.
            Tarra menangis ketakutan. Dia teringat rumah jamurnya yang di desa. Kuat tertancap di tanah dan tidak mudah terbawa angin. Jauh berbeda dengan rumah balon. Meski unik berwarna-warni tapi mudah terbawa angin. Tarra ingin pulang tapi dia tidak tahu dimana dia sekarang. Sepanjang malam dia terjaga di langit terbuka.Sampai pagi menjelang.
            Tiba-tiba Tarra merasa rumah balonnya kempes dan turun pelan-pelan. Tarra panik. Dia takut jatuh dari ketinggian. Dipejamkannya mata erat-erat.
            Pluk. Tarradan rumah balonnya mendarat di sesuatu yang empuk. Dia segera keluar dari rumah balonnya yang kempes. Dilihatnya keadaan sekeliling.
            “Kak Tarra, kakak baik-baik saja?”
Tarra mendengar suara yang dia kenal baik.Tarra ternyata jatuh di atas atap rumah jamur Risti. Dengan bantuan tangga tali Risti, Tarra turun dari atap.
Tarra memeluk adiknya sambil menangis, “Kamu benar, kota sangat padat. Rumah balonku sampai tidak dapat ruang tambatan yang aman. Sampai-sampai rumah balonku terbawa angin dan kempes. Tabunganku sudah habis. huhuhu…”
            “Kakak kan masih punya rumah jamur. Aku selalu membersihkannya saat kakak tak ada.”
            Tarra berterima kasih pada adiknya. Sejak saat itu Tarra sangat mencintai rumah jamurnya. Menurutnya rumah jamur lebih cantik dan menarik daripada rumah balon. Ia yakin rumah jamurnya sangat kuat meski di terjang angin puting beliung sekalipun. (*)



               


Rabu, 03 Mei 2017

Rumah di Atas Bukit

Dimuat di Majalah Bobo edisi 47, 21 September 2016


RUMAH DI ATAS BUKIT
Oleh: Yulina Trihaningsih

            Semalam, hujan deras kembali mengguyur tubuhku. Aku tahu, kulitku akan semakin mengelupas diterpa angin kencang. Jamur-jamur kecil seperti titik-titik hitam akan bertambah subur di kulitku yang lembab dan kusam.
Sudah lama tidak ada manusia yang mau tinggal bersamaku. Mungkin, karena penampilanku yang kotor, kusam, dan bau.
“Tapi, aku senang bermain-main di sini bersamamu,” seru Geji si burung gereja yang sedang berjemur di terasku. Sinar matahari yang hangat membuatnya senang berlenggang lenggok menjemur bulu-bulunya yang basah.
Aku tersenyum. “Terima kasih sudah mau menjadi temanku, Geji. Tapi, sebentar lagi kau pun akan terbang mencari makan, dan aku akan kembali kesepian.”
Geji menatapku prihatin. “Kau rumah tua yang malang. Aku harap, akan ada yang menempatimu. Kau tahu? Sebuah keluarga sudah mengisi rumah baru bertingkat di ujung jalan. Kemarin sore mereka berpesta! Ada banyak cahaya lampu, balon, dan remah-remah kue. Aku akan ke sana setelah selesai berjemur.”
Tanpa menunggu lama, Geji langsung terbang, meninggalkan kotorannya di lantai terasku. Ya ampun, aku pasti akan semakin kotor dan bau.
Tapi, sesuatu terjadi di siang itu. Sebuah mobil kecil berhenti di depan pagarku. Gadis kecil dengan dua kuncir di kepalanya melongok ke luar jendela. Matanya yang bulat indah terlihat bersinar. Dan ia tersenyum padaku!
“Apakah kita akan tinggal di sini, Ayah?” suara anak itu terdengar bersemangat.
“Benar, Zara sayang,” seorang pria berkacamata turun dari pintu depan.
Dia membantu seorang wanita cantik turun dari mobil. “Apa kau suka rumah baru kita, Nyonya Arman?” pria itu bercanda.
“Tentu saja, Tuan Arman,” balas wanita itu sambil tertawa.
Sementara, Zara, gadis kecil itu, sudah berlari ke luar mobil terlebih dahulu. Ia meloncat-loncat di halaman dan menatapku ingin tahu.
“Apakah kita tidak akan kebanjiran lagi di sini, Ayah? Rumah ini sepertinya sudah tua,” Zara mengerutkan keningnya, seperti berpikir.
Tuan Arman tertawa. “Semoga, Sayang. Rumah ini ada di atas bukit. Saat malam, kau bisa melihat kota yang penuh cahaya dari jendela kamarmu.”
“Terlihat tua, mungkin karena tidak ada yang merawat dan menyayanginya, Zara,” Nyonya Arman berkata sambil tersenyum.
“Oh, aku akan menyayangi rumah ini, Bu,” Zara berkata pasti, membuatku senang mendengarnya.
*
            Beberapa hari berikutnya, adalah saat-saat yang membahagiakan untukku. Aku tidak lagi sendirian dan kesepian, karena banyak teman yang mengunjungiku. Bukan Geji, tentu saja. Burung gereja itu justru tidak berani lagi mendekat sejak keramaian mulai terlihat di sini.
            Tuan Arman mengajak beberapa temannya untuk membersihkan kulitku yang kotor. Dan, hei, mereka juga memberi warna baru di kulitku. Tidak itu saja. Tuan Arman juga mengganti pelapis kayu tubuhku yang mengelupas. Atapku yang pecah atau bergeser juga diperbaiki.
            Sementara itu, Nyonya Arman dan Zara membersihkan halamanku yang ditumbuhi rumput yang tinggi. Nyonya Arman juga menanam bunga-bunga yang cantik untuk menemani pohon mangga tua di sudut halaman. 
Oh, aku harap, gadis kecil itu dan orangtuanya akan betah tinggal di sini. Siapa tahu, seperti rumah baru bertingkat di ujung jalan, Zara juga akan mengundang teman-temannya dan membuat pesta! Wah, mereka pasti akan bergembira dan bersenang-senang di sini.
“Jadi, kapan kita akan mulai tidur di rumah ini, Bu?” tanya Zara tidak sabar.
Nyonya Arman tersenyum. “Besok, Zara, kita akan pindah dan tinggal di sini.”
Gadis kecil itu lalu melompat ke pelukan ibunya dengan gembira.
*
            Sudah sebulan Zara tinggal, dan aku selalu bahagia melihat dan mendengar tawanya. Tapi, siang ini, Zara pulang sekolah sambil menangis. Oh, apa yang terjadi denganmu, Zara?
            “Tidak ada teman-temanku yang mau datang ke rumah kita, Bu. Mereka takut. Kata Sheila, yang tinggal di rumah tingkat di ujung jalan, rumah ini dulu berhantu.”
            Nyonya Arman tersenyum. “Kenapa Sheila bilang begitu?”
            “Karena rumah ini dulu jelek, tua, dan kotor.”
            “Oh, tapi, sekarang tidak lagi, kan?” kata Nyonya Arman sambil tertawa.
Zara menatapku lama. “Tentu saja tidak. Sekarang, rumah ini, kan, cantik dan bersih.”
“Mungkin, kamu bisa memikirkan sebuah cara untuk memberitahukan hal itu kepada mereka,” kata Nyonya Arman sambil tersenyum penuh arti.
Zara terus menatap dinding-dindingku. Lalu, tiba-tiba, ia tersenyum lebar sambil bertepuk tangan. “Aku ada ide!” serunya.
*
            Sabtu ini, Zara pulang sekolah tidak sendiri. Ia datang bersama teman-temannya. Mereka terlihat bergembira di bawah pohon mangga yang rindang. Tuan Arman sudah menggelar tikar lebar di sana.
“Wah, Zara, taman bacamu keren sekali,” kata seorang anak perempuan berkacamata sambil asyik membaca buku.
            “Rumahmu juga cantik, Zara. Persis seperti di foto-foto yang kamu bawa ke sekolah, kemarin,” timpal seorang anak perempuan lain dengan jepit di rambutnya.
            Zara tersenyum ke arahku. “Terima kasih, teman-teman. Aku memang senang sekali tinggal di rumah ini.”
            Aku bisa merasakan perasaan sayang yang diberikan gadis itu untukku. Dan kuharap, ia pun bisa merasakan hal yang sama dariku. [*]