Jumat, 08 Maret 2013

SI SEMUT YANG JUARA

gambar : agus karianto
         Malam itu, terjadi kegaduhan di kerajaan semut. Salah satu warganya bernama Mumut memberanikan diri mengikuti pemilihan pengganti Raja Hutan yang sebentar lagi akan habis masa tugasnya. Memang seluruh warga semut mengakui bahwa kepemimpinan si Mumut selama ini patut diacungi jempol. Prestasi si Mumut sangat banyak. Setiap kali ada kegiatan di kerajaan semut, maka si Mumutlah yang menjadi pemimpinnya. Walaupun prestasi si Mumut selangit di kalangan mereka, namun seluruh warga semut merasa cemas dan ragu bila dia bertindak nekad mengikuti pemilihan raja hutan.
         "Ide gila, Mut," kata teman-teman si Mumut. "Sebaiknya batalkan saja ikut pemilihan raja hutan."
        "Iya, Mut. Urungkan saja niatmu yang tidak masuk akal itu," seru teman si Mumut yang lain.
       "Benar, Mut. Kalau kamu mencalonkan diri menjadi raja di kerajaan semut pasti aku dukung. Tapi...kalau mencalonkan diri menjadi Raja Hutan aku meragukan kemampuanmu."
       Namun si Mumut  tersenyum  mendengar kekhawatiran teman-temannya. Si Mumut enggan mengurungkan niatkan, bahkan tekadnya semakin kuat menjadi raja hutan. Dia tidak menyangkan ternyata banyak teman-temannya yang sangat perduli dengan keselamatannya.
       "Mut, hentikan niatmu!" kata semut merah. "Kami sesungguhnya khawatir dengan keselamatanmu. Kami khawatir kamu akan celaka bila harus bertarung dengan musuhmu. Musuhmu sangat berat, Mut. Kami khawatir kamu tidak sanggup melawannya." 
       "Benar, Mut. Lawan tandingmu adalah Si Gajah!! Tubuh Gajah sangat besar, Mut! Sekali injak dengan kakinya maka tubuhmu akan hilang ditelan bumi," kata semut yang lain meyakinkan.
Sementara itu, beratus-ratus semut yang ikut mendengarkannya perdebatan itu ikut resah dan gelisah dengan kenekatan si Mumut. Semuanya khawatir seandainya si Mumut tewas maka mereka kehilangan calon pemimpin terbaiknya.
       "Teman-teman," kata si Mumut mulai menjawab keresahan teman-temannya. "Saya ucapkan terima kasih karena kalian begitu peduli dan mengkhawatirkan keselamatanku. Sebenarnya, kekhawatiran teman-teman itu berlebihan. Kita tahu khan setiap warga memiliki hak yang sama untuk menduduki posisi Raja Hutan. Nah...selama ini Raja Hutan selalu dimonopoli oleh yang memiliki kekuatan besar. Warga yang kuat senantiasa diunggul-unggulkan menduduki posisi penting. Tetapi, kali ini aku akan merubah pola pikir itu. Aku percaya dan telah memiliki taktik untuk memenangkannya. Aku akan buktikan bahwa rakyat kecil seperti kita layak menjadi raja hutan"
        "Hah? Kamu yakin memiliki taktik untuk memenangkannya, Mut?" tanya teman-temannya agak ragu.
        "Benar, asal kita bersatu maka aku akan mampu mengalahkan lawanku."
        "Maksudmu kita bersatu itu bagaimana, Mut?"
        "Begini, teman-teman. Untuk mengalahkan Gajah, aku perlu bantuan kalian. Aku butuh kekompakan kita. Aku butuh persatuan kita. Aku butuh kebersamaan kita. Maka aku yakin kalau kita bersatu pasti si gajah dapat aku kalahkan. Maukah kalian berjuang bersama-sama aku?" tanya si Mumut bersemangat.
        Dan tanpa dikomando seluruh semut menjawab : "Mauuuuuuuuuuuuuu.....mau...mau...kita bersatu melawan si Gajah."
        "Terimakasih teman-teman." kata si Mumut. "Nah, sekarang kita mulai menyusun strategi."
        Kemudian si Mumut mulai membagi tugas kepada seluruh semut. Sebagian semut diperintahkan untuk mengumpulkan buah merica sebanyak-banyaknya. Dan sebagian semut bertugas menumbuk setiap merica yang telah disetorkankannya. Sebagian semut bertugas menyaring merica yang telah ditumbuk. Kemudian merica yang telah halus ditempatkan pada sebuah kantong yang akan dibawa si Mumut bertarung melawan si Gajah.
        "Okey, kalau semua sudah siap maka aku akan pergi menemui si  Gajah  untuk  memulai pertarungan," kata si Mumut sambil mengangkat kantong berisi bubuk merica. Sementara itu semua semut mengiringinya dari kejauhan. Si Mumut terus berjalan menuju tempat pertandingan.
         Di tempat pertandingan, si Mumut nampak berdiri tegap sambil menunggu si gajah datang. Sementara itu, teman-teman si Mumut menyaksikannya dari kejauhan. Seluruh semut saling bergandengan tangan sambil berdo'a agar si Mumut diberi kekuatan untuk menghadapi si gajah.
         Tidak berapa lama,  di kejauhan nampak debu-debu beterbangan. Terdengar suara yang nyaring seperti bunyi terompet. "Toeeeeettttt....toeeeettt....toeeetttt." Ternyata yang datang adalah si gajah yang akan menjadi lawan tanding si Mumut. Si gajah datang diiringi teman-temannya seperti sapi, kerbau, kuda nil, dan hewan-hewan besar lainnya.
        "Aduh bagaimana ini?" kata teman si Mumut mulai merasa resah. "Bagaimana mungkin si Mumut bisa menghadapi lawan sebesar itu? Aduh...bagaimana ini?" Namun keresahan para semut tiba-tiba terhenti ketika terdengar suara si gajah yang menggelegar.
        "Jadi yang menjadi lawan tandingku hanyalah seekor semut?!!!! Huuuahahahahahahaha....huuuahahaha....huuuahahaha...nekat benar kamu, Mut!" bentak si gajah sambil berkacak pinggang menunjukkan keangkuhan dan ketakaburannya.
       "Urungkan saja niatmu, Mut! Percuma kamu menghadapi kekuatanku! Kamu hewan kecil apa yang bisa kamu andalkan untuk bisa melawanku...hah?!"
       "Jangan takabur begitu, Gajah," kata si Mumut. "Setiap ketakaburan dan kesombongan tentu akan mencelakakan diri sendiri. Kamu jangan takabur dengan kekuatan yang kamu miliki sat ini. Semua kemungkinan bisa terjadi. Dan sebaiknya mari kita memulai pertandingan ini."
      "Puih ! Bukan sombong, Mut! Tapi ini kenyataan? Tubuhmu kecil, lalu mana bisa mengalahkan keperkasaanku. Sekali aku injak dengan kakiku maka tubuhmu akan masuk ke dalam tanah."
       "Berhenti menyombongkan diri, Gajah! Ayo segera hadapi aku!" kata semut sambil berlari menghampiri si gajah. Dan si gajah diam saja tidak menggerakkan tubuh sama sekali. Si gajah tahu bahwa dibutuhkan berpuluh-puluh langkah si  Mumut untuk bisa mendekati tubuhnya. Oleh karena itu sambil menunggu si semut berjalan di tubuhnya, si gajah memejamkan mata sambil tiduran di atas tanah. Si gajah benar-benar menganggap enteng kecerdikan si Mumut. Dan tidak berapa lama si Mumut telah berada di dekat belalai si gajah. Kemudian dia  mengeluarkan kantong yang berisi tumbukan merica halus dan secepat kilat merica halus tersebut ditaburkan ke kedua lobang hidung si Gajah. Sebelum si Gajah menyadari apa yang dilakukannya, maka si Mumut secepat kilat berlari memasuki telinga kanan si Gajah. Lalu dia menggigitnya kuat-kuat di beberapa tempat.
        "Toeeetttt...toeeettt...toeeett....aduh sakit..sakit...sakit...!!.telingaku sakit....hasiiihhhh....hasiihhh !!!," teriak si gajah menahan rasa sakit sambil berkali-kali bersin. Si gajah mencoba berusaha mengeluarkan hewan yang telah menggigit telinganya dengan belalainya, namun usahanya selalu gagal karena hidungnya telah dipenuhi oleh bubuk merica yang ditaburkan si Mumut sehingga hal inilah yang mengakibatkan dirinya senantiasa bersin terus menerus.
        Si gajah semakin resah merasakan telinganya sakit. Sementara itu hidungnya tidak henti-hentinya bersin. Akhirnya untuk meredakan rasa sakitnya, si  gajah berguling-guling ke atas tanah. Berkali-kali telinga kanannya dibentur-benturkan ke benda apa saja yang ada di dekatnya, namun rasa sakit di telinganya tidak hilang juga. Sementara itu, seluruh teman si Gajah tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka ingin menolong si gajah, namun si gajah terus meronta-ronta dan berlarian kesana kemari. Akhirnya, lama kelamaan tenaga si gajah mulai habis dan tubuhnya jatuh ke atas tanah tanpa bisa bergerak lagi. Si gajah sudah tidak berdaya. Dia akhirnya menyerah dan mengakui kekalahannya melawan si Mumut. "Aku mengaku kalah, Mut. Kamu memang hewan kecil namun amat cerdik." kata si gajah.
         "Horeee.....hore...hore...hore....hidup Mumut...Hidup Mumut...hidup Mumut," teriak para semut sambil berlarian mendekati si Mumut. "Hore...si Mumut yang cerdik kini berhak menjadi Raja Hutan....!"
         Si Gajah tertunduk malu. Dia malu telah meremehkan kecerdikan si Mumut. Ia menyesal telah bersikap takabur dan sombong dengan kekuatan diri sendiri. Setelah mengucapkan selamat atas kemenangan si Mumut, kemudian ia  pergi menjauh diikuti teman-temannya.


selesai

sumenep, 8 maret 2013      

Rabu, 06 Maret 2013

PERSAHABATAN GAJAH DAN KERBAU

gambar : agus karianto
         Dahulu kala, ada seorang petani yang memiliki hewan gajah dan kerbau. Hewan-hewan itulah yang membantunya dalam menggarap tanah pertaniannya. Gajah dan kerbau dengan senang hati bekerjasama membantu pak tani mengolah tanah pertanian. Setiap selesai mengolah tanah, mereka selalu mendapat jatah rumput yang segar dari pak tani. Dan mereka dengan senang hati memakan rumput itu bersama-sama.
         Namun, persahabatan gajah dan kerbau sedikit terganggu dengan kebiasaan jorok yang dimiliki kerbau. Si kerbau ternyata malas kalau disuruh mandi, sehingga setiap si gajah berdekatan dengannya maka akan tercium bau tidak enak yang sangat menusuk hidung si gajah. Mula-mula si gajah bisa tahan dan menyadari kekurangan temannya itu, tetapi lama kelamaan timbul rasa jengkelnya juga. "Kalau dibiarkan terus maka selera makanku akan hilang," pikir si gajah. Maka pada saat yang tepat si gajah menegur kebiasaan jorok temannya.
        "He, Kerbau. Tubuhmu bau...ayo sana mandi dulu ke sungai!" protes si gajah.
        Namun si kerbau pura-pura tidak dengar kata-kata si gajah.
        "Hei, kerbau. Tubuhmu bau...sudah lama kamu belum mandi!"
        "Oaaawww....malas," jawab si kerbau
         "Walah...walah...walah....jangan jorok begitu, ah! Badanmu bau...aku jadi malas kalau berdekatan dengan kamu."
         "Biar saja...aku malas mandi...dingin...badanku nanti bisa masuk angin...kamu mau kerokin tubuhku?"
         Dan si gajah tidak mau lagi berdebat karena takut merusak persahabatan mereka. Akhirnya dia pergi meninggalkan si kerbau sendirian.
         "Ya sudahlah kalau kamu bertahan dengan kemalasanmu...maka mulai besok aku enggan berdekatan dengan kamu lagi," demikian ancam si gajah.
         "Siapa takut.....siapa takut....oawwww," ejek si kerbau kepada si hajah.
         Pada keesokan hari setelah mereka menyelesaikan pekerjaan membajak sawah, sebagaimana biasa mereka mendapat jatah makan rumput dari pak tani. Dan sebagaimana kesepakatan sebelumnya si gajah enggan berdekatan dengan kerbau lagi. Si gajah berdiri di sebelah utara kotak makanan, sedang si kerbau berdiri di ujung sebelah selatan kotak makanan. Mereka berdiri berjauhan. Karena si gajah memiliki belalai yang panjang sehingga dengan enaknya dia meraih rumput-rumput yang letaknya jauh dari tempatnya berdiri. Sedangkan si kerbau hanya menikmati rumput yang ada di hadapannya saja. "Aduh...ini tidak adil," pikir si kerbau. "Aku cuma kebagian rumput sedikit, sedang si gajah mendapat jatah banyak? Ini tidak adil."
         "He he he he he.....kamu curang, Gajah! Kamu dapat rumput yang banyak sedangkan aku cuma mendapat jatah sedikit. Ini tidak adil'," protes si kerbau.
         "Ya adil kan! Kita berdiri berjauhan...siapa yang dapat meraih rumput sebanyak-banyaknya ya dia boleh menikmati sepuasnya. Ini kan perjanjian kita kemarin<' kata si gajah.
         Si kerbau akhirnya menyadari kesalahannya. "Kalau aku tidak segera mandi maka si gajah akan merebut jatah makanku setiap hari," kata si kerbau dalam hati. Dan sejak saat itu si kerbau senantiasa pergi ke sungai untuk membersihkan diri ke kali agar tubuhnya tidak bau lagi.
        Di kejauhan, si gajah tersenyum senang karena temannya sudah merobah kebiasaan joroknya. "Mulai besok aku akan memiliki teman yang hilang bau badannya. Dan aku akan membagi sama rata jatah makan rumputku dengan si kerbau."
        "Hoi, Gajah...kalau aku masuk angin maka kamu bertanggung jawab untuk menggosok tubuhku dengan minyak kayu putih yaaa....'" teriak si kerbau sambil terus berendam di dalam air sungai



selesai

sumenep, 7 maret 2013

Senin, 04 Maret 2013

KAKEK SENO YANG BIJAKSANA

gambar : agus karianto
       Mbah Seno, begitulah cara kami menyapa kepada seorang lelaki tua yang hidup sebatang kara di gubuk pinggir pantai.  Umurnya sudah menginjak tujuh puluh tahunan namun tenaganya masih kuat berjalan menyusuri  pantai setiap pagi hari. Dia orangnya ramah dan penyabar sehingga kami senang bila bermain bersamanya. Ada saja nasehat mulia yang dia sampaikan kepada anak-anak. Memang Mbah Seno senantiasa memegang prinsip hidup bahwa bila kita ingin hidup mulia maka selagi hidup kita harus senantiasa bermanfaat bagi siapa saja dan dimanapun berada.
        Sore itu, kami sengaja ingin berkunjung ke rumah Mbah Seno. Sudah tiga minggu sejak kami menghadapi ujian sekolah, memang kami jarang bisa keluar rumah. Kami harus bekerja keras. Kami harus berjihad dan bertarung mati-matian mempelajari pelajaran sekolah agar nilai ujian menjadi baik. Kata mbah Seno berjihadnya anak pelajar yaitu dengan cara mempelajari pelajaran sekolah. "Jadi belajar sungguh-sungguh termasuk ibadah dan berpahala juga lho," kata mbah seno beberapa waktu yang lalu.
        "Assalamu'alaikum," kata kami sewaktu tiba di rumah mbah Seno. Namun tidak ada jawaban salam kami dari dalam rumah Mbah Seno. Dan kami berusaha mengulangi mengucapkan salam lagi.
         "Assalamu'alaikum, Mbah Seno"
          Namun ucapan salam kedua kami juga tidak mendapat jawaban dari dalam rumah. Kami mulai resah dan saling bertanya.
          "Hei...ada nggak ya, mbah Seno? Kok sudah dua kali kita ucapkan salam tapi belum mendapat jawaban juga."
           "Iya nih, aneh, tidak biasanya Mbah Seno begini. Atau jangan-jangan beliau sakit?"
            Wah kami semakin resah dan panik kalau saja mbah seno benar-benar sakit. Lalu kami berusaha mencoba melongok ke dalam rumah untuk melihat kondisi mbah Seno. Namun kami semakin kecewa karena ternyata di dalam rumah mbah Seno juga tidak ada.
          "Kemana perginya Mbah Seno? Bukankah saat ini hari sudah sore, seharusnya beliau sudah berada di rumahnya...Wah pergi kemana beliau?"
          "Ini gara-gara kamu sih, Agus," kata Andik menyalahkan.
          "Lho kok aku dibawa-bawa? Memangnya salahku apa?"
          "Kamu kan tidak mau diajak keluar untuk mengunjungi Mbah Seno beberapa hari yang lalu? Beliau kan hidup sebatang kara, sehingga karena tidak ada teman akhirnya dia pergi entah kemana."
          "Lho...ya tidak bisa begitu, kawan. Bukankah kita sudah sepakat mentaati nasehat Mbah Seno untuk berjihad mati-matian mempelajari pelajaran kita agar nilainya bagus. Nah, resikonya ya kita memanfaatkan semaksimal mungkin waktu kita. Setiap detik waktu kita sangat berguna untuk belajar. Oleh karena itu, saya enggan membuang-buang waktu percuma hanya untuk sekedar bermain-main yang tidak ada gunanya."
           "Iya...tapi mengunjungi Mbah Seno kan berguna juga, Gus! Bukankah dia hidup sendirian...nah..."
           "Sudah..sudah...sudah..kita tidak usah berlama-lama berdebat...kita berpikir positif saja. Kita jangan menduga-duga sesuatu yang belum tentu kebenarannya. Lebih baik kita segera mencari ke sekitar pantai...biasanya Mbah Seno khan senang menyusuri pantai."
           "Ya iyalah...ayuk kita cari beliau bersama-sama..." dan kami serentak menyusuri tepian pantai sambil mencari keberadaan Mbah Seno. Setiap tempat dimana Mbah Seno sering menyendiri telah kami singgahi, namun Mbah Seno belum ketemu juga. Kami nyaris putus ada. Dan hari semakin sore, namun usaha kami tidak membawa hasil. Mbah seno sepertinya telah menghilang. Mbah Seno hilang. Mbah Seno hilang. Kami semakin merasa bersalah.
            Berita tentang hilangnya Mbah Seno cepat tersebar ke seluruh sudut kampung. Masyarakat mulai ramai memperbincangkan tentang hilangnya Mbah Seno. Dan atas  kesepakatan aparat desa, maka seluruh masyarakat dikerahkan untuk mencari keberadaan Mbah Seno. Oleh karena itu, sejak pagi hari  tanpa dikomando dan dengan sukarela seluruh masyarakat mulai menyebar ke seluruh pantai untuk mencari keberadaan Mbah Seno. Namun belum begitu lama, tiba-tiba salah satu warga berteriak kencang-kencang :
           "Hoiiiii....saya sudah menemukan Mbah Seno...saya sudah menemukan Mbah Seno...!!!"
           Seluruh warga segera menghentikan pencariannya. Dan mereka segera  berlarian menuju ke arah warga yang telah menemukan keberadaan Mbah Seno.
           "Ternyata  Mbah Seno masih segar bugar," kata beberapa warga. "Mbah Seno kemana saja semalaman? Kami seluruh warga merasa panik atas hilangnya Mbah Seno."
           "Maafkan Mbah Seno, cucu-cucuku," kata Mbah Seno "Memang semalaman Mbah Seno tidak pulang ke rumah. Mbah sengaja pergi ke kampung sebelah untuk mencari ini," kata Mbah Seno sambil menunjukkan sekeranjang bibit-bibit bakau.
          "Hah?! Apa ini Mbah?"
          "Lho...itu khan bibit bakau, Mbah "
          "Memangnya untuk apa mencari bibit bakau, Mbah ?"
          Mbah Seno terdiam. Dia mengambil nafas panjang berkali-kali. Lalu beliau mengambil sebuah bibit bakau untuk diperlihatkan kepada warga masyarakat.
         "Begini cucu-cucuku," kata Mbah Seno mulai bercerita. "Kalian kan tahu, kalau akhir-akhir ini desa kita sering sekali diterjang air laut. Sudah banyak rumah warga yang rusak. Bahkan saat terjadi ROB yaitu air laut pasang maka nyaris beberapa tempat tergenangi air laut. Kita kebanjiran. Dampaknya aktifitas warga akan terganggu. Belum lagi para nelayan sekarang semakin berkurang mendapatkan hasil tangkapan. Mbah ingat, dulu kita mudah mendapatkan udang, kepiting dan ikan-ikan. Namun sejak hutan bakau kita porak poranda, berantakan, banyak pemotongan liar dan nyaris pantai kita gundul maka kita semakin susah mendapatkan udang. Kita semakin sudah mendapatkan kepiting. Kita semakin susah meningkatkan hasil tangkapan di laut. Ikan-ikan senantiasa kita tangkap sedangkan habitat tempat udang, ikan dan kepiting bertelur tidak ada, sehingga wajarlah hidup kita semakin susah begini."
        "Tapi, Mbah, yang menurunkan rejeki itu khan Allah SWT...kalau memang rejeki kita cuma segitu ya kita terima saja."
        "Benar cucuku, namun sebagai manusia kita tidak boleh pasrah begitu saja. Apa karena Allah sudah menentukan rejeki kita maka kita pasrah begitu saja dengan kehidupan pantai yang rusak karena ulah kita?
Ini hukum alam. Ini sunatullah, cucuku. Barang siapa yang merawat lingkungannya maka Allah akan menurunkan nikmat sehatnya dan barang siapa yang mencoba merusak alam sekitarnya maka Allah juga akan menurunkan malapetaka bagi kehidupannya. Dan seperti yang kita saksikan di kampung kita ini. Banyak masyarakat sudah tidak perduli dengan lingkungan. Pohon bakau ditebang semaunya. Para nelayan mengambil semua hasil tangkapan tanpa memperdulikan ikan bibit tetap dia tangkap. Kita semakin jorok dengan membuang sampah sembarangan. Dan dampaknya dapat kita saksikan sekarang ini."
        Mendengar penjelasan Mbah Seno yang masuk akal membuat seluruh masyarakat sadar akan kesalahannya selama ini. Bapak kepala desa merasa senang atas sikap Mbah Seno yang masih perduli dengan kampungnya.
       "Lalu, sekarang apa yang harus kita lakukan, Mabh Seno?" kata masyarakat.
       "Begini, cucu-cucuku. Mbah semalam telah mengumpulkan sekarung bibit-bibit bakau. Nah, mbah minta kesadaran seluruh warga untuk menanami sepanjang pantai kita dengan bibit bakau ini. Dan marilah kita rawat dan kita hijaukan sepanjang pantai dengan pohon bakau. Karena dengan hutan bakau ini, insyaallah allah akan menurunkan rahmat dan rezekinya buat seluruh masyarakat. Bila sepanjang pantai kita telah menghijau dengan hutan bakau maka kita akan semakin sehat, para nelayan akan meningkat hasil tangkapannya dan ibu-ibu akan semakin mudah mendapatkan udang, kepiting dan ikan-ikan segar yang lezat."
        "Okey...okey...siap Mbah...siap Mbah...siap Mbah..." kata seluruh masyarakat spontan dan penuh kesadaran sambil mengambil bibi-bibit bakau untuk ditanamkan ke sepanjang pantai desa mereka.
Melihat masyarakatnya dengan senang hati berusaha menghijaukan kawasan pantai membuat Bapak kepala desa merasa senang dan diapun segera ikut terjun bersama warga mengambil bibit bakau untuk ditanamkan ke sepanjang pantai sambil berkata kepada Mbah Seno
       "Terima kasih, Mbah Seno. Kau layak mendapat julukan pahlawan sejati. Seorang pahlawan tidak memperdulikan apakah pengabdiannya dihargai orang atau tidak. Seorang pahlawan adalah pejuang yang mengabdikan dirinya agar bermanfaat bagi masyarakat banyak sekecil apapun nilainya."

Si Kakek Monyet yang pembohong

illustrasi : agus karianto
       Di sebuah hutan, hiduplah seekor monyet yang sudah tua. Semua teman-teman menyebutnya Kakek monyet. Dia kini hidup sendirian. Usianya yang sudah semakin tua menyebabkan dia tidak bisa mencari makanan ke dalam hutan. Oleh karena itu, setiap hari dia senantiasa mengharapkan pemberian makanan dari siapa saja yang kebetulan lewat di depan rumahnya.
       Suatu hari, kakek monyet dinobatkan sebagai raja hutan. Jabatan itu diberikan kepadanya hanya karena terpaksa, sebab Pak Harimau yang menjabat sebagai raja hutan saat itu sedang sakit parah. Sementara hewan-hewan lain yang pantas menggantikannya sedang bertugas mencari obat untuk kesembuhan rajanya. Sedangkan seluruh hewan yang tidak kebagian tugas merawat sang raja tidak mau ditunjuk sebagai raja sementara menggantikan Pak Harimau. Akhirnya, daripada terjadi kekosongan pimpinan di hutan maka terpaksa ditunjuklah kakek monyet untuk menjadi Raja hutan.
        Ternyata kepemimpinan kakek monyet tidak sebaik yang diharapkan hewan-hewan. Setelah menduduki jabatan raja hutan, dia sering berbuat tidak jujur. Sering berbuat curang, mau menangnya sendiri. Dan kalau menyelesaikan masalah, keputusannya senantiasa tidak adil. Dia selalu memenangkan  siapa saja yang bisa memberikan keuntungan padanya. Siapa yang bisa memberi hadiah besar maka perkaranya akan dimenangkan oleh kakek monyet. Meskipun mereka dijadikan terdakwa, namun kakek monyet bisa merobah keputusan dengan cara meringankan hukumam bahkan bisa membebaskannya dari segala tuduhan. Sehingga  perbuatan kakek monyet menjadikan seluruh penghuni hutan geram. Marah. Jengkel. Seluruh penghuni hutan berniat menggulingkan kepemimpinannya. Namun niat mereka tidak terlaksana sebab belum ada hewan lain yang berani menggantikan kedudukannya. Akhirnya mereka hanya bisa sabar sambil terus menunggu Pak Harimau sembuh.
         Betahun-tahun berlalu, ternyata Pak Harimau belum sembuh-sembuh juga. Hal ini membuat hewan-hewan sedih karena mereka semakin menderita dan tidak senang dengan kepemimpinan Kakek monyet. Namun lain halnya dengan sikap kakek monyet. Akibat Pak harimau yang tidak kunjung sembuh justru membuat kakek monyet semakin senang, karena jabatannya semakin panjang dan semakin lama dia menikmati enaknya fasilitas menjadi raja hutan.
         Suatu hari, kakek monyet membuat ulah. Saat ia istirahat di tepi danau sendirian, tiba-tiba dia berteriak sekencang-kencangnya.
        "Hoiiiii........ada buaya putih...," teriak kakek monyet.
         Seluruh penghuni hutan terkejut mendengar teriakan kakek monyet. Maka mereka serentak menghampiri kakek monyet yang sedang tiduran di tepi danau. Mereka memang menanti-nanti hewan yang bisa menggantikan kedudukan kakek monyet. Oleh karena itu, begitu mendengar kedatangan buaya putih maka mereka spontan merasa senang dan ingin menyambut kedatangannya. Mereka berniat mengganti kedudukan raja hutan yang dipegang kakek monyet kepada si buaya putih.
         "Mana buaya putihnya, kakek monyet?" tanya semua penghuni hutan.
         "Hahahahahaha...hohohoho...hihihihi....huhuhuhu.....kalian kena tipu," jawab kakek monyet sambil menari-nari dan melompat-lompat kegirangan. "Hahahaha...Mana ada di jaman sekarang buaya putih, sih! Kalian ini mudah kena tipu...hahahahaha..."
         Akhirnya, semua hewan pulang dengan perasaan kecewa dan dongkol kepada kakek monyet. Mereka jengkel karena telah dibohongi raja mereka. Namun belum lama hewan-hewan meninggalkan tempat dimana sang raja istirahat, tiba-tiba ada teriakan sang raja lagi.
         "Hoiiiiii.....rakyatku....ayo kemari....ternyata ada utusan buaya putih nih....cepat!" teriak kakek monyet.
          Dan seluruh hewan-hewan kembali percaya dengan panggilan sang raja. Mereka berlarian menghampiri sang raja yang sedang beristirahat. Tidak terkecuali hewan kecil, tua, muda, jantan dan betina semua mendatanginya. Namun lagi-lagi mereka menjadi kecewa karena ternyata sang raja telah membohonginya untuk yang kedua kalinya.
         "Hahahahaha..hohoho...hihihi....huhuhu.....rakyatku.....kachian dech lu...kalian kena tipu lagi..hohoho." kata kakek monyet sambil bernyanyi-nyanyi sambil tubuhnya berjumpalitan di atas tanah.
          Untuk yang kedua kalinya seluruh hewan semakin jengkel terhadap kebohongan raja mereka. Ternyata jabatan yang disandang kakek monyet disalahgunakan untuk membohongi rakyatnya. Kakek monyet tidak memikirkan akibat tingkahnya membohongi mereka. Akibat ulah si kakek monyet, membuat pekerjaan di rumah mereka terbengkalai. Pekerjaan memasak makanan tertunda, pekerjaan mencari air minum tertunda. Akhirnya, mereka pulang dengan perasaan kecewa. Mereka semakin apatis dengan sikap rajanya. Mereka  semakin waspada dan hati-hati serta tidak mudah percaya apabila raja mereka mengeluarkan perintah.
         "Hoiiiii....ada buaya...hoiii ada buaya....hoiiii ...tolong...tolong...tolong...ada buaya...sungguh nih ada buaya...tolong...tolong rakyatku !!!" teriak kakek monyet kebingungan sambil mencoba berlari dari tangkapan si buaya.
         "Ah....Kakek monyet mulai berbohong lagi, tuh, teman-teman," kata salah satu hewan.
         "Iya...sudah dua kali kita kena tipu," timpal yang lain.
         "Ya...biarkan saja kakek monyet teriak-teriak. Lebih baik kita melanjutkan pekerjaan kita yang belum selesai. Ayo...pulang..pulang...pulang...," kata hewan lainnya sambil berjalan pulang ke rumah masing-masing.
         Ternyata di pinggir danau, kakek monyet benar-benar berhadapan dengan sang buaya. Kakek monyet mencoba berkali-kali melepaskan diri dari gigitan si buaya, namun usahanya selalu gagal. Semakin kuat kakek monyet mengeluarkan tenaga untuk melepaskan diri dari gigitan sang buaya maka tenaganya semakin melemah. Akhirnya si buaya dengan mudah melumpuhkannya. Dan dengan sekali kibasan ekornya, membuat tubuh kakek monyet tidak berdaya dan akhirnya mati. Lalu si buaya membawa tubuh kakek monyet ke sarangnya.
          "Kasihan nasib Kakek Monyet," kata si burung kenari yang sejak lama memperhatikannya. "Akibat ulah kakek monyet yang selalu berkata bohong akhirnya banyak rakyatnya yang tidak percaya terhadap semua perintahnya. Disaat dia terjepit dan memerlukan bantuan namun rakyatnya sudah tidak mempercayai kata-lkatanya lagi. Ucapan sang raja dianggap angin lalu saja. UCAPAN SANG RAJA PASTILAH BOHONG BELAKA.


pesan moral : pemimpin atau siapa saja yang suka berbohong membuat orang tidak mempercayainya.

selesai

sumenep, 4 maret 2013