Celana yang Tertukar
Dian Onasis
Hari Senin telah tiba. Seperti biasa, Kurcaci Bimo masih saja terburu-buru menyiapkan baju sekolahnya.
“Bund, lihat baju olahraga Bimo nggak?” teriak Kurcaci Bimo dari kamar. Posisi kamarnya di bagian atas rumah pohon. Tak ada jawaban dari Bunda. Sepertinya Bunda sibuk mengurus kedua adik kembarnya. Kurcaci Bimo hanya tinggal berempat dengan ibu dan dua adik kembarnya di sebuah rumah pohon yang besar.
Kurcaci Bimo mencari baju olahraganya di lemari. Tidak ada. Eh, tapi tunggu dulu. Ah ini dia, terselip di antara baju mainnya. Segera Kurcaci Bimo masukkan ke tas sekolah. Hemmm, apalagi ya belum ya? pikirnya. Matanya melirik jam di dinding kamar. Waaah, sudah pukul 6 lewat. Seharusnya dia sudah mandi. Gara-gara mencari baju olahraga, Kurcaci Bimo banyak kehilangan waktu.
Akhirnya, lagi-lagi Kurcaci Bimo tergopoh-gopoh melakukan semuanya. Sarapan jamur dan minum madu cair dilakuan cepat-cepat.
“Pelan-pelan ketika mengunyah sarapan, Nak,” ingat Bunda sambil menggeleng. Bunda sudah sering mengingatkan Kurcaci Bimo, agar menyiapkan semua keperluan sekolah di malam hari. Sayangnya, tidak didengar oleh Kurcaci Bimo.
Madu cair dalam gelas belum habis, Kurcaci Bimo sudah berjalan sambil minum, dan mengambil handuk. Lalu menghabiskan minuman di dalam kamar mandi. Kemarin-kemarin, Kurcaci Bimo pernah lupa jika rambutnya masih bersampo , dan ia langsung keluar kamar mandi. Semuanya tergesa-gesa.
Selesai mandi, Kurcaci Bimo mengenakan seragamnya, yang terbuat dari lapisan kayu yang sudah diolah menjadi kain yang bagus.
“Bundaaa!” tiba-tiba Kurcaci Bimo berteriak dari kamar.
Bunda segera meletakkan adik kembar Bimo ke dalam tempat tidur bayi yang terbuat dari batok kelapa besar. Bunda berlari menuju kamar Kurcaci Bimo.
“Ada apa, Nak?” tanya Bunda khawatir. Teriakan Kurcaci Bimo tadi seperti ada tupai yang hendak mencuri persediaan makanan mereka.
“Ini… kenapa celana sekolah Bimo kekecilan?. Bimo jadi susah berjalan.” Wajah Kurcaci Bimo tampak merah. Apalagi bagian telinganya yang runcing. Selalu begitu jika Kurcaci Bimo kesal dan khawatir.
“Coba buka, biar Bunda lihat!”
Kurcaci Bimo lalu menyerahkan celana sekolah tersebut kepada Bunda.
“Astaga ini milik Kurcaci Rafi!” kata Bunda kaget, sambil membaca nama yang tertulis di bagian bawah celana.
“Eh, kok, bisa?” tanya Kurcaci Bimo bingung
“Iya, bisa saja. Ini pasti karena kamu terburu-buru memasukkan seragam ke dalam tas waktu ganti baju olahraga kegiatan ekskul minggu lalu,” duga Bunda.
“Duh, jadi, bagaimana nih, Bund?” Kurcaci Bimo mulai khawatir. Karena, seragamnya setiap hari berganti. Hari ini celananya berwarna putih. Setiap hari seragam sekolah Kurcaci Bimo memang berbeda. Ada 5 jenis seragam yang harus dikenakannya, selama sekolah.
“Yaaah, Bunda jadi kasihan sama Rafi. Tubuh Rafikan kecil, pasti celananya kebesaran. Baiklah, sebentar, Bunda hubungi dulu Bunda Rafi, ya!” kata Bunda menahan tawa. Bunda segera turun ke bawah pohon, menarik sebuah akar tua yang telah diberi mantra oleh Penyihir bijak, sehingga seluruh penduduk, dapat saling berkomunukasi melalui akar pohon tersebut.
Tak lama, Bunda naik ke kamar Bimo dan berkata, “Ya sudah, dipakai dulu saja celana Rafi, nanti tukeran di kelas,” kata Bunda menahan senyum dan mengelus kepala Bimo. “Sekarang Bimo cepat sekolah, itu Pak Hadi Kurcaci Besar, sudah menunggu untuk mengantarkanmu.”
Bimo menunduk melihat celananya yang kekecilan. Ini semua gara-gara ia selalu terburu-buru, sehingga lalai mengecek seragam yang dimasukkannya ke dalam tas, minggu lalu.
Sepanjang perjalanan dengan kereta yang ditarik sepasang kumbang raksasa yang jinak, teman-teman Kurcaci Bimo berbisik-bisik. Sejak awal, mereka menatapnya dengan takjub. Kurcaci Bimo yang berjalan seperti penguin, terlihat aneh dan hati. Dengan susah payah mereka berusaha menertawakan. Pak Hadi Kurcaci Besar, bahkan menutup mulutnya rapat-rapat. Meski kumisnya bergerak-gerak karena menahan tawa.
Telinga runcing Kurcaci Bimo kembali memerah. Ia kesal. Tapi ia berusaha menghibur diri, karena akan mempunyai teman senasib. Kurcaci Rafi sebentar lagi akan datang, mengenakan celana yang kebesaran. Karena memang, tubuhnya lebih besar serta lebih tinggi dari Rafi. Membayangkan hal itu, telinga Kurcaci Bimo tidak memerah lagi.
Sesampai di sekolah, Kurcaci Bimo dengan hati-hati turun dari kereta. Ia khawatir celananya sobek. Setelah turun, Kurcaci Bimo berdiri di dekat pintu masuk sekolah, yang ditandai dengan sulur-sulur daun yang hijau terang. Ia tak sabar menunggu Rafi.
Ternyata, tebakan Kurcaci Bimo salah. Kurcaci Rafi memilih tidak masuk sekolah, karena malu dengan celana kebesaran. Bimo terpaksa mengikuti upacara bendera dengan celana kekecilan.
Kurcaci Bimo berusaha melupakan rasa malu dan tak nyamannya. Sebagai kurcaci , ia tak pernah bisa diam. Akhirnya ketika jam istirahat, teman-temannya bermain bola sepak, Kurcaci Bimo ikut berlari, dan lupa dengan celana sempitnya.
“Sreet!” Terdengar suara kain robek.
Kurcaci Bimo terdiam. Celana milik Rafi yang dipakainya robek. Tak lama, suara tawa teman-temannya pun meledak. Kali ini, Kurcaci Bimo ikut tertawa. Ia menertawakan dirinya. Kurcaci Bimo pun kapok. Selanjutnya ia akan selalu menyiapkan seragam dan menyimpannya dengan baik.