Jumat, 27 Oktober 2017

Kue Pelangi

Dimuat di Majalah Bobo

KUE PELANGI LILA
Lotta
          “Ini warna apa, Dito?” tanyaku menunjukkan warna biru pada Dito, adikku. Tapi Dito menggeleng, tidak tahu.
“Aduuuh, kamu itu kok diajari susah benar,sih? Ini itu warna biru. Bi… ru!” kataku  mengeja.
“Bi… ru!”
“Itu kan kata Kakak!” ujarku kesal.
Dito sudah kelas satu SD. Tapi Dito belum mengenal warna. Dan kejadian itu pernah membuatku malu.
Saat itu, aku mengajak Dito untuk mengerjakan tugas membuat peta di rumah Lila, sahabatku. Dan Lila meminta tolong pada Dito yang bermain di dekat kami, untuk mengambilkan spidol warna hijau. Tapi Dito malah salah mengambil warna. Ia mengambil warna biru. Aku pun jadi malu. Apalagi Lila tertawa geli karena kesalahan Dito. 
Seperti sore ini, seharusnya aku mengerjakan tugas kelompok di rumah Lila. Tapi aku harus menjaga Dito,  karena Mama sedang pergi. Sebenarnya aku bisa saja mengajak Dito, karena iajuga anak yang manis. Dito suka membaca. Tapi memang agak lambat Dito menghapal warna-warna. Sementara adik teman-temanku masih kecil sudah bisa mengenal warna.
Kring-kring! Terdengar dering sepeda di halaman.
“Aduh, itu pasti Lila,” gumamku kesal. Aku melirik Dito yang masih belajar warna.
“Kak Sasa, ini warna apa?” tanya Dito menunjuk warna hijau.
“Hijau. Awas, jangan lupa lagi!” kataku galak.
“Iya. Hijau,” Dito mengulang.
“Sasa!” panggil Lila di depan.
Aku berlari keluar. Dan mendapatkan Lila datang membawa tas yang tampak menggembung karena sepertinya banyak isinya.  
“Kok kamu ke sini?” tanyaku kurang suka.
“Kan ini namanya tugas kelompok. Masa aku yang mengerjakan sendiri?” ujar Lila tertawa. “Aku sudah bawa buku tugas kita di sini dan bawa kue untuk kita.” Lila menunjuk tasnya.
Aku cemberut.
“Aku tidak disuruh masuk nih?” tanya Lila.
“Eh, iya. Yuk, masuk!
Aku pun mengajak Lila masuk ke rumahku.
Tampak Dito masih menghapal warna di ruang tengah. Mulutnya komat-kamit seperti orang berdo’a.
“Dito, kamu sedang apa?” tanya Lila.
“Ini, Kak Lila. Aku sedang menghapal warna. Tapi kenapa susah ya? Aku suka lupa,” jawab Dito.
“Wah, kebetulan. Kak Lila bawa kue pelangi. Kita bisa bermain tebak warna,” kata Lila mengambil kotak kue dari dalam tas lalu membuka kotak kuenya. 
 “Pasti enak rasanya, ya?” ujar Dito yang tampak ngiler melihat kue yang menarik dengan warna bersusun merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu seperti warna pelangi di depannya.
“Pasti enak. Dan Kak Lila mau membaginya untuk Dito.”
“Aku mau!” sahut Dito bersemangat.
“Tapi ada syaratnya.”
“Apa syaratnya?”
“Dito tebak dulu. Ini warna apa?” tanya Lila sambil menujuk warna biru pada kue pelangi.
Dito melihat warna itu dengan bingung. “Warna… warna… apa ya?”
“Ini warna biru, Dito.”
“Iya, aku lupa!” kata Dito tertawa.
“Yuk, Kak Lila tunjukin ya, biar Dito tidak lupa lagi.”
Lila menunjukkan warna-warna yang bersusun di kue pelangi itu pada Dito. Dito mulai menghapalnya. Lila begitu sabar mengajari Dito. Aku jadi iri melihat kedekatan mereka.
“Lila, kapan kita mengerjakan tugas kita?’ tanyaku.
“Sebentar ya, Sasa. Aku mau bermain tebak warna dulu sama Dito,” sahut Lila yang terlihat asyik bersama Dito.
Waktu berlalu, aku merasa bosan karena dibiarkan sendiri. Aku masuk ke kamarku untuk membaca buku. Sementara di luar, terdengar suara Lila dan Dito yang bersahutan menebak warna.
“Horeeee!!! Aku sudah bisa! Aku sudah bisa!” Dito berteriak senang.
Aku pun jadi ingin tahu.
“Waaah, Dito hebat!” Lila bertepuk tangan.
Wajah Dito nampak berseri-seri.
“Karena Dito sudah berhasil menebak warna dengan benar, sekarang Dito boleh makan kue pelanginya,” kata Lila sambil memberikan sepotong kue pelangi itu.
Dito menerimanya dan menatap kue pelangi itu. “Maaf ya kue pelangi, aku makan kamu,” katanya.
Hahaha Lila tertawa mendengar celoteh Dito.
“Sekarang, Kak Lila mengerjakan tugas dulu sama Kak Sasa ya?” kata Lila.
“Terima kasih, Kak Lila. Aku sudah diajak bermain tebak warna dan dikasih kue pelangi juga,” kata Dito.
“Sama-sama, Dito,” Lila tersenyum manis.
Diam-diam, aku yang sudah berdiri di pintu kamarku, merasa malu. Tapi bukan malu karena Dito tidak mengenal warna. Aku malu karena Lila yang bukan kakaknya Dito tapi mau mengajari Dito.
“Lila, kamu kok bisa sih mengajari Dito mengenal warna?” tanyaku saat kami sudah mulai mengerjakan tugas kelompok.
“Hahaha, aku tidak mengajari Dito. Tapi mengajaknya bermain tebak warna,” kata Lila ceria.
Aku pun mengangguk-angguk. Dalam hati, aku jadi malu. Aku selalu tidak sabar dan marah-marah mengajari Dito. Padahal Dito hanya perlu bermain untuk mengenal warna.   

Senin, 16 Oktober 2017

Putri Fidelya

Dimuat di Majalah Bobo


PUTRI FIDELYA
Oleh: Ruri Ummu Zayyan

Putri Fidelya tinggal di kerajaan Vivero yang subur dan makmur. Raja Bastian, ayah Fidelya adalah seorang raja yang sangat adil, bijaksana dan dicintai seluruh rakyatnya.
Namun, Fidelya merasa ada sesuatu yang kurang dalam hidupnya. Ia tidak seperti putri-putri raja dalam dongeng yang sering ia dengar. Paling cantik dan paling segalanya.
Fidelya tampak biasa saja. Wajahnya tidak secantik Melissa, putri perdana menteri. Rambutnya cokelat dan lurus, tidak seindah rambut Clara, putri kepala koki kerajaan, yang pirang bergelombang. Kulitnya pun tidak secerah dan sehalus Rania, putri panglima perang.
Belum lagi kalau melihat kemampuannya di sekolah istana Vivero. Di kelas membaca dan menulis, Fidelya tidak sepintar George, putra kepala pengawal kerajaan. Lalu di kelas berkebun, Edward adalah yang paling ahli, sebab ia memang putra dari menteri pertanian. Di kelas memasak, tentu saja Clara jagonya.
Fidelya merasa tidak ada yang bisa dibanggakan dari dirinya sebagai putri pewaris tahta kerajaan. Hari ini ia sangat gelisah. Sebab lusa, istana Vivero akan kedatangan tamu dari kerajaan Genovia. Fidelya takut kerajaan lain akan mengetahui kalau putri kerajaan Vivero sama sekali tidak bisa dibanggakan.

