Dimuat di majalah Bobo |
RUMAH JAMUR TARRA
*FiFadila*
TARRA bosan tinggal di desa kurcaci. Pemandangannya tidak menarik. Hanya ada gunung, sawah dan rumah-rumah jamur yang tumbuh di tanah. Beda dengan pemandangan kerlap kerlip di kota. Seperti yang sering dia lihat di siaran tv kurcaci. Kurcaci di kota punya rumah balon yang beraneka bentuk. Anggur, apel, jeruk, melon dan bentuk lainnya. Berwarna-warni pula. Ia pun bertekad pergi ke kota. Semua tabungannya dipecah untuk pindah ke kota.
“Kenapa harus pindah, Kak? Desa kita sangat tenang. Di kota ramai. Biaya hidup di sana juga lebih mahal,” kata Risti berusaha mencegah kakaknya.
“Aku akan cari kerja yang lebih baik di kota,” bela Tarra.
“Kalau begitu bawa saja bibit jamur untuk tempat tinggal kakak di kota.”
“Kamu aneh. Rumah jamur itu hanya ada di desa. Di kota ada banyak jenis rumah dari balon. Bentuknya macam-macam bisa terbang pula. Tinggal tiup, ujung talinya diikat di pohon, jadi, deh. Kalau pakai bibit jamur, bisa jenggotan nunggu jamurnya tumbuh,” protes Tarra.
Akhirnya Tarra pergi ke kota tanpa memedulikan usul adiknya. Dia hanya membawa bekal makanan untuk di perjalanan. Keperluan lainnya bisa dia beli di kota. Uang tabungannya cukup banyak untuk biaya hidup di kota nanti. Saat tiba di pinggiran kota, Tarra merasa kelelahan. Namun dia tidak mau berhenti sejenak pun. Kerlap-kerlip lampu kota membuat Tarra semakin semangat melangkah.
“Lihat, kota tinggal sejengkal lagi sampai,”Tarra menyemangati dirinya sendiri.
Setiba di kota, Tarra kegirangan. Kota benar-benar seperti yang dia bayangkan. Ramai, indah dan penuh hiburan. Dia yakin tidak akan pernah bosan tinggal di kota. Pertama-tama dia membeli rumah balon yang paling unik. Bentuknya seperti anggur. Harganya ternyata mahal. Uang tabungannya hanya sisa sedikit saja untuk beli makanan.
“Tak apa. Besok aku akan segera cari pekerjaan. Sekarang aku mau istirahat di rumah baruku dulu. Aku capek sekali.”
Tarrapun mencari tempat untuk memasang rumah balonnya. Tapi dia kebingungan. Setiap jengkal ranting pohon sudah ada pemiliknya. Tarra berputar-putar di setiap penjuru kota dengan rasa lelah yang luar biasa. Dia tidak mungkin meninggalkan rumah balonnya tanpa ditambatkan terlebih dulu. Bisa terbang hilang rumah barunya yang mahal.
Di ujung keputusasaannya, Tarra melihat ada satu tempat kosong. Di pucuk tertinggi pohon cemara. Dengan susah payah, Tarramemanjat pohon cemara. Lebih susah lagi mengikat tali rumahnya di ujung tertinggi pohon. Angin di puncak pohon lebih kencang daripada di bawah.
Dengan susah payah, akhirnya pemasangan rumah itu selesai juga. Tarra segera masuk ke dalam rumah balon itu. Rasanya seperti terbang. Tiupan angin membuat rumah balonnya tidak pernah diam. Tarra bergoyang-goyang seperti terbang.
“Ah, lama-lama aku akan terbiasa juga,” Tarra menenangkan hatinya yang bimbang.
Dia menuju kasur dan merebahkan diri untuk istirahat. Tapi goyangan balon sepertinya semakin kencang. Di ujung pohon cemara, hembusan angin terasa sangat kencang. Bahkan terdengar berisik. Ingin hati punya rumah cantik, apadaya angin mengguncang-guncang rumah balonnya. Hingga membuatnya susah tidur.
Tarra berkali-kali melirik jendela. Dia berharap ikatan yang dia buat tadi sudah cukup kuat sehingga tarikan angin tidak membuat ikatannya lepas. Tapi ternyata perkiraannya salah. Tali pengikat balonnya semakin lama semakin kendor. Tiupan angin berikutnya membuat tali pengikatnya lepas sama sekali. Rumah balonnya melayang-layang. Menjauh dari kota.
Tarra menangis ketakutan. Dia teringat rumah jamurnya yang di desa. Kuat tertancap di tanah dan tidak mudah terbawa angin. Jauh berbeda dengan rumah balon. Meski unik berwarna-warni tapi mudah terbawa angin. Tarra ingin pulang tapi dia tidak tahu dimana dia sekarang. Sepanjang malam dia terjaga di langit terbuka.Sampai pagi menjelang.
Tiba-tiba Tarra merasa rumah balonnya kempes dan turun pelan-pelan. Tarra panik. Dia takut jatuh dari ketinggian. Dipejamkannya mata erat-erat.
Pluk. Tarradan rumah balonnya mendarat di sesuatu yang empuk. Dia segera keluar dari rumah balonnya yang kempes. Dilihatnya keadaan sekeliling.
“Kak Tarra, kakak baik-baik saja?”
Tarra mendengar suara yang dia kenal baik.Tarra ternyata jatuh di atas atap rumah jamur Risti. Dengan bantuan tangga tali Risti, Tarra turun dari atap.
Tarra memeluk adiknya sambil menangis, “Kamu benar, kota sangat padat. Rumah balonku sampai tidak dapat ruang tambatan yang aman. Sampai-sampai rumah balonku terbawa angin dan kempes. Tabunganku sudah habis. huhuhu…”
“Kakak kan masih punya rumah jamur. Aku selalu membersihkannya saat kakak tak ada.”
Tarra berterima kasih pada adiknya. Sejak saat itu Tarra sangat mencintai rumah jamurnya. Menurutnya rumah jamur lebih cantik dan menarik daripada rumah balon. Ia yakin rumah jamurnya sangat kuat meski di terjang angin puting beliung sekalipun. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar