Selasa, 13 Juni 2017

Celana yang Tertukar

                                                    
Dimuat di Majalah Bobo
     
                                                   Celana yang Tertukar
                                                                 Dian Onasis

Hari Senin telah tiba. Seperti biasa, Kurcaci Bimo masih saja terburu-buru menyiapkan baju sekolahnya.
“Bund, lihat baju olahraga Bimo nggak?” teriak Kurcaci Bimo dari kamar. Posisi kamarnya di bagian atas rumah pohon. Tak ada jawaban dari Bunda. Sepertinya Bunda sibuk mengurus kedua adik kembarnya. Kurcaci Bimo hanya tinggal berempat dengan ibu dan dua adik kembarnya di sebuah rumah pohon yang besar.
Kurcaci Bimo mencari baju olahraganya di lemari. Tidak ada. Eh, tapi tunggu dulu. Ah ini dia, terselip di antara baju mainnya. Segera Kurcaci Bimo masukkan ke tas sekolah. Hemmm, apalagi ya belum ya? pikirnya. Matanya melirik jam di dinding kamar. Waaah, sudah pukul 6 lewat. Seharusnya dia sudah mandi. Gara-gara mencari baju olahraga, Kurcaci Bimo banyak kehilangan waktu.
 Akhirnya, lagi-lagi Kurcaci Bimo tergopoh-gopoh melakukan semuanya. Sarapan jamur dan minum madu cair dilakuan cepat-cepat.
“Pelan-pelan ketika mengunyah sarapan, Nak,” ingat Bunda sambil menggeleng. Bunda sudah sering mengingatkan Kurcaci Bimo, agar menyiapkan semua keperluan sekolah di malam hari. Sayangnya, tidak didengar oleh Kurcaci Bimo.
Madu cair dalam gelas belum habis, Kurcaci Bimo sudah berjalan sambil minum, dan mengambil handuk. Lalu menghabiskan minuman di dalam kamar mandi. Kemarin-kemarin,  Kurcaci Bimo pernah lupa jika rambutnya masih bersampo , dan ia langsung keluar kamar mandi. Semuanya tergesa-gesa.
Selesai mandi, Kurcaci Bimo mengenakan seragamnya, yang terbuat dari lapisan kayu yang sudah diolah menjadi kain yang bagus.
“Bundaaa!” tiba-tiba Kurcaci Bimo berteriak dari kamar.
            Bunda segera meletakkan adik kembar Bimo ke dalam tempat tidur bayi yang terbuat dari  batok kelapa besar. Bunda berlari menuju kamar Kurcaci Bimo.
            “Ada apa, Nak?” tanya Bunda khawatir. Teriakan Kurcaci Bimo tadi seperti ada tupai yang hendak mencuri persediaan makanan mereka.
            “Ini… kenapa celana sekolah Bimo kekecilan?. Bimo jadi susah berjalan.” Wajah Kurcaci Bimo tampak merah. Apalagi bagian telinganya yang runcing. Selalu begitu jika Kurcaci Bimo kesal dan khawatir.
            “Coba buka, biar Bunda lihat!”
            Kurcaci Bimo lalu menyerahkan celana sekolah tersebut kepada Bunda.
            “Astaga ini milik Kurcaci Rafi!” kata Bunda kaget, sambil membaca nama yang tertulis di bagian bawah celana.
            “Eh, kok, bisa?” tanya Kurcaci Bimo bingung
            “Iya, bisa saja. Ini pasti karena kamu  terburu-buru memasukkan seragam ke dalam tas waktu ganti baju olahraga kegiatan ekskul minggu lalu,” duga Bunda.
            “Duh, jadi, bagaimana nih, Bund?” Kurcaci Bimo mulai khawatir. Karena, seragamnya setiap hari berganti. Hari ini celananya berwarna putih. Setiap hari seragam sekolah Kurcaci Bimo memang berbeda. Ada 5 jenis seragam yang harus dikenakannya, selama sekolah.
            “Yaaah, Bunda jadi kasihan sama Rafi. Tubuh Rafikan kecil, pasti celananya kebesaran. Baiklah, sebentar, Bunda hubungi dulu Bunda Rafi, ya!” kata Bunda menahan tawa. Bunda segera turun ke bawah pohon, menarik sebuah akar tua yang telah diberi mantra oleh Penyihir bijak, sehingga seluruh penduduk, dapat saling berkomunukasi melalui akar pohon tersebut.
            Tak lama, Bunda naik ke kamar Bimo dan berkata, “Ya sudah, dipakai dulu saja celana Rafi, nanti tukeran di kelas,” kata Bunda menahan senyum dan mengelus kepala Bimo. “Sekarang Bimo cepat sekolah, itu Pak Hadi Kurcaci Besar, sudah menunggu untuk mengantarkanmu.”
            Bimo menunduk melihat celananya yang kekecilan. Ini semua gara-gara ia selalu terburu-buru, sehingga lalai mengecek seragam yang dimasukkannya ke dalam tas, minggu lalu.
            Sepanjang perjalanan dengan kereta yang ditarik sepasang kumbang raksasa yang jinak, teman-teman Kurcaci Bimo berbisik-bisik. Sejak awal, mereka menatapnya dengan takjub. Kurcaci Bimo yang berjalan seperti penguin, terlihat aneh dan hati. Dengan susah payah mereka berusaha menertawakan.  Pak Hadi Kurcaci Besar, bahkan menutup mulutnya rapat-rapat. Meski kumisnya bergerak-gerak karena menahan tawa.
            Telinga runcing Kurcaci Bimo kembali memerah. Ia kesal. Tapi ia berusaha menghibur diri, karena akan mempunyai teman senasib. Kurcaci Rafi sebentar lagi akan datang, mengenakan celana yang kebesaran. Karena memang, tubuhnya lebih besar serta lebih tinggi dari Rafi. Membayangkan hal itu, telinga Kurcaci Bimo tidak memerah lagi.
            Sesampai di sekolah, Kurcaci Bimo dengan hati-hati turun dari kereta. Ia khawatir celananya sobek. Setelah turun, Kurcaci Bimo berdiri di dekat pintu masuk sekolah, yang ditandai dengan sulur-sulur daun yang hijau terang. Ia tak sabar menunggu Rafi.
            Ternyata, tebakan Kurcaci Bimo salah. Kurcaci Rafi memilih tidak masuk sekolah, karena malu dengan celana kebesaran. Bimo terpaksa mengikuti upacara bendera dengan celana kekecilan.
            Kurcaci Bimo berusaha melupakan rasa malu dan tak nyamannya. Sebagai kurcaci , ia tak pernah bisa diam. Akhirnya ketika jam istirahat, teman-temannya bermain bola sepak, Kurcaci Bimo ikut berlari, dan lupa dengan celana sempitnya.
            “Sreet!” Terdengar suara kain robek.
            Kurcaci Bimo terdiam. Celana milik Rafi yang dipakainya robek. Tak lama, suara tawa teman-temannya pun meledak. Kali ini, Kurcaci Bimo ikut tertawa. Ia menertawakan dirinya. Kurcaci Bimo pun kapok. Selanjutnya ia akan selalu menyiapkan seragam dan menyimpannya dengan baik.


Kamis, 08 Juni 2017

Misteri Rumah Kaca


Dimuat di Majalah Bobo

Misteri Rumah Kaca
Melani Putri

            Phil menarik selimutnya rapat-rapat. Perlahan diliriknya jam dinding yang menunjukkan pukul 11.30 malam. Bayangan pohon cemara menari-nari di dinding kamarnya. Kriit..sesekali bunyi derit terdengar samar dari rumah kaca di halaman belakang. Masih jelas di mata Phil bayangan yang baru saja dilihatnya di rumah kaca. Ia bisa mengintip bangunan tua itu dari jendelanya.
            Siapa malam-malam begini di rumah kaca? Gumam Phil sambil menggigil. Ia urungkan niatnya untuk membangunkan Bibi Clara dan Nenek Emma. Mereka pasti sudah tertidur lelap, pikirnya. Lewat dari tengah malam Phil baru berhasil tidur.
            “Pagi Phil,” sapa Bibi Clara. Di dapur, Nenek sedang menyiapkan bubur ayam kesukaan Phil. Ia  sangat senang jika ada cucunya yang datang menginap di rumahnya. “Kok seperti masih mengantuk?” Tanya Bi Clara.
            “Pagi Bi,” jawab Phil sambil mengucek mata. Ia lalu bercerita mengenai peristiwa semalam.
            “Hmm aneh,” ujar Bibi Clara. “Sejak kakek meninggal setahun yang lalu, rumah kaca itu tidak ada yang mengurus.” sambungnya. Di rumah ini Nenek Emma hanya tinggal berdua dengan Bibi Clara yang belum menikah. Bibi Clara adalah adik ayah Phil, mereka hanya dua bersaudara.
            “Pagi ini aku akan mengecek ke sana,” ujar Phil.
            “Boleh saja, tapi semalam anginnya memang kencang. Mungkin yang kamu lihat cuma bayangan pohon yang bergerak.” Bibi Clara pamit berangkat kerja. Biasanya ia baru akan pulang setelah jam makan malam.
            Phil menatap bangunan rumah kaca di hadapannya. Dinding kacanya buram berlapis debu. Tanaman rambat menjalar liar menutupi sisi sampingnya. Semasa hidupnya, kakek Phil sangat suka berkebun. Dulu saat masih kecil, Phil sering bermain di rumah kaca ini.
            Ragu-ragu Phil berjalan mendekat. Tiba-tiba ia melihat bagian bawah pintu kaca pecah. Nampaknya masih baru, gumam Phil mengamati kaca yang berserakan.
            “Aku bisa membantu memperbaiki,” tiba-tiba suara berat terdengar. Phil meloncat saking kagetnya. Ia berpaling dan melihat sosok berjanggut sudah berdiri di belakangnya.
            “Astaga, Pak Ronal!” seru Phil.
            “Maaf, tadi saya sudah memanggil dari depan. Mungkin kamu tidak mendengar.” PakRonal menuju ke gudang kecil dan mengambil kotak alat. Dengan cekatan ia menutup bagian bawah pintu kaca dengan papan tipis. Pak Ronal adalah teman Kakek Phil. Dulu ia sering datang dan membantu Kakek merawat tanaman di rumah kaca. “Aku bermaksud menemui Clara,” ujarnya.
            “Bibi sudah berangkat kerja,” sahut Phil.      
“Sayang sekali, harusnya rumah kaca ini bisa dimanfaatkan.” Seru Pak Ronal seakan tidak mendengar jawaban Phil.
Phil mengamati lelaki tua itu. Pak Ronal tinggal di sebelah rumah. Ia juga sangat hapal dengan rumah kaca ini. Mungkinkah yang semalam ia lihat adalah bayangan Pak Ronal?
Jam menunjukkan pukul 11 malam. Sebentar-sebentar Phil mengamati rumah kaca dari balik jendelanya. Tiba-tiba ia melihat sekilas bayangan bergerak di sana. Phil bergegas ke kamar Bibi Clara dan mengetuk pintunya. Siang tadi Phil sudah menelepon bibi dan menceritakan tentang kaca yang pecah serta Pak Ronal yang mencurigakan. Bibi Clara menyetujui rencananya, mereka akan menguak misteri bayangan di rumah kaca.
Lampu senter Phil menyorot pintu kaca yang sedikit terbuka. Perlahan-lahan ia masuk ke dalam. Bibi Clara bersiaga di luar pintu sambil bersiap menelepon polisi dengan ponselnya.
Phil mematikan senter. Ia bisa melihat isi ruangan itu samar-samar. Sinar bulan purnama menerobos masuk melalui atap rumah kaca. Beberapa rak kayu berisi pot kosong berdiri di sisi ruangan. Seketika ia menatap bayangan sedang duduk di kursi di tengah ruangan. Phil tercekat dan  tanpa sengaja tangannya menyenggol pot yang ada di sebelahnya. Bruk!
“Siapa itu?” seru bayangan tadi. Phil kaget mendengar suara yang tidak asing di telinganya.
“Nenek?” seru Phil.
Bibi Clara berlari masuk. Mereka menghampiri nenek yang sama terkejutnya.
“Ibu sedang apa?” tanya Bibi Clara.
“Sedang melihat bintang” jawab Nenek. “Saat langit terang, kadang ibu ke sini untuk mengenang Ayahmu” sambungnya sambil menitikkan air mata.
Bibi Clara memeluk nenek sambil menangis. Phil merasa sedih sekaligus lega, karena bayangan yang dilihatnya ternyata adalah neneknya sendiri. Kaca yang pecah pun akibat terbentur tongkat nenek. Rupanya sejak ditinggal kakek, nenek sangat kesepian.
Pagi ini Bibi Clara yang membuat sarapan. Nenek Emma duduk menikmati tehnya di teras depan. Liburan Phil di rumah Nenek akan segera berakhir. Ia sedang menunggu ayah dan ibu datang menjemputnya.
Pak Ronal datang bersama istrinya. Siang hari Ia akan bekerja merawat rumah kaca peninggalan kakek. Istrinya akan bekerja membantu sekaligus menemani nenek di rumah. Phil merasa bersalah sudah sempat mencurigainya. Ternyata kemarin Pak Ronal bermaksud menceritakan ke bibi Clara bahwa ia  melihat nenek berjalan ke rumah kaca tengah malam.
“Jangan khawatir, Phil” seru Bibi Clara. “Mulai sekarang, Bibi akan pulang kerja lebih cepat, agar bisa menemani Nenek makan malam. Bibi juga akan lebih sering mengajak Nenek berjalan-jalan,” ucapnya tersenyum. Phil merasa lega, dalam hati ia juga berjanji akan lebih sering datang ke sini mengunjungi neneknya.        


Sabtu, 03 Juni 2017

Pencuri Warna

Dimuat di Majalah Bobo

Pencuri Warna
Oleh: Agnes Dessyana

 “Warnanya memudar!” Ratu Pelangi menjerit. “Apa yang terjadi?”
“Kristal prisma hilang dicuri!” teriak Wila, sang penyihir warna.
Anggi, cucu Penyihir Wila, ikut berteriak. “Seseorang meninggalkan pesan di dekat roda warna!”
Aku mengambil kristal prisma dan aku sembunyikan di Hutan Kelabu. Bila ingin mendapatkannya, carilah aku di Hutan Kelabu! Salam, Pencuri Warna.
Penyihir Wila membaca surat itu.
“Siapa yang akan ke sana?” tanya Ratu Pelangi.
“Biar aku yang pergi, Bunda,” ucap Pangeran Collin.
“Aku akan menemanimu, Kak Collin,” timpal Pangeran Lori.
Ratu Pelangi terlihat ragu.
“Aku akan ikut. Meski masih pemula, aku tetap penyihir,” sela Anggi, cucu Kakek Wila. “Kakek telah mengajarkan semua tentang warna padaku.”
Ratu Pelangi terdiam sejenak. “Baiklah. Semoga kalian berhasil.”
Berangkat lah Pangeran Collin, Pangeran Lori, dan Anggi untuk mencari Pencuri Warna. Untuk sampai ke Hutan Kelabu, mereka harus melewati Gerbang Cokelat dan Taman Kabut. Mereka sangat bersemangat dan bersenda gurau sepanjang perjalanan.
Setelah berjalan kaki selama satu jam, ketiga anak itu tiba di Gerbang Cokelat. Mereka bertiga langsung waspada karena mengetahui tentang adanya raksasa penjaga gerbang. Ketiganya berjalan perlahan menuju pintu gerbang. Mereka menelan ludah ketika melihat raksasa yang sangat besar duduk menutupi pintu gerbang.
“Mau apa kalian?” tanya raksasa.
“Kami mau melewati gerbang dan menuju Hutan Kelabu,” jawab Pangeran Collin.
“Kami mencari kristal prisma,” timpal Pangeran Lori.
Anggi mengangguk. “Kristal prisma itu sumber warna Kerajaan Pelangi.”
“Kalian boleh lewat jika berhasil memecahkan teka-teki dariku,” kata raksasa. “Ini pertanyaannya. Bagaimana Bunga Mawar, Bunga Telang, dan Bunga Matahari bisa menjadi cokelat?”
Ketiga anak itu mengerutkan dahi. Mereka berdiskusi dan berbisik untuk mencari jawaban.
“Kenapa bunga bisa berwana cokelat?”
“Karena layu?” usul Pangeran Lori.
“Tidak mungkin semudah itu jawabannya,” ujar Pangeran Collin.
Kedua pangeran itu lalu tertunduk lesu. Mereka kebingungan dan tidak bisa mendapatkan jawaban ketika mendengar teriakan Anggi.
“Aku tahu,” senyum Anggi lalu membisikkan kepada kedua pangeran. Keduanya mengangguk-angguk. Lalu, mereka bertiga menghadap raksasa dan berseru bersama.
“Warnanya!”
Sang raksasa bersiul. “Kalian benar. Bunga mawar itu merah, bunga telang berwarna biru, dan bunga matahari berwarna kuning. Ketiga warna itu menjadi cokelat ketika dicampur,” ucap raksasa sambil menunjukkan ketiga bunga di tangannya.
"Horeee..." Pangeran Colin, Pangeran Lori, dan Anggi bersorak kegirangan bersama.
“Kalian boleh lewat. Semoga berhasil menangkap pencuri warna,” kedip sang raksasa.
Ketiga anak itu bingung bagaimana raksasa tahu tentang pencuri warna padahal mereka tidak memberitahukannya. Tapi mereka mengabaikannya dan langsung berjalan melewati gerbang. Mereka merasa sangat senang bisa selangkah lebih dekat menangkap pencuri warna. Satu jam kemudian, mereka tiba di Taman Kabut.
“Ergh, aku tidak dapat melihat jelas,” gerutu Pangeran Lori.
Pangeran Collin mengerjapkan matanya. “Bagaimana kita bisa melewati taman ini?”
Anggi yang sedang berjalan tiba-tiba terjatuh karena tersandung batu. Di saat membantu Anggi, mereka menemukan secarik kertas di atas tanah.
Ia berwarna putih dan tinggi. Tapi, ia menjadi pendek ketika memakai topi merah. Tebak siapa dia dan kalian bisa melewati taman dengan mudah. Salam sayang, pencuri warna. Pangeran Lori membaca keras.
Sekali lagi, ketiga anak itu berdiskusi untuk mencari jawaban.
“Kenapa menjadi pendek saat memakai topi?” tanya Pangeran Lori.
“Entahlah, bukannya harusnya jadi makin tinggi,” ucap Pangeran Collin.
Mereka bertiga mencoba mencari jawaban sambil berusaha berjalan dalam kabut.
“Coba ada cahaya, kita bisa lebih mudah melewati taman ini,” gerutu Pangeran Lori.
“Itu dia jawabannya!” teriak Anggi.
“Apa?”
“Jawabannya lilin!” seru Anggi dan kertas itu bersinar. Kertas itu menghilang digantikan dengan tiga buah lilin kecil. Mereka menggunakan lilin dan berjalan keluar dari Taman Kabut dengan cepat.
Beberapa langkah kemudian, mereka tiba di Hutan Kelabu. Mereka takjub melihat hutan itu. Semua yang ada di sana berwarna kelabu, dari pohon, daun, air sungai, tanah, hingga langit yang juga berwarna kelabu.
“Tempat yang aneh tapi indah,” celetuk Anggi.
Pangeran Collin dan Pangeran Lori mengangguk setuju. Mereka terdiam untuk menikmati pemandangan sebelum mulai mencari kristal prisma dan pencuri warna. Mereka mencari di dalam lubang pohon, di antara semak, hingga memanjat ke atas pohon. Tapi, mereka tidak menemukan petunjuk apapun.
“Di mana si pencuri warna?” teriak Pangeran Collin.
Tepat setelah kalimat itu diutarakan, sebuah benda menimpuk badan Pangeran Collin.
“Apa ini? Bola kertas?” ucap Pangeran Collin sambil membuka gulungan kertas itu. Sesuatu terjatuh dari dalam kertas membuat Pangeran Collin terkejut.
Pangeran Collin kemudian memanggil Anggi dan adiknya. Keduanya ikut terkejut.
Selamat kalian telah menemukan kristal prisma. Bagaimana perjalanannya? Sudah tidak merasa bosan kan? Kalian bisa kembali ke istana, kakek menyiapkan kue bolu kesukaan kalian.
Tertanda,
Penyihir Wila.
“Ternyata kakek mendengar keluhan kita kemarin,” tawa Anggi sambil memegang kristal prisma di tangannya.
Pangeran Collin mengangguk. “Penyihir Wila memang paling tahu cara menghilangkan kebosanan.”
“Ayo kembali, kita sudah berhasil menemukan kristalnya. Sekarang mari kita tangkap pencurinya,” kedip Pangeran Lori.

Ketiga anak itu tertawa bersama dan berlari pulang menuju istana. Mereka tidak sabar untuk menceritakan petualangan mereka mencari warna yang hilang.