Pagi ini Fidelya ingin mengunjungi Bibi Vivian di kastil Malora. Sekolah diliburkan karena seluruh istana akan mulai bersiap menyambut kedatangan tamu dari kerajaan Genovia.
Bibi Vivian adalah kakak tertua dari ibu Fidelya. Ia tidak mempunyai anak, tapi mengasuh banyak anak yatim piatu di rumahnya. Kastil Malora adalah hadiah dari Raja Bastian karena kemuliaan hati Bibi Vivian. Setiap kali Fidelya jenuh atau sedih, Bibi Vivianlah yang selalu menghiburnya.
Dengan diantar beberapa pengawal, sampailah Fidelya di kastil Malora.
“Fidelya, kau datang, Sayang?” Suara lembut itu milik Bibi Vivian.
“Ya,Bibi. Hari ini sekolah libur.”
“Oh. Coba lihat dirimu. Mana senyummu? Kau tampak sangat gelisah,” Bibi Vivian membelai kedua pipi Fidelya.
“Ya, Bi. Aku memang sedang gelisah.”
Fidelya menceritakan semua kegelisahannya pada Bibi Vivian.
Bibi Vivian tersenyum.
“Oh, begitu. Jangan bersedih. Sekarang pergilah berkeliling. Biasanya kau akan ceria kembali setelah melihat-lihat taman bunga dan memetik buah-buahan segar,” hibur Bibi Vivian.
Bibi Vivian memanggil beberapa anak untuk menemani Fidelya.
Mereka berkeliling taman bunga yang sangat indah. Setelah itu, mereka menikmati buah-buahan segar di kebun. Semuanya adalah hasil kerja keras Bibi Vivian dan anak-anak asuhannya.  Fidelya sangat senang. Ia mulai bisa tersenyum.
“Nah, begitu. Kalau tersenyum, kau semakin cantik,” puji Bibi Vivian pada Fidelya.
“Ah, Bibi jangan berlebihan. Aku tidak secantik Melissa dan Clara.”
“Oh ya, sebelum kau pulang, kita bermain drama dulu ya, Sayang?”
“Drama apa,Bi?”
“Kau sebagai ratunya. Anak-anak lain sebagai rakyatmu. Ayolah, pasti kau senang,” Bibi Vivian menggandeng tangan Fidelya ke tengah taman. Di sana para anak asuhan Bibi Vivian sudah berkumpul.
“Yang Mulia Ratu Fidelya, terimalah salam hormat kami,” kata mereka serempak sambil berbaris rapi. Bibi Vivian mempersilakan Fidelya duduk di singgasana tiruan.
“Ehm..ehm.. Duduklah kalian semua,” Fidelya masih tersenyum-senyum. Ia berusaha menirukan ayahnya.
“Yang Mulia, kami ada masalah serius. Mohon bantu kami”
“Kami juga, Yang Mulia.”
“Begitu juga kami, Yang Mulia.”
Beberapa anak maju. Sepertinya mereka sudah berbagi peran ketika Fidelya berkeliling di kebun.
“Baiklah, ceritakan kepadaku permasalahan kalian!” jawab Fidelya.
“Kami dari kota Gloria. Di sana tidak ada sekolah. Kami tidak mau warga kami bodoh. Mohon kirimkanlah guru membaca dan menulis untuk kami!” kata anak yang pertama.
“Oh.. eh.. ehm.” Fidelya berpikir sejenak. “Baiklah, aku akan mengirimkan George ke kota Gloria. Ia akan mengajari kalian”
“Terima kasih atas kebijaksanaan Yang Mulia”
“Lalu apa permasalahanmu?” tanya Fidelya kepada anakyang kedua.
“Kami dari desa Botani, Yang Mulia. Hasil panen kami tahun ini sangat sedikit. Ada hama yang sangat ganas. Kami tidak mempunyai ahli pertanian. Mohon kirimkan seseorang untuk membantu kami.”
“Oh, tenanglah. Aku punya ahli pertanian. Edward namanya. Akan kukirimkan ia ke desa Botani,” jawab Fidelya.
“Terima kasih, Yang Mulia.”
Sidang tiruan itu terus berlanjut. Anak-anak yang sudah berbagi peran bergantian menyampaikan permasalahannya. Senyum Fidelya semakin mengembang. Ia mengerti sekarang, mengapa Bibi Vivian mengajaknya bermain drama. Kini ia belajar mengatasi permasalahan rakyat dengan memanfaatkan kemampuan teman-temannya di sekolah istana.
“Terima kasih, Bi. Sekarang aku sudah tidak sedih lagi.” Fidelya memeluk Bibi Vivian.
“Begitulah seharusnya, Sayang. Saat kau menjadi ratu, kau memerlukan banyak orang pandai untuk kemakmuran negerimu. Kau tidak harus menjadi yang paling baik dalam segala hal. Jangan pernah berpikir tidak ada yang bisa dibanggakan dari dirimu. Kau sangat pintar dan bijaksana,” kata Bibi Vivian lembut.
Fidelya mengangguk dan tersenyum.
“Saatnya aku pulang, Bi. Terima kasih semuanya.”
Bibi Vivian memandang kepergian Fidelya dengan senyum bahagia. Kelak, kerajaan Vivero akan memiliki seorang ratu yang adil dan bijaksana.


Jumat, 13 Oktober 2017

Rahasia Nyonya Ellena

Dimuat di Majalah Bobo

Rahasia Nyonya Ellena
Oleh : Bonita Irfanti

Nona Lupita belum lama pindah ke kota Wina. Ia diterima bekerja sebagai manajer di sebuah supermarket di kota itu. Jabatan ini sangat sesuai dengan Nona Lupita yang cerdas dan tegas.
Setiap pagi, Nona Lupita berjalan-jalan keliling komplek. Pepohonan di sisi-sisi jalan selalu membuat udara sangatsejuk. Apalagi rumah paling ujung. Satu-satunya rumah dengan pohon terbanyak.
Nenek Mila, tetangga Nona Lupita, pernah cerita, pemilik rumah itu bernama Nyonya Ellena. Suaminya sudah meninggal, dan anaknya-anaknya kuliah di luar kota. Sayangnya, ia jarang bergaul dengan tetangganya.
Nyonya Bianca, tetangga Nona Lupita yang lain juga menambahkan. Katanya tiap hari Minggu, mobil Nyonya Ellena pasti bolak-balik terus, dan membuat pusing orang yang melihat.
Jika jalan-jalan pagi, Nona Lupita suka berhenti di depan rumah Nyonya Ellena. Sekadar menghirup udara segar, atau menikmati kicau burung diantara rindangnya pohon palem dan akasia.

“Selamat pagi. Sedang olahraga?” Sebuah sapaan mengejutkan Nona Lupita. Karena keasyikan mengamati sarang burung, Nona Lupita tak sadar ada orang lain di balik pagar berjeruji rumah Nyonya Ellena.
“Oh, ya.” Nona Lupita mengangguk. Di hadapannya, berdiri seorang ibu memegang sapu lidi panjang.
“Apa Anda warga baru di sini? Saya belum pernah melihat Anda sebelumnya.” Wanita itu memerhatikan wajah Nona Lupita.
“Benar. Rumah saya bersebelahan dengan rumah Nyonya Bianca.” Nona Lupita tersenyum. Wanita itu hanya mengerutkan kening, lalu kembali menyapu halaman.
Nona Lupita juga melanjutkan jalan paginya. Tetapi sepanjang perjalanan, ia memikirkan wanita tadi. Jangan-jangan itu yang namanya Nyonya Ellena. Benar-benar wanita aneh. Saat aku menyebut nama Nyonya Bianca, masa ia hanya terdiam. Apa ia tak mengenal Nyonya Bianca?
Ciiittt!! Sebuah mobil mengerem mendadak. Nona Lupita terlonjak kaget. Gara-gara melamun, ia tidak melihat kanan kiri dulu saat hendak menyeberang jalan. Hampir saja ia tertabrak.
Dengan gemetar, Nona Lupita meminta maaf sambil mengangguk-angguk. Untunglah si pengendara balas mengangguk dari balik kaca mobilnya. Syukurlah, berarti ia tak marah.
***
“Bu Lupita, ada seorang pelanggan mengeluh. Telur pesanannya tidak bisa terpenuhi semuanya. Orang itu sekarang ada di ruangan Pak Antonio.” Seorang karyawan supermarket melapor. Padahal Nona Lupita baru sampai di kantornya.
“Kapan orang itu memesan?”
“Se-seminggu yang lalu.” Pekerja itu tiba-tiba tergagap.
Nona Lupita melotot. “Bagaimana itu bisa terjadi?”
Karyawan itu bercerita dengan wajah takut. Sebenarnya, pesanan sudah siap sejak dua hari lalu. Tapi karena stok telur di rak depan kosong, akhirnya setengah dari pesanan dipakai dulu.
“Kami pikir, kiriman telur akan datang hari ini. Ternyata dua hari lagi,” katanya sambil tertunduk.
“Kau tahu nama pelanggan itu?”
“Tentu. Ia pelanggan setia kita. Namanya Nyonya Ellena. Hampir seminggu sekali ia datang ke supermarket ini.”
Nyonya Ellena?
Nona Lupita bergegas ke ruangan Pak Antonio. Tetapi, dugaan Nona Lupita sepertinya keliru. Wajah Nyonya Ellena yang ini, berbeda dengan Nyonya Ellena yang kemarin ditemuinya.
“Nona, sepertinya saya mengenali Anda,” ujar wanita paruh baya itu tiba-tiba. Ia tampak mengingat-ingat. “Ah, ya! Anda yang kemarin hampir saya tabrak.” Nyonya Ellena tertawa. Membuat Nona Lupita tersipu.
“Anda tinggal di sana? Saya juga. Rumah saya berada paling ujung. Yang banyak pohonnya.”
Lho, ini Nyonya Ellena? Lalu siapa ibu yang menyapu itu?
“Saya tinggal berdua dengan asisten rumah tangga saya,” ucap Nyonya Ellena lagi, seolah bisa membaca pikiran Nona Lupita.
Oh, asisten rumah tangga? Pantas ia tak mengenal Nyonya Bianca.
“Nyonya, saya Lupita, manajer di sini. Saya benar-benar minta maaf atas ketidaknyamanan Anda. Ini murni kesalahan kami. Namun, bisakah jika pesanan Nyonya diganti dengan barang lain?” Nona Lupita menyatakan penyesalannya.
“Sayangnya tidak bisa. Bukankah untuk membuat kue kita harus menggunakan telur?”
“Kue? Saya dengar Anda memesan dua puluh kilo telur. Apa semuanya untuk membuat kue?”
Nyonya Ellena mengangguk membenarkan.
Nona Lupita mengernyit. “Banyak sekali. Apa Anda punya toko kue?”
Kali ini Nyonya Ellena menggeleng. “Kue-kue itu untuk anak-anak panti asuhan. Setiap hari, saya membuatkan aneka kue untuk camilan mereka. Bahkan jika hari Minggu, saya mengajak mereka ke rumah untuk membuat kue bersama. Meski saya harus bolak-balik menjemput mereka. Hahaha…”
Ooh… Nona Lupita terkesiap. Jadi itu sebabnya Nyonya Ellena jarang bergaul dengan tetangganya? Karena itu pula, tiap hari Minggu mobilnya jadi bolak-balik lewat?
Nona Lupita menyesal pernah menganggap Nyonya Ellena aneh. Ia tak menyangka, ternyata Nyonya Ellena berhati mulia.
“Nyonya, sebagai permintaan maaf, belanjaan Anda yang lain akan kami beri diskon,” ujar Nona Lupita.
“Lalu bagaimana dengan telur kekurangannya? Saya memerlukannya untuk besok. Besok hari Minggu, anak-anak akan datang ke rumah.”
“Kebetulan saya punya resep kue tanpa telur. Bolehkah jika besok saya ikut membantu membuat kue di rumah Anda?” pinta Nona Lupita.
“Tentu saja. Saya akan senang sekali. Kalau begitu, saya tunggu kedatangan Anda besok di rumah, Nona Lupita.”
Nona Lupita mengangguk tersenyum. Dengan mengetahui rahasia Nyonya Ellena, Nona Lupita berharap akan bisa melakukan dua hal. Membantu anak-anak panti, juga membersihkan nama baik Nyonya Ellena.

***