Kamis, 27 April 2017

Chiko Takut Gelap

Dimuat di Majalah Bobo


CHIKO TAKUT GELAP
*FiFadila*

Matahari terbenam. Gelap pun merayap. Chiko mempercepat kepak sayapnya agar segera sampai di rumah pohonnya. Berkali-kali Chiko menengok ke belakang. Takut jika ada musuh memangsanya.
Chikomengunci pintu rumah pohonnya rapat-rapat. Ia pun menyalakan lilin di setiap sudut ruangan. Dia duduk di kursi dengan wajah pucat. Ia menyalahkan dirinya karena terlalu asyik berlatih tari. Sehingga lupa bahwa malam yang menyeramkan sudah datang.
Tok Tok Tok. Suara ketukan pintu membuat Chiko bersembunyi di bawah meja.
            “Chiko, aku Vania. Buka pintunya.”
            Chikolega. Dia segera membuka pintu dan menarik Vania masuk, “Cepat masuk sebelum kelelawar datang.”
            “Aduh Chiko, panas sekali rumahmu,” protes Vania memasuki rumahnya.
            Di rumah Chiko banyak lilin. Tapi pintu dan jendela tertutup semua.
            “Ratu Frilia memintamu menari di pesta Kerajaan besok. Kau tahu kan Ratu mengundang tamu dari kerajaan lain. Dia selalu memuji tarianmu yang gemulai.”
            Chikoternganga. Pesta ulangtahun kerajaan selalu diadakan pada malam hari. Sedangkan dia takut keluar malam. Banyak hal buruk bisa terjadi dalam gelap. Ada perangkap sarang laba-laba. Ada kodokpemakan serangga. Ada jurai pohon beringin yang membuat serangga kecil sepertinya tersesat.
            Chikobersedih, “Aku tidak mungkin datang. Bisakah kau cari kunang-kunang yang bisa menggantikanku?”
            “Astaga, kau masih takut keluar malam?”
            Celia menunduk malu.
            “Chiko, kau aneh. Kita ini kunang-kunang. Tubuh kita mengeluarkan cahaya dalam gelap.”  
            “Justru itu yang membuatku takut. Cahaya kita menarik perhatian para mangsa. Bagaimana kalau ada kelelawar menelanku?”
            “Ketakutanmu sangat berlebihan.Cobalah sekali saja kau keluar malam. tidak akan terjadi apa-apa padamu. Ratu  akan kecewa jika kau tidak datang.”   
            “Tolong jangan paksa aku. Kuharap Ratu mengerti,” Chiko memelas.
            “Sayang sekali,” seru Vania sebelum pulang, “Susah mencari penggantimu. Kau harus ijin sendiri pada Ratu.”
            Malam itu Chiko tidak bisa tidur. Dia kecewa tidak bisa hadir di pesta ulangtahun kerajaan. Tapi ketakutannya pada gelap lebih besar dari kekecewaannya. Chiko mondar-mandir. Dia memikirkan hadiah untuk Ratu. Dia berharap sebuah hadiah istimewa bisa mengobati kekecewaan Ratu.
            Di tengah kebingungannya, Chiko mendengar sesuatu. Ada suara tangis di luar. Awalnya dia mengira itu kucing hutan. Tapi ada sebuah nama yang menarik perhatiannya. Chikomencari sumber suara. Persis di jendela.
            “Huhuhu… Ibunda Ratu, Zalia tersesat. Huhuhu…”
            Chikomengenal suara itu. Zalia adalah putri termuda kerajaan kunang-kunang. Istana pasti panik. Chiko segera mengajak Putri Zalia masuk.
            Sambil menangis Putri Zalia menceritakan kecerobohannya, “Aku sedang cari bunga paling cantik untuk Ibunda Ratu. Sepertinya aku keluar istana terlalu jauh. Dan sekarang aku tersesat. Huhuhu… aku mau pulang.”
            Chikokasihan pada putri kecil itu. Pendar cahaya PutriZalia sedikit pudar karena kebanyakan menangis. Chikoingin mengantarkan Putri Zalia pulang. Tapi, dia sendiri takut keluar malam. Namun, jika putri tidak pulang, Ratu dan seluruh istana pasti panik.Chiko cemas memikirkan Ratu Frilia bersedih karena putrinya hilang.
            “Cup..cup.. jangan nangis. Aku akan mengantar Putri pulang,” kata Chikoakhirnya.
            Tangis Putri Zalia langsung sirna. Wajahnya cerah mendengar tawaran Chiko.
Chikomembuka pintu. Jantungnya mendadak berdegub kencang. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanyalah gelap. Chikobergidik. Dia kembali menutup pintu.
            “Bagaimana kalau kuantarkan besok pagi?” tanya Chikogemetaran.
            Wajah cerah Putri Zalia kembali murung. Isakan kecil Putri Zalia kembali terdengar.
            “Baiklah, baiklah. Aku antar Putri sekarang. Jangan menangis lagi.”
Chiko menggandeng Putri Zalia erat-erat. Dengan jantung berdegub, Chiko terbang mengarungi malam.Chiko sangat hati-hati memilih jalan.
“Awas, ada sarang laba-laba di pohon itu,” Chiko menghindar dengan lincah,
“Kakak hebat melihat sarang itu. Pendar cahaya kakak terang sekali sih,” puji Putri Zalia.
Tiba-tiba di atas mereka melintas bayangan hitam. Chiko ketakutan. Itu adalah kelelawar. Satu kelelawar terbang cepat ke arah mereka. Chiko cepat menghindar ke sebuah pohon dan hampir menangis ketakutan.
“Kakak, lihat. Kelelawar makan buah jambu,” seru Putri Zalia.
Chikomelihat melihat seekor kelelawar menempel di pohon mangga. Dilihatnya Putri Zalia sama sekali tidak takut pada kelelawar. Ia merasa malu. Ternyata kelelawar makan buah. Bukan makan kunang-kunang.
Chikomengajak Putri melanjutkan perjalanan. Kali ini mereka melewati sebuah kolam yang luas. Kawanan kodok berkwok-kwok di bawah mereka. Chiko terbang sangat tinggi. Dia takut lidah panjang kodok-kodok menangkapnya.
“Daag kodok. Kalian makan nyamuk saja ya. Kak Chiko punya cahaya terang untuk menghindari lidah panjang kalian,” Putri Zalia meleletkan lidah ke arah kolam.
Chikomerasa lega setelah menyeberangi kolam. Dia bisa melihat istana Ratu Frilia di depan mereka. Tak berapa lama kemudian mereka sudah berada di istana.
Ratu Frilia memeluk putrinya dengan erat. Ia sangat berterima kasih pada Chiko. Tidak lupa Ratu menyampaikan undangan padanya untuk menari di pesta kerajaan besok malam.
Tanpa raguChiko menerima undangan itu. Ternyata tidak ada yang perlu ditakutkan dalam gelap. Benar kata Vania, dia kan kunang-kunang. Pendar cahayanya bisa membantunya menghindari musuh dengan mudah.(*)







Jumat, 21 April 2017

Pak Weling

Dimuat di Majalah Bobo - Foto Yulina 


PAK WELING
Oleh: Yulina Trihaningsih

            Pak Weling adalah kurcaci tua dengan kerut-kerut tebal di wajahnya. Jenggot panjang berwarna kelabu tampak menghiasi dagunya. Sepasang mata hijaunya tampak awas melihat sekelilingnya. Pak Weling jarang tersenyum, sehingga banyak kurcaci yang enggan menyapanya.
            Sebenarnya, Pak Weling tidak jahat. Ia hanya tidak suka keramaian dan berkumpul bersama kurcaci lain. Ia lebih suka menghabiskan waktunya di rumah mungil dan kebun apel miliknya, yang terletak di ujung desa kurcaci.
            Pagi ini, Pak Weling sudah berada di kebun apelnya. Ia berjalan perlahan-lahan di antara pohon-pohon apel yang rimbun. Buah apelnya jenis istimewa. Berwarna putih keperakan, dan rasanya manis dan renyah bila digigit.
Dua hari lagi waktunya panen. Apel-apel itu harus dipetik tepat sebelum salju pertama turun. Karena, apel-apel itu akan langsung membusuk bila terkena salju.
            “Selamat pagi, Pak Weling,” sebuah sapaan ramah terdengar dari pinggir pagar kebunnya. Pak Weling melihat siapa yang datang. Oh, ternyata Gus, si kurcaci pos.
            “Pagi,” balas Pak Weling singkat.
            “Aku membawa surat undangan kerja bakti besok pagi, Pak,” Gus tersenyum sambil menyerahkan selembar kertas putih.
            Pak Weling menerimanya sambil cemberut. “Terima kasih, Gus. Tapi, akhir-akhir ini aku mudah lelah, dan sakit kakiku sering kumat.”
            “Oh, semoga engkau cepat sembuh, Pak Weling. Nanti akan aku sampaikan pada Pak Kepala Desa.” Gus berlalu sambil mendorong gerobaknya yang berisi surat dan paket untuk warga desa kurcaci.
            Begitulah selalu sikap Pak Weling bila diundang.
Minggu lalu, ia menolak ajakan Bu Tapsi tetangganya untuk menjenguk Nyonya April yang sudah seminggu sakit. Pak Weling beralasan sibuk membasmi ulat yang terlihat ada di beberapa pohon apelnya. Bahkan, saat ada undangan perayaan ulang tahun desa kurcaci di balai desa, Pak Weling pun tak datang.
            “Masih banyak hal lain yang bisa kukerjakan di rumah. Aku bisa menyiangi rumput liar, atau menambal baju kerjaku,” begitu kata Pak Weling kepada dirinya sendiri. “Aku senang melakukan semua hal sendirian. Lagipula, aku, kan tidak pernah merepotkan kurcaci lain.”
            Hari panen telah tiba. Pak Weling sudah menyiapkan setumpuk keranjang untuk tempat menyimpan apel-apelnya. Pak Weling memandang barisan apel yang ranum dan berjuntai rendah di tangkai pohon dengan puas.
            Dengan bantuan tangga, Pak Weling memutuskan untuk memetik buah apel yang letaknya tinggi terlebih dahulu. Ketika sudah hampir berada di puncak tangga, Pak Weling terpeleset dan jatuh dari ketinggian.
            Gedebuk! Suara tubuh Pak Weling ketika beradu dengan tanah yang tertutupi rumput terdengar kencang.
            “Wadooow ...” Pak Weling menjerit kencang. Oh, Pak Weling yang malang! Pasti sakit sekali rasanya. Langkah kaki berlari terdengar mendekat. Gus terbelalak menatap Pak Weling yang meringis kesakitan di tanah.
            “Ya ampun, Pak Weling, mari aku bantu,” Gus bergegas memapah Pak Weling. Pak Weling berteriak ketika berusaha berdiri. Wajahnya memerah, dan matanya berair. Dengan cepat, Gus memapah Pak Weling menuju gerobaknya. Ia langsung membawa Pak Weling ke rumah Dokter Ryu di tengah desa.
            “Sepertinya, kau harus beristirahat selama dua hari di sini, Pak Weling,” kata Dokter Ryu tenang sambil membalut kaki Pak Weling dengan perban.
            “Dua hari? Tidak mungkin! Aku harus memanen kebun apelku!” seru Pak Weling tidak sabar.
            “Tapi, kau juga tak bisa memanen kebun apelmu dengan kaki terkilir seperti ini.”
            Pak Weling kecewa sekali. Ia terus memikirkan kebun apel yang sangat dicintainya.
            Dua hari kemudian, dengan naik gerobak Gus, Pak Weling pulang ke rumah. Wajahnya muram dan hatinya murung. Sepanjang jalan, desa kurcaci tampak indah berkilauan tertutup lapisan berwarna putih. Ya, salju pertama telah turun semalam.
Pak Weling sedih memikirkan apel-apelnya yang tentunya sudah membusuk di pohon. Ia juga teringat belum memasukkan kayu bakar untuk membuat perapian. Rumahnya tentulah dingin dan sunyi.
Ketika sampai, Gus membantu memapah Pak Weling untuk berjalan. Begitu memasuki pintu rumahnya, Pak Weling terbelalak. Lidah api menari-nari di perapian, mengirimkan udara hangat ke seluruh ruangan. Di dapur, tampak Nyonya April, ibu Gus, mondar-mandir sedang memanggang kue. Aroma manis ini... tak salah lagi, ini pasti tart apel kesukaannya!
“Warga desa kurcaci membantu memanen kebun apelmu kemarin, Pak Weling,” Gus berkata bersemangat. “Semua apelmu sudah aman di gudang, sekarang.”
“Oh, selamat datang Pak Weling,” Nyonya April menyambut ramah. “Aku harap, kau tidak keberatan aku buatkan tart apel dari beberapa butir apelmu yang terjatuh di kebun.”
Pak Weling berterima kasih sambil tersenyum malu. Ternyata, tak selamanya ia mampu hidup sendiri. Bantuan kurcaci lain sangat berharga pada saat ia sedang sakit.
***


Selasa, 11 April 2017

Obat untuk Raja

Dimuat di Majalah Bobo

Obat Untuk Raja
Oleh : Liza Erfiana
           
Langkah dua kurcaci terhenti, keraguan mulai menyelimuti. Beberapa kurcaci pernah diutus untuk mencari kaktus merah dan bunga lidah sepuluh semuanya tak menemukan hasil.
Aku tak yakin akan mendapatkannya,” Popo yang berbadan tegap membuka percakapan.
“Sama, aku juga sangat ragu, tapi demi kesembuhan baginda raja, amanat ini harus kita jalankan,” timpal Godi kurcaci yang lebih muda.
“Sesuai mimpiku kita harus ke utara. Ramuan itu ada di negeri manusia,” papar Godi sedikit gelisah.
“Aduh, manusia itukan jahat! Tak ada yang bisa pulang jika sudah terjebak di sana,” Popo semakin ketakutan. Soalnya cerita yang berkembang di negeri mereka, manusia itu adalah makhluk yang menyeramkan.
Kemudian kedua kurcaci itu melanjutkan perjalanannya lagi. Semak belukar, duri, binatang buas tak jadi penghalang buat mereka. Akhirnya tempat  tersebut ditemukan, tanaman kaktus merah dan bunga lidah sepuluh tumbuh subur.
“Wawwwww....indahnya negeri manusia!” Popo berdecak kagum.
 “Ayo cepat, jangan terlena!” ucap Godi menepuk bahu sahabatnya.
Keduanya dengan cepat menghambur ke tempat tumbuh-tumbuhan itu. Dengan sigap mereka memetiknya kemudian memasukkannya ke dalam tas yang terbuat dari kulit kayu.
 “Heyyyyyyy... jangan ambil tanamanku!” tiba-tiba jeritan lantang seorang perempuan tua keluar dari rumah.
 Keduanya panik bukan kepalang. Kaki mereka sangat gemetar, tak bisa dibawa lari.
“Maafkan kami, Nenek!” Godi menjurah hormat.
 “Sekarang ikut aku ke rumah! sebelum aku berteriak, dan orang-orang di sekitar sini menangkap kalian!”
Godi mencoba mantra Dumplek Tungtung yang terkenal di negeri mereka, tapi mulutnya terasa kaku, dia juga tak bisa menggerakkan tangannya.
“Ilmu kalian hambar di sini!”
Mereka saling pandang, Keduanya sangat pucat. Tak ada yang bisa dilakukan, selain menuruti perintah nenek itu.
“Aku tak bisa melihat negeri kita lagi,” bisik Popo. Godi mengangguk pasrah Negeri Kurcaci telah tertutup kabut tebal.
“Kenapa kalian lancang mengambil tanamanku?”  nenek itu menatap tajam.
“Hampir sebulan raja kami, Baginda Rendarf Alasarf sakit. Obatnya hanya kaktus merah dan bunga lidah sepuluh. Kami hanya mengikuti petunjuk mimpiku, bahwa tanaman ini ada di sini,”papar Godi sedih.
“Apapun alasan kalian, yang bersalah tetap harus dihukum.”
***
Akhirnya, kedua kurcaci itu menjalani hukuman. Mereka harus membantu merawat bunga-bunga tersebut. Lama kelamaan,  mereka merasa kasihan pada Nek Selme yang tinggal sendirian. Dengan senang hati mereka kemudian membantu Nek Selme mengerjakan pekerjaan yang lain. Seperti menyapu, menimba air dan membelah kayu bakar.
Aku ingin pulang! Aku rindu rumahku," keluh Popo suatu malam.
"Ya, aku juga memikirkan kesehatan baginda," timpal Godi.
“Tapi, bagaimana lagi? kita tidak berhasil menemukan jalan pulang. Mungkin setelah hukuman kita selesai, kita bisa pulang, makanya kita harus terus semangat dan tulus menjalaninya" sambung Godi lagi.
"Oleoo...wakaka...tur..tur..wket..wket...lala...lala...wket...wket...”Popo menyanyikan lagu bangsa kurcaci. Agar rindunya sedikit berkurang. Godi  kemudian ikut bernyanyi.
Karena asiknya mereka tak menyadari Nek Selme telah berada diantara mereka,  mulut Nek Selme bergerak-gerak mengikuti nyanyian itu.Walaupun sedikit sumbang tapi Nek Selme masih hapal dengan liriknya.
“Apakah Welang Biru raja kalian?” tanya Nek Selme, membuat mereka berhenti menyanyi. Keduanya melongoh heran.
“Ya, itu adalah nama raja kami. Karena sangat bijaksana dan baik, kami rakyatnya memberi gelar Rendarf Alasarf atau berhati mulia,” Godi menjelaskan.
 “Pulanglah, Nenek rela kalian membawa tanaman-tanaman tersebut. Selamatkan sahabatku,” tutur Nek Selme sedih. Keduanya kembali melongoh.
Nek Selme menceritakan awal kisah persahabatan mereka, karena asiknya berburu Welang Biru tersesat sampai ke negeri manusia. Dia menjadi incaran orang-orang  untuk dijadikan pemain sirkus. Nek Selme kemudian menyelamatkannya. Selama pencarian jalan keluar menuju Negeri Kurcaci, Welang Biru mengajari Nek Selme bernyanyi Oleo Wakakaka.
Welang Biru juga memberinya sebuah gelang simbol Negeri Kurcaci yaitu akar pohon berulir sisik naga.
Usai bercerita Nek Selme buru-buru ke halaman depan. Dia sendiri yang memetik bunga-bunga tersebut. Mereka harus kembali secepatnya, supaya sahabatnya bisa selamat.
Nek Selme merapal mantera kemudian menyuruh keduanya menggeser sebuah batu hitam berbentuk kepala singa. Perlahan-lahan kabut tebal itu menghilang, tampaklah perbatasan negeri kurcaci.
“Hanya yang berhati tulus bisa menggeser batu itu, kembalilah! Sampaikan salamku pada Welang Biru,” Nek Selme memberikan bungkusan bunga-bunga itu.
            Keduanya saling pandang. Tak lupa mereka mengucapkan terimakasih atas kebaikan Nek Selme.Walaupun sedih, mereka harus pulang. Kapanpun mereka hendak berkunjung pintu selalu terbuka.
            “Selamat tinggal Nek Selme!” ucap mereka, kemudian tubuh keduanya menghilang seiring bergesernya batu hitam tersebut.
            Sambil tersenyum, Nek Selme membalas dengan lambaian tangan,” selamat jalan sahabatku.”


Minggu, 02 April 2017

Meru Semut Merah

Dimuat di Majalah Bobo edisi 47, 2 Maret 2017


Meru Semut Merah
Oleh: Agnes Dessyana

            “Meru, ikut kami mengumpulkan makanan,” ajak Emu, sahabatnya.
            “Malas ah. Aku ngantuk.”
            Emu menggelengkan kepalanya dan pergi meninggalkan Meru. Meru adalah seekor semut merah yang terkenal sangat malas. Ketika teman-temannya mencari gula atau makanan manis lainnya, Meru hanya tidur. Tetapi, ketika teman-temanya datang membawa makanan, Meru selalu makan paling banyak.
            Berkali-kali Meru telah ditegur oleh Ratu Semut Merah dan Emu.Tetapi Meru tetap tidak mau ikut mencari makanan. Para semut merah lain sudah sangat kesal dengan kelakuan Meru, tapi masih mencoba bersabar.
            Suatu ketika, tibalah musim hujan yang berkepanjangan. Kawanan semut merah mulai sulit mencari makanan dan persediaan makanan juga mulai habis.
            “Kita harus berjuang lebih keras untuk mencari makan,” ujar Ratu Semut Merah. “Akan berbahaya jika kita sampai kehabisan makanan.”
            Para semut merah mengangguk setuju dan berjanji untuk bekerja lebih keras. Semua sangat antusias untuk mencari makanan lebih rajin. kecuali Meru, si pemalas. Meru terus saja mengerutu.
            Bekerja keras adalah hal yang sangat tidak menyenangkan bagi Meru.Meru hanya ikut pergi untuk mendapat santapan pertama dari makanan yang didapatkan oleh teman-temannya.
Suatu siang, saat Meru sedang berjalan-jalan di bawah pohon, ia melihat sekelompok semut hitam sedang menyantap kue manis.
Sepertinya enak. Pikir Meru. Aku ingin sekali mencoba kue itu. Tapi, bagaimana caranya.
Di saat itu, Meru melihat seorang manusia lelaki merokok di samping pohon. Ia melihat banyak debu-debu hitam jatuh dari puntung rokok yang dihisapnya. Sebuah ide muncul dalam otak Meru.
Meru perlahan berjalan ke atas debu rokok dan melapisi badannya yang merah. Ia pun berubah menjadi seperti seekor semut hitam.
Meru kemudian mendekati kawanan semut hitam yang sedang menyantap kue manis.
“Hai, boleh aku ikut bergabung?” sapa Meru.
Para semut hitam itu saling berpadangan. Mereka mendekatkan diri pada Meru dan menggosok-gossokkan sungut mereka. Tanda perkenalan pada semut baru.
Kawanan semut hitam itu memperbolehkan Meru ikut makan. Meru makan dengan lahap.Setelah selesai makan, ia pergi meninggalkan kawanan semut hitam. Ia kembali ke liang rumahnya dan tidur.
Keesokan harinya, hal yang sama dilakukan Meru. Ia menyamar untuk mengelabui kawanan semut hitam. Beberapa kali, Meru melakukan hal itu demi mendapat makanan gratis.
Meru sangat senang. Ia bisa tetap bersantai dan mendapat makanan enak. Namun, kejadian itu tidak berlangsung lama. Pada suatu siang saat ia menyamar, nasib sial mendatanginya.
Saat sedang menikmati makanan, setetes embun menyiram badan Meru. Debu yang melapisi tubuhnya luntur dan badannya berubah merah.
“Kamu bukan kawanan kami!” seru salah satu semut hitam.
Semut hitam yang lain juga marah. “Kamu telah menipu kami.”
Kawanan semut hitam itu marah dan melaporkan Meru pada Ratu Semut Merah.
Ratu Semut Merah marah. “Meru, kamu sangat tidak setia. Saat teman-temanmu bersusah payah mencari makan, kamu malahmenipu semut hitam.”
Meru hanya menunduk. Ia akhirnya diusir dari kawanan semut merah.
Sejak saat itu, Meru hidup sendirian.Tidak ada yang mau menemani semut merah yang pemalas. Ia sekarang harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan makanannya. Ia mencari makan sendirian dan tidur sendirian.
Meru yang dulu malas sekarang berubah menjadi semut yang rajin dan giat bekerja. Ia sekarang tahu pentingnya bekerja keras demi mendapatkan makanan. Satu hal yang kurang adalah Meru merasa sangat kesepian. Meru rindu dengan teman-temannya, terutama Emu, sahabatnya. Tapi, ia tidak berani untuk kembali ke liang lamanya.
Mereka terlihat sangat gembira bersama. Aku menyesal telah bersikap jahat pada mereka. Pikir Meru dengan sedih sambil menatap Emu yang sedang mengangkut nektar bersama dengan beberapa semut merah lain.
Kebetulan Emu melihat tatapan Meru. Emu pun menjadi iba pada sahabatnya. Emu pun mendekati Meru.
“Meru, bagaimana kabarmu?”
“Aku baik,” jawab Meru singkat.
Meru baru akan pergi meninggalkan Emu ketika Emu menahannya.
“Kamu mau ikut bergabung lagi dengan kami?”
Meru menatap Emu. “Apakah bisa?”
Emu menatap teman-teman semut merah lain. Awalnya, mereka enggan tapi akhirnya setuju karena merasa kasihan dengan Meru. Kawanan semut merah itu kemudian meminta persetujuan dari Ratu Semut Merah.
“Baiklah, Meru boleh kembali ke liang ini,” ujar Ratu Semut Merah. “Tapi, ia harus berjanji untuk tidak malas lagi.”
Meru mengangguk. Ia merasa bahagia ketika diterima oleh teman-temannya. Ia tidak lagi hidup sendirian. Ia kini bekerja dengan rajin bersama teman-temannya. Meru, si pemalas telah berubah. Dalam hatinya, ia berjanji untuk tidak pernah malas lagi.