Selasa, 11 April 2017

Obat untuk Raja

Dimuat di Majalah Bobo

Obat Untuk Raja
Oleh : Liza Erfiana
           
Langkah dua kurcaci terhenti, keraguan mulai menyelimuti. Beberapa kurcaci pernah diutus untuk mencari kaktus merah dan bunga lidah sepuluh semuanya tak menemukan hasil.
Aku tak yakin akan mendapatkannya,” Popo yang berbadan tegap membuka percakapan.
“Sama, aku juga sangat ragu, tapi demi kesembuhan baginda raja, amanat ini harus kita jalankan,” timpal Godi kurcaci yang lebih muda.
“Sesuai mimpiku kita harus ke utara. Ramuan itu ada di negeri manusia,” papar Godi sedikit gelisah.
“Aduh, manusia itukan jahat! Tak ada yang bisa pulang jika sudah terjebak di sana,” Popo semakin ketakutan. Soalnya cerita yang berkembang di negeri mereka, manusia itu adalah makhluk yang menyeramkan.
Kemudian kedua kurcaci itu melanjutkan perjalanannya lagi. Semak belukar, duri, binatang buas tak jadi penghalang buat mereka. Akhirnya tempat  tersebut ditemukan, tanaman kaktus merah dan bunga lidah sepuluh tumbuh subur.
“Wawwwww....indahnya negeri manusia!” Popo berdecak kagum.
 “Ayo cepat, jangan terlena!” ucap Godi menepuk bahu sahabatnya.
Keduanya dengan cepat menghambur ke tempat tumbuh-tumbuhan itu. Dengan sigap mereka memetiknya kemudian memasukkannya ke dalam tas yang terbuat dari kulit kayu.
 “Heyyyyyyy... jangan ambil tanamanku!” tiba-tiba jeritan lantang seorang perempuan tua keluar dari rumah.
 Keduanya panik bukan kepalang. Kaki mereka sangat gemetar, tak bisa dibawa lari.
“Maafkan kami, Nenek!” Godi menjurah hormat.
 “Sekarang ikut aku ke rumah! sebelum aku berteriak, dan orang-orang di sekitar sini menangkap kalian!”
Godi mencoba mantra Dumplek Tungtung yang terkenal di negeri mereka, tapi mulutnya terasa kaku, dia juga tak bisa menggerakkan tangannya.
“Ilmu kalian hambar di sini!”
Mereka saling pandang, Keduanya sangat pucat. Tak ada yang bisa dilakukan, selain menuruti perintah nenek itu.
“Aku tak bisa melihat negeri kita lagi,” bisik Popo. Godi mengangguk pasrah Negeri Kurcaci telah tertutup kabut tebal.
“Kenapa kalian lancang mengambil tanamanku?”  nenek itu menatap tajam.
“Hampir sebulan raja kami, Baginda Rendarf Alasarf sakit. Obatnya hanya kaktus merah dan bunga lidah sepuluh. Kami hanya mengikuti petunjuk mimpiku, bahwa tanaman ini ada di sini,”papar Godi sedih.
“Apapun alasan kalian, yang bersalah tetap harus dihukum.”
***
Akhirnya, kedua kurcaci itu menjalani hukuman. Mereka harus membantu merawat bunga-bunga tersebut. Lama kelamaan,  mereka merasa kasihan pada Nek Selme yang tinggal sendirian. Dengan senang hati mereka kemudian membantu Nek Selme mengerjakan pekerjaan yang lain. Seperti menyapu, menimba air dan membelah kayu bakar.
Aku ingin pulang! Aku rindu rumahku," keluh Popo suatu malam.
"Ya, aku juga memikirkan kesehatan baginda," timpal Godi.
“Tapi, bagaimana lagi? kita tidak berhasil menemukan jalan pulang. Mungkin setelah hukuman kita selesai, kita bisa pulang, makanya kita harus terus semangat dan tulus menjalaninya" sambung Godi lagi.
"Oleoo...wakaka...tur..tur..wket..wket...lala...lala...wket...wket...”Popo menyanyikan lagu bangsa kurcaci. Agar rindunya sedikit berkurang. Godi  kemudian ikut bernyanyi.
Karena asiknya mereka tak menyadari Nek Selme telah berada diantara mereka,  mulut Nek Selme bergerak-gerak mengikuti nyanyian itu.Walaupun sedikit sumbang tapi Nek Selme masih hapal dengan liriknya.
“Apakah Welang Biru raja kalian?” tanya Nek Selme, membuat mereka berhenti menyanyi. Keduanya melongoh heran.
“Ya, itu adalah nama raja kami. Karena sangat bijaksana dan baik, kami rakyatnya memberi gelar Rendarf Alasarf atau berhati mulia,” Godi menjelaskan.
 “Pulanglah, Nenek rela kalian membawa tanaman-tanaman tersebut. Selamatkan sahabatku,” tutur Nek Selme sedih. Keduanya kembali melongoh.
Nek Selme menceritakan awal kisah persahabatan mereka, karena asiknya berburu Welang Biru tersesat sampai ke negeri manusia. Dia menjadi incaran orang-orang  untuk dijadikan pemain sirkus. Nek Selme kemudian menyelamatkannya. Selama pencarian jalan keluar menuju Negeri Kurcaci, Welang Biru mengajari Nek Selme bernyanyi Oleo Wakakaka.
Welang Biru juga memberinya sebuah gelang simbol Negeri Kurcaci yaitu akar pohon berulir sisik naga.
Usai bercerita Nek Selme buru-buru ke halaman depan. Dia sendiri yang memetik bunga-bunga tersebut. Mereka harus kembali secepatnya, supaya sahabatnya bisa selamat.
Nek Selme merapal mantera kemudian menyuruh keduanya menggeser sebuah batu hitam berbentuk kepala singa. Perlahan-lahan kabut tebal itu menghilang, tampaklah perbatasan negeri kurcaci.
“Hanya yang berhati tulus bisa menggeser batu itu, kembalilah! Sampaikan salamku pada Welang Biru,” Nek Selme memberikan bungkusan bunga-bunga itu.
            Keduanya saling pandang. Tak lupa mereka mengucapkan terimakasih atas kebaikan Nek Selme.Walaupun sedih, mereka harus pulang. Kapanpun mereka hendak berkunjung pintu selalu terbuka.
            “Selamat tinggal Nek Selme!” ucap mereka, kemudian tubuh keduanya menghilang seiring bergesernya batu hitam tersebut.
            Sambil tersenyum, Nek Selme membalas dengan lambaian tangan,” selamat jalan sahabatku.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar