Senin, 18 Desember 2017

Resep Rahasia Bu Edwina

Dimuat di majalah Bobo


RESEP RAHASIA BU EDWINA
Oleh: Ruri Ummu Zayyan

Di ujung jalan desa Wolden terdapat toko roti dan kue milik Bu Flora. Sayangnya,Bu Flora merasa makin hari tokonya makin sepi saja.
“Cobalah kau pergi ke toko kue di desa Winsbury. Aku dengar toko itu sangat laris. Toko itu milik sahabatmu, Edwina kan?” saran Pak Arthur, suami Bu Flora suatu hari.
“Ah, barangkali ada sesuatu yang bisa aku pelajari di sana. Mungkin Edwina punya resep rahasia. Semoga ia tidak keberatan membaginya denganku,” pikir Bu Flora. Dengan menumpang kereta kuda Pak Peter, petani yang akan mengantar wortel ke desa Winsbury, sampailah Bu Flora di toko Bu Edwina pagi-pagi sekali.
“Flora sahabatku, apa yang membawamu kemari?” tanya Bu Edwina ramah sambil menghidangkan secangkir cokelat panas.
“Edwina, aku ingin toko rotiku ramai seperti tokomu. Mungkin ada resep yang bisa kau bagi denganku?” tanya Bu Flora sambil tersipu. “Apakah kau punya resep baru?” lanjutnya.
“Wah, sayangnya tidak ada, Flora. Resepku sama saja dengan roti yang biasa dibuat semua orang,” jawab Bu Edwina terus terang.
“Mungkin selainya? Kata orang selaimu sangat enak.”
“Itu kata orang, Flora. Mungkin karena mereka menyukainya. Tapi resepnya sama saja dengan selai biasa.” Bu Edwina meyakinkan.
“Benarkah? Ah, kau hanya merendah, Edwina.”
“Baiklah, aku akan mencatatkan resepnya untukmu. Kau mau?”
“Tentu saja aku mau!” Bu Flora bersemangat sekali.
Tak lama kemudian Bu Edwina sudah selesai menuliskan resep selainya. Bu Flora membacanya dengan teliti.
“Bahan-bahan, stroberi segar, gula tebu murni,” Bu Flora bergumam sendiri membaca resep Bu Edwina.
“Kau juga boleh melihatku membuatnya, Flora!” tambah Bu Edwina.
“Benarkah? Terima kasih Edwina!” Bu Flora berseru kegirangan. Ia masih yakin Bu Edwina memiliki resep selai rahasia.
Mereka pun pergi ke dapur untuk membuat selai. Bu Flora menyimak dengan hati-hati. Ia takut ada langkah yang terlewat.
“Pastikan kualinya bersih.”
“Aduk terus supaya tidak menggumpal tak rata.”
“Gunakan api kecil.”
Bu Edwina terus memberi petunjuk. Tetapi semua caranya sama saja dengan yang biasa dilakukan Bu Flora. Ketika Bu Flora mencicipinya, memang selainya sedikit lebih enak. Mungkin karena bahan-bahannya yang segar.
“Kau benar-benar tidak memakai cara khusus ya?”
“Tadi sudah kukatakan. Ah ya, sekarang saatnya aku membuka toko,” kata Bu Edwina sambil beranjak.
Di luar toko sudah menunggu dua anak perempuan berbaju compang-camping. Mantel mereka penuh tambalan.
“Mereka Hannah dan Mary. Yatim piatu yang tinggal di seberang jalan,” bisik Bu Edwina pada Bu Flora.
“Selamat pagi, Nyonya. Kami ingin membeli pancake,” anak perempuan yang lebih besar menyodorkan beberapa keping uang logam.
“Simpan saja uangmu, Hannah. Sekarang duduklah dengan adikmu, nikmati pancake hangat ini!” Bu Edwina menghidangkan pancake yang terlihat sangat lezat. “Kau ingin selai apa? Aku membuat selai dari sayuran. Cobalah! Bagus untuk Mary yang susah makan sayur,” lanjutnya.
Bu Flora memperhatikan semua yang dilakukan Bu Edwina.
Tak lama kemudian, sebuah kereta kuda bertirai berhenti di depan toko Bu Edwina. Pasti pemiliknya orang kaya.
“Selamat pagi, Tuan Richard. Ingin membeli roti apa hari ini?” sapa Bu Edwina ramah.
“Seperti biasa, Edwina. Pie apel dengan selai stroberi, kesukaan Claire,” jawab Tuan Richard.
“Ah, sayang sekali, Tuan. Persediaan apel kami habis. Tak ada pie apel untuk hari ini. Mungkin Claire akan menyukai kue yang lain?” Bu Edwina menawarkan beberapa jenis kue.
“Oh, sepertinya tidak,” jawab Tuan Richard. Tiba-tiba ia melihat Hannah dan Mary yang sedang memakan pancake dengan lahapnya.
“Kelihatannya sangat enak. Aku ingin membeli kue yang seperti itu untuk Claire,” kata Tuan Richard.
“Baiklah,” Bu Edwina sangat senang.
“Tambahkan juga roti yang itu, ini juga, dan yang di sana itu. Lebih banyak pilihan lebih baik bukan? Aku tidak tahu Claire akan menyukai yang mana,” Tuan Richard menunjuk beberapa kue. Akhirnya ia keluar toko membawa banyak sekali kue. Bu Flora takjub dibuatnya.
Setelah Tuan Richard pergi, datanglah sepasang suami istri. Bu Edwina menyapa mereka dengan ramah.
“Selamat pagi Liz dan Henry. Sepertinya kalian mau pergi ke suatu tempat?”
“Betul, Nyonya. Kami akan pergi ke kota asal Liz. Kami ingin membeli kue untuk bekal di kereta api,” jawab Henry.
“Benarkah? Kalau begitu bawalah beberapa kue untuk oleh-oleh. Tenang saja, ini gratis. Sampaikan salamku pada keluarga Liz,” Bu Edwina membungkus beberapa kue. Henry dan Liz meninggalkan toko dengan senang. Sementara Bu Flora kagum pada kemurahan hati Bu Edwina.
Tak lama kemudian, Henry dan Liz kembali ke toko.
“Nyonya, kami ingin memberikan oleh-oleh untuk keluarga nenek dan bibi juga. Kali ini jangan gratis. Kami akan membelinya,” kata Henry.
Bu Flora manggut-manggut. Akhirnya ia menemukan resep rahasia Bu Edwina, yaitu keramahan dan kemurahan hati.


Jumat, 03 November 2017

Kerucut Bibi Karen

Dimuat di majalah Bobo


KERUCUT BIBI KAREN
Oleh: Ruri Ummu Zayyan

Putri Amelia sedang bersedih.Bibi Karen, pengasuh yang sangat disayanginya baru saja meninggal. Saat sakit parah, dengan terbata-bata, Bibi Karen hanya mengucapkan, “kerucut..., perdamaian..., kamu dan Adrian pasti bisa” sambil memberikan sebuah kerucut dari kertas.
Putri Amelia dan Bibi Karen berencana akan menghias kerucut itu untuk topi karnaval musim panas. Tapi Bibi Karen keburu meninggal.
“Mungkin Bibi Karen ingin kau menyelesaikan hiasan topi itu,” kata Pangeran Adrian, kakak Putri Amelia.
Lalu apa maksud Bibi Karen dengan kata perdamaian? Putri Amelia bertanya-tanya.
“Kak, apa kerucut bisa membawa perdamaian?” tanya Putri Amelia pada Pangeran Adrian.
“Hmm.. Mungkin kau bisa menghiasnya dengan kata “perdamaian”. Kau ajak teman-temanmu juga. Sambil berdoa semoga perang segera berakhir. Tuhan suka mengabulkan doa anak-anak,” jawaban Pangeran Adrian membuat mata Amelia berbinar.
Pangeran Adrian memang selalu brilian. Putri Amelia jadi punya ide tema untuk karnaval musim panas. Siapa tahu, dengan karnaval bertema perdamaian, perang dengan kerajaan Zeos akan segera berakhir.
Perang itu tidak enak. Putri Amelia banyak berteman dengan anak-anak prajurit yang meninggal di peperangan. Sedih sekali mereka. Selain itu, seluruh kerajaan jadi gelisah kalau sewaktu-waktu ada serangan. Raja George, ayah Putri Amelia tidak pernah bisa tidur nyenyak. Pokoknya, suasana istana jadi muram.
Putri Amelia mengajak teman-temannya menghias topi dengan kata perdamaian. Saat karnaval mereka berkeliling kota sambil menyebarkan selebaran perdamaian
Perdana menteri dan panglima perang juga mendapatkan selebaran itu. Mata mereka berkaca-kaca. Memang perang itu melelahkan. Anak-anak juga sedih.
Usai karnaval, perang belum ada tanda-tanda akan berakhir.
“Bibi Karen, maafkan aku. Kerucut itu tidak bisa membawa perdamaian,” keluh Putri Amelia di pusara Bibi Karen.
Pangeran Adrian yang melihat Putri Amelia jadi iba. Ia mengajak Putri Amelia berkeliling perbukitan dengan berkuda.
“Kak, sebenarnya apa yang menyebabkan kita berperang dengan kerajaan Zeos?” tanya Putri Amelia di perjalanan.
“Kata Ayah, kita memperebutkan wilayah pegunungan Marino.”
Putri Amelia pernah mengunjungi pegunungan Marino. Memang indah sekali. Ada beberapa desa di sana. Putri Amelia ingat, ada desa unik yang seluruh bangunannya memiliki atap berbentuk kerucut. Kakak Bibi Karen ada yang tinggal di desa itu. Namanya Pak Henry. Mereka punya anak bernama Alexander, sebaya dengan Pangeran Adrian. Putri Amelia menghentikan kudanya.
“Desa kerucut!”
“Ada apa, Amelia?”
“Kak, mungkinkah perdamaian yang dimaksud Bibi Karen ada hubungannya dengan desa kerucut di pegunungan Marino?” wajah Putri Amelia serius.
Pangeran Adrian berpikir sejenak.
“Tentu saja kalau kita tidak memperebutkan desa kerucut, kita jadi damai. Tapi apa mungkin?”
“Lagipula, apa yang bisa dilakukan oleh anak-anak seperti kita?” lanjut Pangeran Adrian.
“Tapi Kak, kata Bibi Karen, kita pasti bisa.”
“Kita masih anak-anak. Sudahlah, kamu jangan berpikir yang tidak-tidak.”
Putri Amelia terdiam. Kakak benar, apa yang bisa dilakukan anak-anak untuk membawa perdamaian di desa kerucut? ucap Putri Amelia dalam hati.
“Kak, bagaimana kalau kita ke desa kerucut. Mungkin ada petunjuk di sana?”
“Itu sangat berbahaya!”
“Kita menyamar saja, Kak.” Putri Amelia memang selalu ingin menyamar. Pasti seru ya, berada di tengah rakyat tanpa diketahui kalau ia seorang putri raja.
“Aku bilang, itu sangat berbahaya! Tidak mungkin Ayah mengijinkan.”
“Kalau begitu, kita tidak usah minta ijin Ayah.”
“Sudahlah. Mungkin maksud Bibi Karen, kita bisa saat kita dewasa nanti!”
“Kalau menunggu dewasa, perang jadi terlalu lama, Kak.” Amelia bersikeras.
“Ayolah, Kak!”
Berhari-hari, Putri Amelia membujuk Pangeran Adrian. Akhirnya, Pangeran Adrian menyerah. Meskipun berbahaya, sebagai putra mahkota, ia harus jadi pemberani.
Pada suatu hari, Pangeran Adrian dan Putri Amelia menyelinap keluar istana. Kuda dan perbekalan sudah disiapkan di sebuah gua di lereng bukit tempat mereka biasa bermain. Sebelumnya mereka membawa perbekalan secara bertahap agar tak dicurigai pengawal.
Sesampainya di desa kerucut, mereka segera menuju rumah Pak Henry. Untung Putri Amelia masih ingat dengan baik jalan menuju ke sana. Keluarga Pak Henry sangat baik. Alexander juga cepat akrab dengan mereka berdua. Mereka tidak membocorkan identitas Puri Amelia dan Pangeran Adrian yang sebenarnya
Beberapa hari mencari petunjuk tanpa hasil, Putri Amelia mulai putus asa. Pagi itu ia dan Pangeran Adrian berniat pamit.
“Sebelum kalian pulang, bisakah aku minta tolong?” kata Pak Henry.
“Tentu Pak. Apa yang bisa kami bantu?” kata Adrian.
“Ada sebuah rahasia tentang Alexander. Sebetulnya ia bukan anak kandung kami,” kata Pak Henry mengejutkan Putri Amelia dan Pangeran Adrian.
“Dulu, kami menemukan bayi Alexander di dalam hutan. Setelah beberapa tahun, baru kami tahu, Alexander adalah pangeran kerajaan Zeos yang hilang diculik. Ada tanda lahir di punggungnya. Tapi waktu itu kami tidak ingin kehilangan Alexander. Begitu kami siap mengembalikan Alexander pada keluarganya, perang keburu berkecamuk,” cerita Pak Henry.
Putri Amelia dan Pangeran Adrian berpandangan. Mereka tersenyum puas.
Selang beberapa hari, perdamaian benar-benar terwujud. Raja George mengirimkan utusan untuk mengabarkan bahwa Pangeran Alexander telah ditemukan. Ia diasuh dengan baik di desa kerucut. Raja dan ratu Zeos sangat berterimakasih. Mereka memutuskan menghentikan peperangan. Putri Amelia menyimpan kerucut Bibi Karen dengan bahagia.

“Terima kasih, Bibi Karen.”

Jumat, 27 Oktober 2017

Kue Pelangi

Dimuat di Majalah Bobo

KUE PELANGI LILA
Lotta
          “Ini warna apa, Dito?” tanyaku menunjukkan warna biru pada Dito, adikku. Tapi Dito menggeleng, tidak tahu.
“Aduuuh, kamu itu kok diajari susah benar,sih? Ini itu warna biru. Bi… ru!” kataku  mengeja.
“Bi… ru!”
“Itu kan kata Kakak!” ujarku kesal.
Dito sudah kelas satu SD. Tapi Dito belum mengenal warna. Dan kejadian itu pernah membuatku malu.
Saat itu, aku mengajak Dito untuk mengerjakan tugas membuat peta di rumah Lila, sahabatku. Dan Lila meminta tolong pada Dito yang bermain di dekat kami, untuk mengambilkan spidol warna hijau. Tapi Dito malah salah mengambil warna. Ia mengambil warna biru. Aku pun jadi malu. Apalagi Lila tertawa geli karena kesalahan Dito. 
Seperti sore ini, seharusnya aku mengerjakan tugas kelompok di rumah Lila. Tapi aku harus menjaga Dito,  karena Mama sedang pergi. Sebenarnya aku bisa saja mengajak Dito, karena iajuga anak yang manis. Dito suka membaca. Tapi memang agak lambat Dito menghapal warna-warna. Sementara adik teman-temanku masih kecil sudah bisa mengenal warna.
Kring-kring! Terdengar dering sepeda di halaman.
“Aduh, itu pasti Lila,” gumamku kesal. Aku melirik Dito yang masih belajar warna.
“Kak Sasa, ini warna apa?” tanya Dito menunjuk warna hijau.
“Hijau. Awas, jangan lupa lagi!” kataku galak.
“Iya. Hijau,” Dito mengulang.
“Sasa!” panggil Lila di depan.
Aku berlari keluar. Dan mendapatkan Lila datang membawa tas yang tampak menggembung karena sepertinya banyak isinya.  
“Kok kamu ke sini?” tanyaku kurang suka.
“Kan ini namanya tugas kelompok. Masa aku yang mengerjakan sendiri?” ujar Lila tertawa. “Aku sudah bawa buku tugas kita di sini dan bawa kue untuk kita.” Lila menunjuk tasnya.
Aku cemberut.
“Aku tidak disuruh masuk nih?” tanya Lila.
“Eh, iya. Yuk, masuk!
Aku pun mengajak Lila masuk ke rumahku.
Tampak Dito masih menghapal warna di ruang tengah. Mulutnya komat-kamit seperti orang berdo’a.
“Dito, kamu sedang apa?” tanya Lila.
“Ini, Kak Lila. Aku sedang menghapal warna. Tapi kenapa susah ya? Aku suka lupa,” jawab Dito.
“Wah, kebetulan. Kak Lila bawa kue pelangi. Kita bisa bermain tebak warna,” kata Lila mengambil kotak kue dari dalam tas lalu membuka kotak kuenya. 
 “Pasti enak rasanya, ya?” ujar Dito yang tampak ngiler melihat kue yang menarik dengan warna bersusun merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu seperti warna pelangi di depannya.
“Pasti enak. Dan Kak Lila mau membaginya untuk Dito.”
“Aku mau!” sahut Dito bersemangat.
“Tapi ada syaratnya.”
“Apa syaratnya?”
“Dito tebak dulu. Ini warna apa?” tanya Lila sambil menujuk warna biru pada kue pelangi.
Dito melihat warna itu dengan bingung. “Warna… warna… apa ya?”
“Ini warna biru, Dito.”
“Iya, aku lupa!” kata Dito tertawa.
“Yuk, Kak Lila tunjukin ya, biar Dito tidak lupa lagi.”
Lila menunjukkan warna-warna yang bersusun di kue pelangi itu pada Dito. Dito mulai menghapalnya. Lila begitu sabar mengajari Dito. Aku jadi iri melihat kedekatan mereka.
“Lila, kapan kita mengerjakan tugas kita?’ tanyaku.
“Sebentar ya, Sasa. Aku mau bermain tebak warna dulu sama Dito,” sahut Lila yang terlihat asyik bersama Dito.
Waktu berlalu, aku merasa bosan karena dibiarkan sendiri. Aku masuk ke kamarku untuk membaca buku. Sementara di luar, terdengar suara Lila dan Dito yang bersahutan menebak warna.
“Horeeee!!! Aku sudah bisa! Aku sudah bisa!” Dito berteriak senang.
Aku pun jadi ingin tahu.
“Waaah, Dito hebat!” Lila bertepuk tangan.
Wajah Dito nampak berseri-seri.
“Karena Dito sudah berhasil menebak warna dengan benar, sekarang Dito boleh makan kue pelanginya,” kata Lila sambil memberikan sepotong kue pelangi itu.
Dito menerimanya dan menatap kue pelangi itu. “Maaf ya kue pelangi, aku makan kamu,” katanya.
Hahaha Lila tertawa mendengar celoteh Dito.
“Sekarang, Kak Lila mengerjakan tugas dulu sama Kak Sasa ya?” kata Lila.
“Terima kasih, Kak Lila. Aku sudah diajak bermain tebak warna dan dikasih kue pelangi juga,” kata Dito.
“Sama-sama, Dito,” Lila tersenyum manis.
Diam-diam, aku yang sudah berdiri di pintu kamarku, merasa malu. Tapi bukan malu karena Dito tidak mengenal warna. Aku malu karena Lila yang bukan kakaknya Dito tapi mau mengajari Dito.
“Lila, kamu kok bisa sih mengajari Dito mengenal warna?” tanyaku saat kami sudah mulai mengerjakan tugas kelompok.
“Hahaha, aku tidak mengajari Dito. Tapi mengajaknya bermain tebak warna,” kata Lila ceria.
Aku pun mengangguk-angguk. Dalam hati, aku jadi malu. Aku selalu tidak sabar dan marah-marah mengajari Dito. Padahal Dito hanya perlu bermain untuk mengenal warna.   

Senin, 16 Oktober 2017

Putri Fidelya

Dimuat di Majalah Bobo


PUTRI FIDELYA
Oleh: Ruri Ummu Zayyan

Putri Fidelya tinggal di kerajaan Vivero yang subur dan makmur. Raja Bastian, ayah Fidelya adalah seorang raja yang sangat adil, bijaksana dan dicintai seluruh rakyatnya.
Namun, Fidelya merasa ada sesuatu yang kurang dalam hidupnya. Ia tidak seperti putri-putri raja dalam dongeng yang sering ia dengar. Paling cantik dan paling segalanya.
Fidelya tampak biasa saja. Wajahnya tidak secantik Melissa, putri perdana menteri. Rambutnya cokelat dan lurus, tidak seindah rambut Clara, putri kepala koki kerajaan, yang pirang bergelombang. Kulitnya pun tidak secerah dan sehalus Rania, putri panglima perang.
Belum lagi kalau melihat kemampuannya di sekolah istana Vivero. Di kelas membaca dan menulis, Fidelya tidak sepintar George, putra kepala pengawal kerajaan. Lalu di kelas berkebun, Edward adalah yang paling ahli, sebab ia memang putra dari menteri pertanian. Di kelas memasak, tentu saja Clara jagonya.
Fidelya merasa tidak ada yang bisa dibanggakan dari dirinya sebagai putri pewaris tahta kerajaan. Hari ini ia sangat gelisah. Sebab lusa, istana Vivero akan kedatangan tamu dari kerajaan Genovia. Fidelya takut kerajaan lain akan mengetahui kalau putri kerajaan Vivero sama sekali tidak bisa dibanggakan.

Pagi ini Fidelya ingin mengunjungi Bibi Vivian di kastil Malora. Sekolah diliburkan karena seluruh istana akan mulai bersiap menyambut kedatangan tamu dari kerajaan Genovia.
Bibi Vivian adalah kakak tertua dari ibu Fidelya. Ia tidak mempunyai anak, tapi mengasuh banyak anak yatim piatu di rumahnya. Kastil Malora adalah hadiah dari Raja Bastian karena kemuliaan hati Bibi Vivian. Setiap kali Fidelya jenuh atau sedih, Bibi Vivianlah yang selalu menghiburnya.
Dengan diantar beberapa pengawal, sampailah Fidelya di kastil Malora.
“Fidelya, kau datang, Sayang?” Suara lembut itu milik Bibi Vivian.
“Ya,Bibi. Hari ini sekolah libur.”
“Oh. Coba lihat dirimu. Mana senyummu? Kau tampak sangat gelisah,” Bibi Vivian membelai kedua pipi Fidelya.
“Ya, Bi. Aku memang sedang gelisah.”
Fidelya menceritakan semua kegelisahannya pada Bibi Vivian.
Bibi Vivian tersenyum.
“Oh, begitu. Jangan bersedih. Sekarang pergilah berkeliling. Biasanya kau akan ceria kembali setelah melihat-lihat taman bunga dan memetik buah-buahan segar,” hibur Bibi Vivian.
Bibi Vivian memanggil beberapa anak untuk menemani Fidelya.
Mereka berkeliling taman bunga yang sangat indah. Setelah itu, mereka menikmati buah-buahan segar di kebun. Semuanya adalah hasil kerja keras Bibi Vivian dan anak-anak asuhannya.  Fidelya sangat senang. Ia mulai bisa tersenyum.
“Nah, begitu. Kalau tersenyum, kau semakin cantik,” puji Bibi Vivian pada Fidelya.
“Ah, Bibi jangan berlebihan. Aku tidak secantik Melissa dan Clara.”
“Oh ya, sebelum kau pulang, kita bermain drama dulu ya, Sayang?”
“Drama apa,Bi?”
“Kau sebagai ratunya. Anak-anak lain sebagai rakyatmu. Ayolah, pasti kau senang,” Bibi Vivian menggandeng tangan Fidelya ke tengah taman. Di sana para anak asuhan Bibi Vivian sudah berkumpul.
“Yang Mulia Ratu Fidelya, terimalah salam hormat kami,” kata mereka serempak sambil berbaris rapi. Bibi Vivian mempersilakan Fidelya duduk di singgasana tiruan.
“Ehm..ehm.. Duduklah kalian semua,” Fidelya masih tersenyum-senyum. Ia berusaha menirukan ayahnya.
“Yang Mulia, kami ada masalah serius. Mohon bantu kami”
“Kami juga, Yang Mulia.”
“Begitu juga kami, Yang Mulia.”
Beberapa anak maju. Sepertinya mereka sudah berbagi peran ketika Fidelya berkeliling di kebun.
“Baiklah, ceritakan kepadaku permasalahan kalian!” jawab Fidelya.
“Kami dari kota Gloria. Di sana tidak ada sekolah. Kami tidak mau warga kami bodoh. Mohon kirimkanlah guru membaca dan menulis untuk kami!” kata anak yang pertama.
“Oh.. eh.. ehm.” Fidelya berpikir sejenak. “Baiklah, aku akan mengirimkan George ke kota Gloria. Ia akan mengajari kalian”
“Terima kasih atas kebijaksanaan Yang Mulia”
“Lalu apa permasalahanmu?” tanya Fidelya kepada anakyang kedua.
“Kami dari desa Botani, Yang Mulia. Hasil panen kami tahun ini sangat sedikit. Ada hama yang sangat ganas. Kami tidak mempunyai ahli pertanian. Mohon kirimkan seseorang untuk membantu kami.”
“Oh, tenanglah. Aku punya ahli pertanian. Edward namanya. Akan kukirimkan ia ke desa Botani,” jawab Fidelya.
“Terima kasih, Yang Mulia.”
Sidang tiruan itu terus berlanjut. Anak-anak yang sudah berbagi peran bergantian menyampaikan permasalahannya. Senyum Fidelya semakin mengembang. Ia mengerti sekarang, mengapa Bibi Vivian mengajaknya bermain drama. Kini ia belajar mengatasi permasalahan rakyat dengan memanfaatkan kemampuan teman-temannya di sekolah istana.
“Terima kasih, Bi. Sekarang aku sudah tidak sedih lagi.” Fidelya memeluk Bibi Vivian.
“Begitulah seharusnya, Sayang. Saat kau menjadi ratu, kau memerlukan banyak orang pandai untuk kemakmuran negerimu. Kau tidak harus menjadi yang paling baik dalam segala hal. Jangan pernah berpikir tidak ada yang bisa dibanggakan dari dirimu. Kau sangat pintar dan bijaksana,” kata Bibi Vivian lembut.
Fidelya mengangguk dan tersenyum.
“Saatnya aku pulang, Bi. Terima kasih semuanya.”
Bibi Vivian memandang kepergian Fidelya dengan senyum bahagia. Kelak, kerajaan Vivero akan memiliki seorang ratu yang adil dan bijaksana.


Jumat, 13 Oktober 2017

Rahasia Nyonya Ellena

Dimuat di Majalah Bobo

Rahasia Nyonya Ellena
Oleh : Bonita Irfanti

Nona Lupita belum lama pindah ke kota Wina. Ia diterima bekerja sebagai manajer di sebuah supermarket di kota itu. Jabatan ini sangat sesuai dengan Nona Lupita yang cerdas dan tegas.
Setiap pagi, Nona Lupita berjalan-jalan keliling komplek. Pepohonan di sisi-sisi jalan selalu membuat udara sangatsejuk. Apalagi rumah paling ujung. Satu-satunya rumah dengan pohon terbanyak.
Nenek Mila, tetangga Nona Lupita, pernah cerita, pemilik rumah itu bernama Nyonya Ellena. Suaminya sudah meninggal, dan anaknya-anaknya kuliah di luar kota. Sayangnya, ia jarang bergaul dengan tetangganya.
Nyonya Bianca, tetangga Nona Lupita yang lain juga menambahkan. Katanya tiap hari Minggu, mobil Nyonya Ellena pasti bolak-balik terus, dan membuat pusing orang yang melihat.
Jika jalan-jalan pagi, Nona Lupita suka berhenti di depan rumah Nyonya Ellena. Sekadar menghirup udara segar, atau menikmati kicau burung diantara rindangnya pohon palem dan akasia.

“Selamat pagi. Sedang olahraga?” Sebuah sapaan mengejutkan Nona Lupita. Karena keasyikan mengamati sarang burung, Nona Lupita tak sadar ada orang lain di balik pagar berjeruji rumah Nyonya Ellena.
“Oh, ya.” Nona Lupita mengangguk. Di hadapannya, berdiri seorang ibu memegang sapu lidi panjang.
“Apa Anda warga baru di sini? Saya belum pernah melihat Anda sebelumnya.” Wanita itu memerhatikan wajah Nona Lupita.
“Benar. Rumah saya bersebelahan dengan rumah Nyonya Bianca.” Nona Lupita tersenyum. Wanita itu hanya mengerutkan kening, lalu kembali menyapu halaman.
Nona Lupita juga melanjutkan jalan paginya. Tetapi sepanjang perjalanan, ia memikirkan wanita tadi. Jangan-jangan itu yang namanya Nyonya Ellena. Benar-benar wanita aneh. Saat aku menyebut nama Nyonya Bianca, masa ia hanya terdiam. Apa ia tak mengenal Nyonya Bianca?
Ciiittt!! Sebuah mobil mengerem mendadak. Nona Lupita terlonjak kaget. Gara-gara melamun, ia tidak melihat kanan kiri dulu saat hendak menyeberang jalan. Hampir saja ia tertabrak.
Dengan gemetar, Nona Lupita meminta maaf sambil mengangguk-angguk. Untunglah si pengendara balas mengangguk dari balik kaca mobilnya. Syukurlah, berarti ia tak marah.
***
“Bu Lupita, ada seorang pelanggan mengeluh. Telur pesanannya tidak bisa terpenuhi semuanya. Orang itu sekarang ada di ruangan Pak Antonio.” Seorang karyawan supermarket melapor. Padahal Nona Lupita baru sampai di kantornya.
“Kapan orang itu memesan?”
“Se-seminggu yang lalu.” Pekerja itu tiba-tiba tergagap.
Nona Lupita melotot. “Bagaimana itu bisa terjadi?”
Karyawan itu bercerita dengan wajah takut. Sebenarnya, pesanan sudah siap sejak dua hari lalu. Tapi karena stok telur di rak depan kosong, akhirnya setengah dari pesanan dipakai dulu.
“Kami pikir, kiriman telur akan datang hari ini. Ternyata dua hari lagi,” katanya sambil tertunduk.
“Kau tahu nama pelanggan itu?”
“Tentu. Ia pelanggan setia kita. Namanya Nyonya Ellena. Hampir seminggu sekali ia datang ke supermarket ini.”
Nyonya Ellena?
Nona Lupita bergegas ke ruangan Pak Antonio. Tetapi, dugaan Nona Lupita sepertinya keliru. Wajah Nyonya Ellena yang ini, berbeda dengan Nyonya Ellena yang kemarin ditemuinya.
“Nona, sepertinya saya mengenali Anda,” ujar wanita paruh baya itu tiba-tiba. Ia tampak mengingat-ingat. “Ah, ya! Anda yang kemarin hampir saya tabrak.” Nyonya Ellena tertawa. Membuat Nona Lupita tersipu.
“Anda tinggal di sana? Saya juga. Rumah saya berada paling ujung. Yang banyak pohonnya.”
Lho, ini Nyonya Ellena? Lalu siapa ibu yang menyapu itu?
“Saya tinggal berdua dengan asisten rumah tangga saya,” ucap Nyonya Ellena lagi, seolah bisa membaca pikiran Nona Lupita.
Oh, asisten rumah tangga? Pantas ia tak mengenal Nyonya Bianca.
“Nyonya, saya Lupita, manajer di sini. Saya benar-benar minta maaf atas ketidaknyamanan Anda. Ini murni kesalahan kami. Namun, bisakah jika pesanan Nyonya diganti dengan barang lain?” Nona Lupita menyatakan penyesalannya.
“Sayangnya tidak bisa. Bukankah untuk membuat kue kita harus menggunakan telur?”
“Kue? Saya dengar Anda memesan dua puluh kilo telur. Apa semuanya untuk membuat kue?”
Nyonya Ellena mengangguk membenarkan.
Nona Lupita mengernyit. “Banyak sekali. Apa Anda punya toko kue?”
Kali ini Nyonya Ellena menggeleng. “Kue-kue itu untuk anak-anak panti asuhan. Setiap hari, saya membuatkan aneka kue untuk camilan mereka. Bahkan jika hari Minggu, saya mengajak mereka ke rumah untuk membuat kue bersama. Meski saya harus bolak-balik menjemput mereka. Hahaha…”
Ooh… Nona Lupita terkesiap. Jadi itu sebabnya Nyonya Ellena jarang bergaul dengan tetangganya? Karena itu pula, tiap hari Minggu mobilnya jadi bolak-balik lewat?
Nona Lupita menyesal pernah menganggap Nyonya Ellena aneh. Ia tak menyangka, ternyata Nyonya Ellena berhati mulia.
“Nyonya, sebagai permintaan maaf, belanjaan Anda yang lain akan kami beri diskon,” ujar Nona Lupita.
“Lalu bagaimana dengan telur kekurangannya? Saya memerlukannya untuk besok. Besok hari Minggu, anak-anak akan datang ke rumah.”
“Kebetulan saya punya resep kue tanpa telur. Bolehkah jika besok saya ikut membantu membuat kue di rumah Anda?” pinta Nona Lupita.
“Tentu saja. Saya akan senang sekali. Kalau begitu, saya tunggu kedatangan Anda besok di rumah, Nona Lupita.”
Nona Lupita mengangguk tersenyum. Dengan mengetahui rahasia Nyonya Ellena, Nona Lupita berharap akan bisa melakukan dua hal. Membantu anak-anak panti, juga membersihkan nama baik Nyonya Ellena.

***

Selasa, 26 September 2017

Toko Kue Nyonya Gunpanti

Dimuat di Majalah Bobo

Toko Kue Nyonya Gunpanti

Oleh : Liza Erfiana

Di meja kasir, Nyonya Gunpanti berkali-kali menghitung keuntungan yang bakal dia peroleh, kalau mengerjakan pesanan kue dari Nyonya Sesilia. Dengan dinaikan dua kali lipat, Nyonya Sesilia tetap tidak keberatan. Berarti keuntungan yang akan didapatkan Nyonya Gunpanti semakin besar.
“Waw! Aku harus terima itu!” ucapnya berbinar.
Keesokan hari, Nyonya Sesilia kembali datang untuk membicarakan pesanannya kemarin. Dengan senang hati, Nyonya Gupanti menerima tawaran itu. Apalagi uang muka yang diberikan Nyonya Sesilia lebih dari separuh biaya kue seluruhnya.
Nyonya Sesilia memesan dua ratus loyang kue setiap hari, selama tiga hari berturut-turut. Sebagai bangsawan di Kota Pelangi, seperti ada keharusan baginya untuk merayakan Hari Kue dengan meriah. Nyonya Sesilia mengundang anak-anak dan orang kurang mampu untuk berpesta bersama.
Suasana toko mulai ramai, pengunjung telah berdatangan untuk membeli kue-kuenya yang lezat.
 “Selamat siang Nyonya Gunpati! Aku memesan dua loyang kue apel, untuk Hari Kue besok,” kata Nek Greci, ceria. Nyonya Gunpati menolaknya, karena harus mengerjakan pesanan Nyonya Sesilia.
Timi, yang biasa suka memesan kue nanas juga ditolak oleh Nyonya Gunpanti. Kakek Sam yang sangat menyukai kue lapis madu buatan Nyonya Gunpanti mengalami nasib yang sama. Hari itu semua pelanggan yang ingin memesan kue ditolak karena alasan yang sama.
Di kota Pelangi, toko Kue Nyonya Gunpanti sangat terkenal. Kuenya enak dan lezat, tempatnya bersih dan pelayanannya cepat, karena Nyonya Gunpati memiliki dua orang karyawan yang cekatan. Ditambah lagi, toko itu adalah yang paling besar, paling lama berdiri, karena merupakan warisan Nenek Asela, ibunya. Banyak toko lain yang tidak bertahan lama dan bangkrut, tetapi toko itu tetap berdiri megah. Setiap hari banyak pengunjung yang datang.
Toko Kue Nyonya Gunpanti tutup selama tiga hari, karena sedang mengerjakan kue-kue pesanan Nyonya Sesilia. Pelanggan yang sudah terlanjur datang, jadi kecewa. Akhirnya, mereka pulang dengan membuat kue sendiri atau mencari kue di toko lain.
Hari keempat, pesanan kue selesai sudah. Nyonya Gunpati benar-benar senang. Keuntungan yang didapatnya sungguh besar. Untuk menikmati kebahagian itu, Nyonya Gunpati tidak membuka tokonya di hari keempat. Dia sengaja ingin bersenang-senang dulu dan meliburkan karyawannya.
Hari kelima rencananya mereka akan buka kembali, tetapi gandum dan gula sangat langka di pasar. Akhirnya mereka libur kembali.
Hari keenam Nyonya Gunpanti membuka tokonya dengan ceria. Wangi kue dan roti menguar kemana-mana. Yang mencium aroma kue itu dijamin langsung menelan ludah.
Siang telah datang, biasanya pengunjung sudah ramai. Sekarang belum ada satu pun yang datang. Nyonya Gunpanti dan dua karyawannya terkantuk-kantuk di meja. Sore hari, datang satu pengunjung, Pak Jones namanya. Dia hanya membeli dua potong roti. Akibatnya, hari itu Nyonya Gunpati merugi, kue yang sudah dibuatnya tidak bisa dijual lagi esok pagi.
Hari kedua membuka toko, Nyonya Gunpanti sangat semangat. Namun, sama seperti kemarin, pengunjung masih sepi. Biasanya, mereka terus berdiri melayani pembeli, sekarang hanya duduk manis di meja masing-masing.
Hari ketiga dan keempat hujan turun sangat deras. Penduduk malas keluar rumah. Akhirnya, kue-kue di toko kue Nyonya Gunpanti masih terpajang manis.
Cuaca cerah di hari kelima. Nyonya Gunpati tidak patah semangat. Dia membuka kembali tokonya. Pengunjung yang datang masih sedikit.
“Ah...hampir seminggu aku merugi!” keluh Nyonya Gunpanti sembari mengurut kepalanya yang terasa dihimpit.
Sore hari, Nenek Grece, yang dulu pernah ditolaknya datang. Seperti biasa dua loyang kue apel dipesannya. Wajah Nyonya Gunpati kembali cerah. Pelanggan setianya telah datang.
“Pengunjung kecewa dengan keputusanmu. Seharusnya, kamu layani juga permintaan mereka. Jangan hanya ingin mendapatkan keuntungan besar kamu mengabaikan kami!” sindir Nenek Grece.
Deg....Nyonya Gunpanti tersadar. Kata-kata yang keluar dari mulut Nenek Grace seperti bola yang mengenai wajahnya. Dia telah mengabaikan pelanggannya demi keuntungan besar.
“Semoga saja kesalahanmu, akan terhapuskan oleh lezatnya kuemu!” ujar Nenek Grece berlalu pergi.
“Aamiin!” jawab Nyonya Gunpati tertunduk.
Ucapan Nenek Grece memang benar. Dia menyesal, seharusnya dia tetap melayani pelanggannya. Sebenarnya, Nyonya Gunpati bisa mengerjakan tiga ratus loyang perhari. Dengan dua ratus pesanan Nyonya Sesilia, dia masih ada waktu untuk mengerjakan pesanan pelanggannya.
 “Aku benar-benar ceroboh!” sesalnya.
Kini, Nyonya Gunpati harus berjuang untuk mendapatkan hati pelanggannya kembali. Dia berjanji tidak akan mengecewakan mereka lagi, karena pembeli adalah raja.